"Pelan-pelan...Cinta....pelan-pelan...," seorang lelaki memperingatkan istrinya yang hamil besar berjalan terburu-buru di depan sana. "Masya Allah!" Ia nyaris berteriak dan segera berlari mengejar istrinya yang nyaris ditabrak beberapa petugas. Sementara wanita itu hanya terkekeh kecil. Gemas akan kelakuannya, si lelaki menyentil hidungnya lalu merangkulnya. Sementara di tangan kirinya, gadis kecil yang baru setahun pulas tertidur.
"Aku khawatir sama Khayra, Baaang...," tuturnya lembut antara geli dan cemas. Geli karena setelah setahun lalu ia baru bisa memanggil Wirdan tanpa menyebut nama lelaki itu. Namun gelinya masih terasa sampai sekarang.
"Aku tahu. Tapi jangan ngorbanin diri doong!" Wirdan gemas dan Mira terkekeh lebar.
"Gak lah. Kan aku masih sayang sama abang!" Gombalnya yang membuat Wirdan makin gemas. Lelaki itu menarik pipi gembilnya sementara Mira terkekeh karenanya. Makin lama mengenal dan hidup bersama, wanita itu memang makin terbuka padanya. Mulai tak malu-malu meminta sesuatu atau bersikap manja padanya.
"Tapi aku kasian sama Khayra, Bang."
"Kenapa?"
"Firasatku tak enak. Pasti terulang lagi."
"Gak boleh gitu."
"Aku tahu. Tapi bertahun-tahun lalu juga. Aku takut dia jadi trauma buat nikah."
Wirdan diam mengangguk. Ia tak tahu masalah apa hingga musibah itu menimpa Khayra tapi selama mengenal Khayra, wanita itu sosok wanita yang solehah dan berpendirian kuat.
"Kita doakan aja yang terbaik ya, Cinta?" Wirdan menghiburnya. Aaah....lelaki ini memang pandai menenangkannya. "Segala sesuatu yang terjadi ini kan dari Allah dan pasti selalu ada hikmah dibaliknya."
Mira menatapnya sesaat lalu tersenyum lebar. "Makin sayang deh kalau begini!" Cercanya yang membuat Wirdan tak tahan ingin memeluknya.
@@@
Khayra hanya mampu menangis. Gadis itu tak percaya dengan apa yang terjadi. Ayahnya sudah pergi dan otaknya selalu mensugestikan diri bahwa ini salahnya! Ini salahnya!
Andai ia tak jujur tadi, mungkin lelaki itu tak kan membatalkan pernikahan dan ayahnya tak kan terkena serangan jantung. Ayahnya akan tetap sehat bahkan nanti bisa menikahkannya. Tapi lihatlah kini? Tubuh itu membeku dan kini sedang dibawa petugas untuk dimandikan dan disolatkan di rumah sakit. Mira yang baru tiba beberapa detik sebelum ayah Khayra meninggal hanya mampu menenangkan gadis itu.
Mira tahu, Khayra kuat. Ia gadis yang kuat. Jadi ia bisa melewati semua ini. Tak sepertinya dulu yang sempat kehilangan arah. Ia yakin jika Khayra lebih tegar menghadapi ini. Gadis ini telah dihantam berkali-kali cobaan dan ia tetap tegak berdiri. Tapi satu hal yang tak Mira tahu, jika itu orang tua, beda ceritanya. Bagaimana Khayra tak sedih dan menyesal jika selama ini ia selalu mengecewakan mereka? Ia ingat tiga belas tahun lalu, ia ingat wajah ayahnya yang mengeras, ia ingat pertama kali ayah menamparnya, ia ingat pertama kali ibunya menangis karenanya, ia ingat semua itu. Tapi lihatlah? Sudah adakah yang ia lakukan untuk membahagiakan mereka? Rasa-rasanya sejak dulu ia selalu mengecewakan mereka.
"Allah ma'ana. Itu yang dulu selalu kau bilang padaku." Mira berujar lembut. Khayra seolah tersadar bahkan tertampar atas ucapannya sendiri. Ia segera memeluk erat sahabatnya yang selalu ada setiap saat ini. Walau kadang jarak memisahkan sebab Mira selalu ikut suaminya kemana pun suaminya pergi. Namun seolah tak ada batas, wanita itu selalu ada untuknya di setiap keadaan tersulit.
"Kau juga selalu bilang bahwa apa yang terjadi dalam hidup kita adalah yang terbaik bagi kita. Baik itu senang atau sedih. Kadang kita selalu menganggap kebahagiaan itu yang terbaik padahal belum tentu. Karena terkadang kesedihan pun mengajarkan kita untuk tahu arti hidup yang diberikan." Mira menepuk bahunya dengan lembut. Ia tahu jika Khayra mendengarnya. "Kini tergantung kita menyikapinya. Kita pandang ini sebagai sesuatu yang positif atau kah negatif? Sebab terkadang kita baru tahu hikmahnya di kemudian hari. Ketika musibah telah lama terjadi."
Khayra terkekeh. Gadis itu tersenyum lebar. Kini Mira tahu bedanya ia dengan Khayra. Jika ia bebal akan nasehat maka Khayra tidak bebal sekali pun nasehat itu menyakitinya. Gadis itu gadis berhati lapang. Ia menerima sepahit apapun cobaan dan sepahit apapun ucapan orang lain tentangnya. Ia tak lantas bersikap batu untuk tak memerdulikan. Namun ia telan dan terima dengan cara meluaskan hatinya yang sempit. Ia hanya tak mau menaruh dendam atau kebencian. Hatinya hanya hati manusia biasa. Ia tak mau hatinya yang sempit ini dipenuhi keburukan."Siapa yang mengajarimu ngomong begitu hah?"
"Suamiku lah!" Mira berucap songong. Hal yang membuat Khayra terkekeh kecil. Namun ia terhibur. Mira memang makin dewasa dan pandai menghiburnya. Wanita itu banyak berubah. Apalagi semenjak menikah dua tahun lalu. Mira tidak hanya semakin keibuan tapi ia juga menampaknya jiwa pendidik yang tegas. Sejak dulu Khayra tahu jika wanita ini adalah wanita yang baik. Walau sempat jengkel dengan kelabilan akutnya.
"Ciyeee yang sekarang udah berani panggil abang-abangan!" Ia mulai meledek. Mira tertawa lebar. Mukanya memerah. Ia memang bertanya soal panggilan sayang untuk Wirdan pada Khayra. Tapi Khayra hanya bilang, panggil saja dia sesukamu atau suatu panggilan yang ingin kamu ucapkan sejak dulu.
@@@
"Nah...benarkan!" Wirdan mengejutkan seorang laki-laki berjas putih. Laki-laki itu sampai mundur beberapa langkah karena terkejut lalu membalik badan dan segera memeluk Wirdan dengan erat. "Apa kabarmu?"
"Alhamdulillah baek, Bang!" Ia menyeru setelah menepuk keras punggung Wirdan. "Aku kira siapa tadi." Ia sampai menggelengkan kepalanya--tak percaya. Masalahnya Wirdan ini sedikit misterius keberadaannya. Lelaki itu tak pernah memberitahu sudah berada dimana. Seperti bertahun-tahun lalu. Tiba-tiba lelaki itu menghilang dan saat tahu kabarnya sudah di Turki. Setelah di Turki, lelaki itu menghilang lagi ke UK dan terakhir malah bertemu dengannya di Cambridge saat sedang mengilhami buku di perpustakaan. Kini pun begitu. Usai lelaki itu menikah, ia tak pernah bertemu lagi. Setahun lalu ia dengar kabar bahwa Wirdan di Turki bersama istrinya. Namun saat ia sempat berkunjung kesana, lelaki itu malah tiba di Kanada. Lalu kini tiba-tiba di Jakarta. Bahkan kini bagi Adam tidak hanya Wirdan yang keberadaannya misterius. Tapi juga istri dan anak lelaki itu. Hingga titel 'keluarga misterius' ia sematkan pada keluarga kecil Wirdan setiap bercanda dengan sahabat Wirdan--Firman.
"Kak Mira mana?" Ia bertanya karena tak melihat sosok wanita berjilbab yang biasanya selalu menemani lelaki itu dimana pun berada. Ditanya begitu, Wirdan malah balik melempar tanya.
"Ponakan buat Abang mana?"
Wajah Adam berubah jengkel seketika. Wirdan tertawa lebar. Puas karena pertanyaannya mampu membungkam wajah ceria Adam. Lelaki itu menatapnya jengkel dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun ketika sadar jika Adam betul-betul tak nyaman ditanya seperti itu, Wirdan berdeham.
"Kau tak berniat membujang seumur hidup kan?"
Lelaki itu menarik nafas lalu memilih duduk di bangku panjang. Sesekali ia tersenyum pada pasien-pasien yang lewat dan memanggilnya. "Sulit, bang. Jodoh itu gak kayak milih jurusan saat kuliah." Ungkapnya yang setengah bercanda setengah serius. Wirdan tertawa lebar mendengarnya. Secara tak langsung, lelaki itu sedang curhat sebenarnya. Ia ikut mengambil duduk di sebelah Adam. Telinganya siap mendengarkan cerita.
"Atau gak kayak ngejar beasiswa ke US? Terus dapat kerja enak di Jakarta? Begitu?" Ia menyambung dengan gelak tawa. Adam ikut terkekeh mendengarnya.
"Allah memang mempermudah aku mengejar mimpi ke luar negeri, bang. Tapi tidak dengan jodoh. Mungkin belum waktunya."
Wirdan mengangguk lalu mengetuk bahu. "Sabar dan usaha. Itu kunci yang sama ketika kau mengejar beasiswa bukan?"
"Selalu, bang. Selalu. Tapi ku dengar dari Bang Firman, ada yang abis dimarahin abang iparnya karena hamilin adeknya lagi." Tuturnya yang membuat Wirdan cekikikan. Tahu kalau ia lah tersangka utamanya.
@@@
Andai saja bisa mengulang waktu, Khayra sudah memintanya. Setidaknya ia masih bisa melihat ayahnya tersenyum dan masih bisa membahagiakannya. Setidaknya ia ingin tak ada luka yang dirasa ayahnya hingga hari-hari terakhirnya. Kalau lah ia bisa mengetahui takdir kematian, ia ingin membahagiakan ayahnya walau sehari saja. Membuat lelaki itu tertawa bukan seperti yang ia lakukan tadi pagi. Mengecewakannya lagi dan lagi. Tapi siapa yang bisa melawan takdir ketika itu adalah kehendak-Nya?
"Jangan kau tukar kejujuran demi kebahagiaan semu. Percayalah walau terkadang jujur itu menyakitkan tapi tak kan menyisakan penyesalan di masa depan."
Itu nasihat Mira berjam-jam yang lalu usai ia menceritakan titik masalahnya. Nasihat itu mampu membuatnya lega namun juga sedih. Yah, setidaknya ia tak meninggalkan kebohongan pada ayahnya. Walau harus mengecewakan lelaki itu lagi.
"Dengar kataku, Ra. Jangan iyakan lagi lamaran seorang lelaki jika mereka tak bisa mencintaimu dengan utuh karena-Nya."
Mengingat nasihat itu, ia malah terkekeh. Mira memang rajin menceramahinya kini. Berbanding terbalik dengan dulu. Wanita itu kadang menceramahinya dengan lembut tapi juga terkadang keras. Sama dengan yang ia lakukan dulu. Kadang kita memang harus keras pada seseorang demi kebaikannya. Bukan untuk memojokannya. Kita harus bisa membedakan mana yang benar-benar menasehati atau untuk menjatuhkan kehormatan diri.
Ah lagi pula ia belum memikirkan pernikahan lagi. Walau sangat ingin. Karena kini ia malah takut jika ada yang melamar lagi dan itu mengecewakannya. Ia takut jika hal lain terjadi. Kini yang ia punya ibunya. Kakak-kakak lelakinya sebagian membencinya sementara sebagian lagi mengasihaninya. Mereka seolah kehilangan kepercayaan padanya. Bahkan jilbab yang ia kenakan pun mereka masih tak percaya jika Khayra yang dulu telah berubah. Tapi dimata mereka tetap sama. Walau tak membenci Khayra namun tetap hati gadis itu terluka. Siapa yang tak terluka jika keluargamu sendiri tak percaya padamu?
"Jangan su-uzzan." Ia nyaris memekik tapi wanita paruh baya itu malah tersenyum lebar.
"Ummi ngagetin aja." Ucapnya sambil mengelus d**a.
"Mereka menyayangimu tapi tidak menunjukannya." Wanita itu memperingatkan lagi. Khayra hanya menghela nafas. Ia kurang suka ketika ibunya dengan lancang membaca isi hatinya. Tapi ia juga tak bisa melarang untuk sebuah kelebihan. Kadang wanita itu juga aneh walau ia hidup bertahun-tahun dengannya. Namun ia selalu bisa memaklumi.
"Kau tahu, anakku?" Jika tadi wajahnya penuh senyuman kini wajah itu penuh ketulusan. Walau tanpa menatapnya, Khayra tahu seberapa besar wanita itu menyayanginya. "Percaya tidak percaya, kau harus tahu bahwa musibah itu tanda cinta-Nya kepada kita. Karena Dia masih perduli dan ingin kita menjadi lebih baik lagi. Boleh menangis tapi jangan terpuruk. Allah tak suka hamba-Nya yang berlarut-larut dalam kesedihan. Tapi berprasangka baiklah kepadanya. Karena janji-Nya selalu. Bersama kesulitan ada kemudahan."
@@@