"Udah lama kerja sama mami?"
Ia sih tak hapal anak buah mami. Tapi bisa mengira ya masih baru atau sudah lama. Hanya melihat dari kebiasaannya. Apalagi perempuan ini tampak canggung dengannya. Mungkin kaget karena yang datang menemaninya menemui dokter adalah perempuan sepertinya. Lihat saja pakaiannya yang amat tertutup. Tentu saja berbanding terbalik dengannya.
"Eung....baru beberapa bulan belakangan sih, kak. Belum sampai setahun."
"Kamu baru? Atau pindahan?"
"Baru."
"Buat kuliah?"
Ia mengangguk polos. Tentu saja Khayra sangat berpengalaman dalam hal-hal semacam ini. Kebanyakan pastinya untuk biaya hidup ya termasuk yang ingin kuliah. Ia sudah maklum meski caranya salah. Ia tak mau menilai buruk dulu. Karena apa? Kita ini masih bernyawa. Semua bisa saja berbanding terbalik di akhir kehidupan. Tak akan pernah tahu bukan? Jadi jangan sombong hanya karena sudah merasa baik. Karena kesombongan itu justru bisa jadi bumerang dan membawa ke neraka. Ini adalah sebuah pengingat.
"Nanti jangan khawatir deh. Kita doa. Setiap pekerjaan memang selalu ada resiko."
Ia mengulang salah satu katanya, yaitu doa. Doa? Apakah orang sepertinya masih pantas untuk berdoa? Dengan pekerjaannya sekotor ini. Menyedihkan sekali. Tapi ia tak punya pilihan lain.
"Dokter Ryan ada?"
Ia sih tak ingat jadwalnya.
"Dokter Ryan Hadian Kusumo?"
Ia mengangguk. Ia sednag bertanya di bagian pendaftaran. Perempuan itu ia suruh duduk.
"Kalau dokter Ryan udah gak di sini, mbak. Beliau lagi studi sebetulnya."
"Aah. Kalau sama dokter lain dengan spesialis yang sama ada?"
"Untuk siang ini ya?"
Ia mengangguk.
"Namanya dokter Adam. Kebetulan antriannya mungkin agak panjang. Kalau mau menunggu, bisa langsung naik ke lantai 3. "
"Kira-kira akan dipanggil pas jam berapa?"
Si mbaknya melihat jam di dinding. Lalu mengira-ngira kapan akan tiba giliran perempuan di depannya.
"Sebetulnya kan setiap pemeriksaan itu gak pasti. Bisa cepat dan bisa jadi lama. Tapi mungkin perkiraan aja nih karena masih ada 4 orang sebelum mbak, kemungkinan ya dua jam lagi lah."
Ia mengangguk lantas mengucapkan terima kasih. Kemudian mengajak perempuan itu untuk makan dulu di kantin. Ia cukup familiar dengan rumah sakit ini karena memang sering. Tiba di kantin, perempuan ini tentu saja terus menatapnya. Ya heran. Perempuan ini ada hubungan apa dengan maminya? Dari pakaiannya saja jelas jauh berbeda.
"Maaf, boleh nanya sesuatu gak, kak?"
Ia sebenarnya was-was. Takut salah ngomong lalu membuat orang tersinggung.
"Boleh. Mau nanya apa?"
"Eung.....kakak ada hubunhan apa dengan mami? Ak-aku tanya begini karena--"
Ia terkekeh. "Santai aja. Mami itu udah kayak sodara aku sendiri. Orang yang selalu bantu aku dikala susah. Gak pernah lupa kalau lagi seneng."
Ia mengangguk-angguk. Meski masih membingungkan. Tapi mungkin bukan sepertinya. Bisa jadi kan?
"Kamu sendiri...," ia berdeham. "Ngambil jalur apa? Maksud aku, ada yang jadi kupu-kupu malam dan ngasih pelayanan ke semua orang dan ada juga yang hanya orang-orang tertentu."
"Eung....kalo sekarang sistemnya mami itu tergantung pengalaman. Kalo anak baru kayak aku dan ya, kak, gak punya nilai lebih dari penampilan ya harus mulai tanpa pilih-pilih."
Aaah. Khayra mengangguk-angguk. Ia tak banyak tahu kalau ada perubahan. Usai makan sebentar, Khayra mengajaknya langsung pergi ke lantai di mana ruangan sang dokter berada. Tiba-tiba perempuan ini memegang tangannya usai melihat papan nama sang dokter yang dituju.
"Kak.....apa gak ada dokter perempuan?"
Ia sungkan kalau dokternrya adalah dokter lelaki. Khayra jadi menoleh ke arah papan nama yang dilihatnya.
"Jarang sih ya. Kebanyakan sekarang bahkan bagian dokter kandungan sekalipun didominasi cowok sih. Padahal zaman emansipasi wanita terus digaungkan. Udah gak apa-apa. Dibawa santai saja. Biasanya kan perawatnya perempuan."
Ya sih. Tapi tetap saja. Setelah Khayra bilang kalau ada dirinya. Ya sudah. Ia berdoa saja. Semoga baik-baik saja.
Tiba giliran keduanya, segera masuk ke dalam ruangan. Khayra agak kaget karena ternyata dokternya masih cukup muda. Maksudnya tak seperti yang sebelum-sebelumnya ia ke sini. Kalau dokternya bukan yang ia kenal ya berarti dokter ini pasti tak tahu apa-apa soalnya kan?
Tentu saja ada perkenalan. Khayra yang menjelaskan semuanya. Lelaki itu tentu saja heran. Tapi ia enggan bertanya soal perempuan berhijab yang membawa perempuan yang.....
Hanya ada yang ganjil saja.
"Saya sebenarnya cuma sering flu begitu, dok. Cuma ya gak tahu kenapa dibawa ke sini," curhatnya.
Khayra tahu kalau perempuan ini tak tahu. Karena mungkin tak begitu tahu dan perduli dengan apa yang dialaminya. Ini yang banyak tak disadari. Padahal mereka adalah orang yang sangat berisiko. Khayra tentu sangat tahu karena banyak yang terjadi di hadapannya dulu.
"Gejala awal penyakit ini memang mirip dengan flu. Jadi banyak yang tak tahu." Ia berdeham. "Kalau boleh jujur, profesi kamu apa sebenarnya?"
Ia tentu sudah sangat paham dan familiar dengan hal-hal semacam ini. Jadi ia bertanya dengan tegas namun tetap hati-hati.
Ia menoleh ke arah Khayra. Tentu terlalu malu untuk mengakuinya. Jadi ia memohon biar Khayra yang mengambil alih.
"Eung....dokter pasti sudah paham hal-hal semacam ini."
Ia juga enggan untuk menyebutkannya secara detil. Ia tahu memang ini aib meski salah juga karena datang ke sini. Karena mencari masalah makanya datang ke sini kan?
"Oke. Lalu apalagi yang dirasakan selain sering flu?"
Ia mengalihkan pembicaraan juga. Tentu sudah menduga. Karena tak mungkin juga kan tidak? Biasanya orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan seperti ini memang orang yang paling rentan dan berisiko. Bukan kah memang sudah seharusnya tahu kalau ada kemungkinan terkena penyakit seperti ini?
"Pusing kepala. Saya sering sariawan. Kadang juga jadi keringatan di malam hari. Padahal gak panas."
Si dokter mengangguk-angguk. "Kalau luka? Maaf di area sensitif itu?"
Ia sudah biasa sebenarnya bertanya seperti ini tapi anehnya tetap saja merasa canggung tiap bertanya. Apalagi kan perempuan ya.
Ia menggeleng. Adam mengangguk-angguk. Setelah memastikan semuanya, ia menoleh ke arah Khayra. Apa perempuan ini adalah walinya?
"Kamu walinya?"
"Oh ya."
Ia agak kaget. Kaget saja karena tiba-tiba ditatap begitu. Padahal tadi biasa saja. Ini mendadak aneh. Astagfirullah.
"Hubungan dengan pasien apa? Ini sangat perlu karena untuk penyakit ini, perlu ada pengawasan dari yang lain untuk ketertiban pengobatan."
"Saya saudaranya. Kalau ada hal yang perlu dikatakan, katakan saja."
Adam mengangguk. Ia menjelaskan semua hal dari tes hingga pengobatan yang diperlukan. Ini hal biasa bagi Khayra. Karena ia tidak hanya mengurus perempuan ini. Ada banyak yang rata-rata memang anak buah mami tapi hanya beberapa yang berhasil ia bawa ke LSM. Sebagian lain tidak siap menerima kenyataan. Ada juga yang malah kabur dan mungkin menjadikan penyakit ini menyebar lebih luas.
@@@
Masa lalu telah berlalu. Ia telah berdamai dengan masa sulit. Tentu saja sekarang sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Bertahun-tahun silam memang terasa jauh lebih berat dibsndingkan dengan sekarang. Kini ia sudah menduduki posisi yang jauh lebih tinggi. Lima tahun pertama bekerja di sini berhasil menjadi asisten manajer. Lalu tiga tahun kemudian hingga sekarang ia berhasil menjadi manajer. Siapa dia?
Tio.
Cowok itu baru memberesi banyak berkas di ruangannya hingga kemudian ada yang mengetuk pintunya. Begitu melihat ternyata Danu. Teman lama di kampus tentu saja. Sekaligus cowok yang dulu pernah menyukai Icha tapi kemudian berpindah hati ke Delima. Jangan tanya alasannya karena sudah jelas lelah menunggu seseorang yang tak kunjung mencintainya. Ya kalau Tio pikir-pikir, memang jauh lebih baik kalau berpindah dari pada diam di tempat selama bertahun-tahun sepertinya dulu. Meski ia berhasil menjadi munafik juga sih. Menjadi munafik dalam urusan asmara dan teman menurutnya jauh lebih baik sih karena dengan begitu hubungan pertemanan tetap terjaga. Lihat lah jalinannya sampai sekarang. Bahkan hubungan pertemanannya dengan Icha juga membawa kesukseskan karir baginya bukan? Ia bisa dekat dengan Fadlan. Ia juga bisa bermain bersama bosnya sendiri dan yang lain. Hal yang membuatnya disegani di kantor ini bahkan oleh teman lamanya sendiri, ssperti Danu yang selalu takjub dengan perkembangan karirnya. Awalnya, ia juga kaget karena Tio ikut bekerja di sini dengannya.
"Makan siang, bro."
"Lo mau ikutan gue?"
"Yaah lo mau makan sama deretan bos lagi ya?"
Ia sungkan bergabung kalau dengan mereka. Rasanya seperti ada gap.
"Enggak. Mau nyusul bini sih."
"Oh bini lo?"
"Ya iya lah. Masa bini orang?"
Ia terkekeh. "Balik ke kantor gak?"
"Gak kayaknya. Ada kerjaan gue di KL besok. Mau balik dulu lah. Soalnya berangkat entar malem."
Ya pantas saja. Ia pergi menuju parkiran sementara Danu berbelok ke kantin sendirian. Memang lebih baik makan bersama staf yang lain. Ia menghela nafas. Belum lama ini tahu sih kabar Icha bagaimana. Ia kan tak pernah mengikuti lagi sebenarnya. Tapi gosip tentang Icha tak pernah sepi di angkatan mereka. Selalu dibicarakan. Apalagi begitu ia tahu kalau Icha dipersunting lelaki yang bukan sembarangan. Maklum, waktu resepsi perempuan itu tak mengundang banyak angkatan mereka. Bukan apa-apa, di beberapa tahun terakhir sebelum lulus kan, para perempuan memborbardirnya gara-gara kasus dengan Danu. Ya soal ia yang tak pernah menerima perasaan Danu diprotes para cewek karena dianggap mempermainkan lelaki. Ditambah lagi, para perempuan kan memang iri ya dengan segala hal yang ia punya dari kecantikan sampai kecerdasan. Jadi ya itu hanya dijadikan alat transportasi ketidaksukaan mereka. Di tahun terakhir, ulah Delima yang pernah menamparnya karena dianggap menggoda Danu juga semakin memperburuk keadaan. Lebih parah lagi ketika ia menikah dan hanya mengundang beberapa orang, waaah satu angkatan heboh dan ada yang merasa tersinggung karena tak diundang. Padahal Icha sendiri merasa kalau mereka tak suka jadi untuk apa diladeni sih? Aneh banget sih.
Tapi sebetulnya bukan soal itu sih. Mereka merasa marah itu karena Icha menikah dengan orang penting. Kesal karena tak bisa tampil diundangan perniakahan orang penting. Ya begitu lah pelik hidupnya yang tak pernah orang tahu sebelumnya. Tapi Tio tahu sekali. Apalagi kalau ia berkumpul dengan teman-teman angkatan nih ya, ia yang dianggap masih dekat dengan Icha hingga sekarang jadi mereka berusaha untuk mencari informasi darinya.
Kini Tio baru saja memarkirkan mobilnya sebentar di lobi. Istrinya masih bekerja di sini tapi tak lama. Sudah tak sepenuh seperti dulu. Ia tersenyum tipis ketika perempuan itu muncul dan membuka pintu mobilnya.
"Kamu tadi anterin Keera ke sekolah sampai ke depan kelas kan?"
"Iya. Kenapa? Gurunya neloon lagi?"
"Enggak. Mastiin aja. Kamu gak bales pesan aku sih."
Aaah. Ia terkekeh. "Maaf, aku dari pagi meeting soalnya."
@@@
"Gimana?"
Fadlan menghela nafas. Misi terakhir mereka gagal karena memang tak menemukan apa-apa yang bisa dijadikan bukti dan juga informasi apa yang mungkin akan terjadi. Tapi mereka sadar kalau pasti ada yang diincar. Hanya saja masih membingungkan.
"Tapi kalau yang lo lihat kemarin itu ada banyak pengusaha, kemungkinan memang ada persekongkolan bisnis baru."
Tentu saja bisnis baru yang sengaja dicipatkan dengan jalan melukai banyak orang. Karena bagi mereka, itu satu-satunya jalan untuk memperkaya diri secara mendadak. Ya belajar dari bertahun-tahun sebelumnya dengan segala pandemi yang terjadi. Fadlan pun sedang menebak-nebak kemungkinan bisnis mereka kali ini. Aoa yang sedang dicoba untuk dibangun? Ia belum punya gambaran sama sekali.
"Masih gue pikirin, apa yang coba mereka incer."
"Vaksin lagi?"
"Kemungkinan besar. Kalah belajar dari brtahun-tahun silam, gak jauh dari flu. Tapi kalau sekarang, mengulang pandemi flu lagi rasanya sangat mudah untuk ditebak."
"Tapi selalu ada kemungkinan?"
Ia mengangguk. "Tapi gue rasa sulit juga bagi kita untuk mengecek semuanya. Namun belajar dari masa lalu, pasti sudah ada ornag yang terinfeksi yang sengaja dibawa masuk untuk menyebar."
"Jadi?"
"Kuncinya di transportasi. Karena kita Indonesia, kemungkinan besar jalur laut. Kalau jalur udara, bandara kita cukup ketat sekarang."
Ya benar. Tapi itu bukan ranah mereka lagi. Harus diserahkan pada negara. Tapi pemerintah sibuk dengan urusan memperkaya diri. Boro-boro mikirin rakyatnya. Kan jadi serba susah juga. Yang perduli pun tak seberapa banyak seprrti mereka.
Mereka sedang santai sebetulnya di rumah besar Regan yang ada di Bogor. Tadi mereka ke sini ya terbang dengan helikopter. Tak ada yang berniat bekerja hari ini. Ya bosan tapi di rumah juga sedang malas. Butuh hiburan. Butuh kumpul-kumpul seperti ini. Jadi akhirnya mereka berjalan kaki tuh ke lahan golf-nya Regan. Kemudian naik ke mobil dan diantar ke sana. Ini cara menikmati hidup bukan? Jarang-jarang mereka seperti ini. Apalagi tipe-tipe posesif seperti Fadlan yang setiap hari selalu memikirkan istrinya dan membuatnya untuk segera meninggalkan pekerjaan. Hahaha. Biar di rumah begitu. Biar tak ada yang lirik. Biar tak digoda mahasiswanya. Hahaha.
"Mau adu gak nih?"
Regan menawar. Ya kalau begitu gak perlu ditanya siapa yang menang wong tiap minggu dia selalu main golf kok. Hahaha. Ada lahannya langsung di belakang rumah. Hahaha.
"Gue sepak juga nih!" seru Fadli sambil memukul tongkatnya. Mereka terbahak dengan aksinya.
Maksudnya sih ingin sekali memukul Regan dengan tongkat golf-nya. Hahaha.
@@@