"Aghaaaaa!"
Siapa yang memanggil? Anak perempuannya tentu saja. Agha menoleh. Cowok itu sedang menendang bola sambil berjalan. Sendirian? Iya sendirian. Ada mobil berhenti di dekatnya. Mobil Wirdan dan Amira.
"Mau naik gak? Tante mau ke rumah kamu sekalian."
Ia mengangguk. Lalu pintu belakang dibuka. Ia masuk ke dalamnya dan Mysha langsung menggeser tubuhnya.
"Kamu main sama Arga, Gha?"
"Arga enggak. Kan lagi gak ke sini."
"Dia di apartemen ya?"
Agha mengangguk.
"Rumahnya belum selesai?"
"Belum. Tapi masih tinggal kok di rumah itu. Cuma mungkin gak ada orang. Kan mama sama papanya kerja."
Ya benar juga. Ia tahu kalau papanya Arga bekerja di kantor. Kalau mamanya ya dokter.
"Agha abis main di mana?"
"Di lapangan itu, tan."
"Sama siapa?"
"Anak seberang komplek."
Maksudnya anak-anak gang di depan komplek mereka yang suka menyusup main ke sini. Biasanya sih melompat pagar biar bisa masuk. Kan kalau kewat gerbang itu tak akan dibuka kecuali penghuni. Yang bisa masuk juga hanya kendaraan. Kalau ada yang berjalan kaki tentu saja satpam mengenali kalau bukan orang yang tinggal di komplek ini.
"Sepupu-sepupu kamu mana?"
Kan biasanya ada Ando, Farrel, Ferril, dan Ardan yang bermain dengannya di lapangan. Ini tak kelihatan.
"Abang Ando ikut ke kantor om. Terus abang Farrel sama abang Ferril di pesantren."
"Ah iya. Mereka pesantren ya?"
Amira lupa. Pantas jarang melihat. Ya hanya untuk sebulan sih. Nanti baru menetap kalau sudah masuk SMP. Tak lama, mobil itu sampai di rumah Airin dan Akib. Agha turun dan memanggil umminya. Airin pergi mencari kerudung karena mendengar suara mobil yang berbeda. Tampaknya bukan suaminya. Anaknya juga memanggil dan ternyata memang ada tamu. Ada Wirdan dan Amira. Tentu saja ia kenal karena mereka juga tinggal di komplek ini bahkan menjadi rekan bisnis keluarga besar mereka. Si jenius. Itu julukan untuk Wirdan di komplek ini. Ya karena ia punya banyak hak paten. Ia juga masuk salah satu jajaran ilmuwan dunia. Tentu saja prestasinya sangat mengesankan.
"Ayo massuuk."
"Bang Akib belum pulang, kak?"
"Paling juga masih di jalan. Ada apa?"
"Ya urusan bisnis."
Wirdan nyengir. Memang tak akan jauh jika bukan urusan silaturahmi juga.
"Aku siapin minuman dulu ya? Mysha kalau mau main itu main aja di ruang situ," ia menunjuk ruang keluarga.
Mysha mengangguk. Anak lelakinya sudah naik ke lantai atas untuk mandi. Kan tadi main bola. Ia sudah keringatan. Mana bocah-bocah seberang itu suka bermain curang. Merema banyak membuatnya jatuh tapi ia tak mengeluh sama sekali.
"Kami ada rencana mau perjalanan keliling dunia lagi sih, kak. Ya ngurusin bisnis sambil bawa Mysha juga kan mumpung masih belum masuk sekolah."
Ya karena hanya preschool bagi Mura tak menjadi masalah.
"Lahirannya bakal di luar lagi nih?"
Mira terkekeh. Ya seperti saat ia hamil Mysha dulu. Suaminya memang begitu. Tidak suka terlalu lama menetap disuatu tempat. Walau itu justru menyenangkan sih. Airin sih ingin. Tapi tentu tak bisa. Kan suaminya harus bekerja. Ia juga harus mengurus dua anak sekarang. Anak keduanya ada di rumah mami. Ia belum menjemputnya.
"Makanya ini sih, kak. Sekalian mau diurus dulu kan abang punya kantor penerbitan. Nah dari pada nyari yang di luar negeri lebih baik pakai penerbitnya abang saja."
"Buku baru lagi nih?"
Akib mengangguk. Tentu saja bukan hanya ia yang menulis. Amira juga. Namanya juga ilmuwan.
"Biar royaltinya juga bisa diputar terus di Indonesia."
Ya lebih baik untuk pemasukan dalam negeri. Kakau buku-buku yang ditulis Wirdan sudah pasti akan laku keras. Yang mengincar pasti hingga ke luar negeri.
"Kalau begitu tunggu lah. Betntar lagi kayaknya sampai. Solat magrib sekalian makan malam aja di sini."
"Ngerepotin gak nih?"
Airin terkekeh. "Gak lah. Asala dibantu yuk, Mir."
Mira tertawa. Ia segera datang ke dapur. Ya membantunya menyiapkan makanan sembari membicarakan kehamilannya.
@@@
"Kalau tesnya positif akan bagaimana, dok?"
Ia jelas khawatir. Sampel darahnya sudah diambil. Hasilnya tentu saja masih harus menunggu.
"Kalau belum terlalu jauh gejalanya, insya Allah bisa. Walau tidak ada obat untuk menyembuhkan HIV, penyakit ini dapat dikendalikan secara efektif dengan obat-obatan. Pengobatan ini dapat secara signifikan mengurangi jumlah HIV dalam darah. Nah jadi, kalau ada seseorang dengan HIV yang mendapatkan pengobatan sebelum penyakitnya menjadi terlalu parah, insya Allah ia akan tetap dapat hidup lama dan sehat. Yang penting harus rutin berobat. Kalau nanti hasilnya negatif dan ya semoga begitu. Kamu harus rajin tes. Selama kamu masih masuk kategori berisiko seperti yang saya jelaskan tadi. Kamu setidaknya harus tes 3 bulan sekali lah. Harus pastikan juga keamanan dan semuanya. Jangan lengah."
Karena ia tahu, orang-orang seperti ini sangat sulit keluar dari jalan semacam ini. Si perempuan mengangguk. Begitu selesai dengan semuanya, mereka berpamitan. Adam masih melihat kedua perempuan itu keluar. Ia merasa aneh saja dengan gadis berkerudung dan bergamis itu.
"Siapa perempuan itu?"
"Hah?"
Perawatnya kaget. Ia berdeham lalu menunjuk perempuan berkerudung. Soalnya perawat ini pun tampak mengenalnya.
"Dia orang LSM, dok. Sudah sering ke sini dan selalu mengurus pasien-pasien itu.,"
Ia mengangguk-angguk. Ya pantas saja. Sementsra Khayra sibuk menghibur perempuan yang pastinya sangat khawatir dengan hasil tes.
"Bagaimana kalau hasilnya positif, kak?"
Ia tahu perasaan itu. Ia dulu pernah kok mengikuti tes itu hingga berkali-kali. Ya untuk memastikan kalau hasilnya benar-benar negayif. Dan karena hasilnya negatif itu ia sadar kalau ia harus kembali. Mumpung Allah memberikannya kesempatan yang sungguh baik. Kesempatan yang pastinya rak akan terbayangkan olehnya. Karena ia juga sempat putus asa kala itu.
"Kamu tahu, mau aku bilang apapun mungkin tak akan menghiburmu. Tapi kalau aku boleh menasehati, jika hasilnya nanti negatif dan semoga begitu, bertobat lah. Aku tahu ini sulit. Karena kamu butuh uang untuk hidup. Tapi coba lah dulu. Kita tak pernah tahu hasilnya bukan?"
Ya memang. Ia tahu. Ia tahu kalau ia masuk ke jalan yang salah. Ia merenunginya. Khayra memang selalu begini. Setiap ada anak buah mami yang dititipkan sebentar padanya, ia pasti akan berusaha menyadarkan mereka. Memang ada yang tipe tak mau mendengar. Kalau yang tak mau mendengar, ia sih tak bisa berbuat apa-apa ya? Ya mau bagaimana lagi. Ia juga tak mau memaksa.
"Pasti ada alasannya juga kenapa kamu bertemu denganku di sini."
Mami juga begitu. Tak mungkin meminta tolong padanya kalau hanya sekedar menemani berobat. Ia tahu kalau mami ingin keluar. Tapi ada sesuatu hal yang membuatnya masih terus tertahan di sana. Ia juga ingin keluar. Capek menjerumuskan orang tentunya. Karena pekerjaan itu tak lagi ia nikmati.
Khayra menghela nafas begitu melepasnya kembali naik ke mobil yang akan membawanya ke sana. Sementara ia kembali menuju parkiran. Ya bergegas pulang karena akan segera larut. Tiba di rumah, ia mendapatkan telepon dari Amira. Ya ia mereka harus segera bertemu karena perempuan itu akan kembali bepergian lama.
"Ya aku usahakan ya? Insya Allah."
"Harus loh. Urusan itu boleh aja kamu tolak. Tapi ketemu denganku ya harus."
Ia terkekeh. Ia mengiyakan. Begitu menutup teleponnya, ia menarik nafas dalam. Orang-orang di luar sana mungkin akan bilang kalau kehidupan Mira dan Wirdan sungguh menyenangkan ya? Karena banyak uang dan bisa ke mana pun yang mereka mau. Namun dibalik itu, mereka bekerja sangat keras dan dunia ini kejam. Ia ingat sekali ketika harus menemani Mira naik kapal ke negara tetangga untuk mengamankan diri. Sementsra Wirdan sedang melarikan diri lewat jalur lain. Mereka dikejar-kejar musuh. Satu tahun terakhir ini sudah jauh lebih baik karena Wirdan tak lagi berbisnis sendiri. Ia membangun banyak relasi yang tentu saja dipilih dengan salah selektif. Setidaknya urusan keamanan sudah tak seseram dulu. Meski ya pasti masih banyak yang mengincar nyawa mereka. Terutama ya para pebisnis yang merasa bisnis mereka kalah saing dengan Mira dan Wirdan. Ia juga salut sih karena Mira bisa sekuat itu mendampingi Wirdan. Kalau ia?
Mungkin sudah stres karena selalu ketakutan setiap saat. Walau ia juga tahu, Mira pasti pernah takut juga kan? Karena memang tak mudah hidup dengan Wirdan. Namun semua hal itu pasti ada konsekuensinya. Ia tahu.
Ya kalau mereka bergelimangan harta, ia lebih memilih untuk hidup sederhana. Ia suka dengan kehidupan seperti ini. Meski ya benci dengan berbagai tatapan mata san juga mulut-mulut tiap ia lewat di depan mereka seperti sekarang.
Itu loh si gagal nikah. Yang bukan hanya sekali tapi sudah berkali-kali. Namun ia tak pernah marah kok dengan perkataan semacam itu. Ia yakin. Mau diusia berapa pun, Allah pasti akan menghadirkan pasangan untuknyanyang terbaik. Ia yakin sekali. Ya percaya hanya kepada Allah. Karena memang hanya itu yang menguatkannya. Tak ada yang lain.
"Lihat tuh si perawan tua masuk ke rumah..."
Bisik-bisik tetangga memang kejam. Perempuan yang belum menikah sepertinya dengan usia yang sudah hampir 29 tahun dihakimi bagai penjahat. Bahkan mungkin lebih kejam dibandingkan mengatai koruptor ya? Intinya menjadi jomblo bagi perempuan diusia sepertinya adalah penjahat bagi mereka. Sesuatu yang amat salah dan tidak sesuai norma bagi mereka. Padahal apa salahnya sih? Kan urusan jodoh itu Allah yang atur ya? Ia tak pernah tahu kapan jodoh itu akan datang padanya. Hanya kesabaran yang menemaninya sata ini. Meski ia selalu menangis. Ya tentu saja ia mendengar cercaan itu. Tidak tahu kah mereka kalau mereka juga punya anak perempuan? Tak takut kah mereka kalau apa yang menimpanya hari ini mungkin akan lebih parah ketika dialami oleh anak perempuan nantinya?
Bukan hanya belum menikah. Bukan hanya gaji yang tak seberapa. Bukan hanya kehilangan kehormatan. Bukan hanya itu. Nasib mereka mungkin akan sepuluh kali lipat lebih buruk darinya. Sudah siap kah mereka menjadi seperti umminya yang juga digunjing karenanya? Ia ingin melihat jika itu benar-benar akan terjadi pada mereka.
Bagaimana pun, ia hanya lah manusia biasa. Jadi tolong kalau tak ingin ada yang buruk keluar dari mulutnya maka jaga lah mulut kalian sendiri.
@@@
"Jadi, sudah dapat jawaban?"
Malam begini mereka berkumpul lagi menemani Regan yang sedang jomblo karena istrinya sedang sibuk syuting film di negara tetangga. Hahaaha. Anaknya tentu saja ikut dnegan istrinya. Ia kesepian di rumah besar ini. Sungguh banyak hal yang sudah terjadi di rumah ini sejak menikahi Vanessa. Semoga perempuan itu tak menyesal lagi. Hahaha. Lagi?
"Lo jangan keseringan neloon tengah malem begini."
Fadli datang dengan wajah yabg setengah mengantuk. Mereka terbahak. Tapi omong-omong Fadlan belum terlihat sama sekali.
"Saudara kembar lu mana?"
"Gak bakal datang deh kayaknya."
Wira terbahak. Ya sih. Mungkin. Ia juga tak tahu. "Butuh anak lagi kayaknya."
"Gak mungkin lah. Dia mending nahan nafsu dari pada bininya hamil lagi."
Mereka terbahak lagi. Kali ini Fadlan yang menjadi ghibahan. Menurutnya telepon dari Regan tampaknya bukan sesuatu yang penting. Dari mana ia tahu? Ohooo. Fadlan tentu saja menelepon anak buah Regan di kantor. Kalau mereka siaga berarti memang ada yang darurat. Kalau tak ada? Ya itu akal-akalan Regan saja. Ia sudah terlalu hapal Regan. Karena Regan pernah melakukan itu hingga berkali-kali kok. Jadi Fadlan tentu saja tak mau terperangkap pada lelucon yang sama. Lebih asyik tidur memeluk istrinya mumpung anak-anaknya tak ada. Hahaha. Ya mereka sedang dikirim ke pesantren. Bahkan anak perempuannya juga meski penuh drama. Ya kan anak perempuannya dan istrinya tak pernah berpisah lama. Padahal itu pun hanya satu bulan. Kesempatan ini tentu saja diambil untuk bermesraan dengan istrinya. Kapan lagi coba? Kan biasanya suka ada yang nyempil. Hahaha.
"Lo gak jomblo, gak udah nikah, kerjaannya nyusahin mulu."
Pada akhirnya Regan tentu saja diomeli. Ya dongkol lah. Hahaha. Yang lain juga ingin bersama istri. Ya kalau Wira sih baru saja ditinggal istrinya ke rumah sakit. Jadi ya sudah lah. Ia juga tak bisa protes. Anak-anaknya? Kan memang sedang tidur di rumah oma. Jadi ya sudah lah. Ia berangkat ke sini juga untuk mencari teman sepenanggungan kok. Walau Regan bisa saja menyusul ke Singapura. Tapi ia juga sedang banyak pekerjaan di sini. Mau pergi sebentar lalu pulang dengan pesawat pribadinya? Ya bisa tapi ia tak yakin akan sempat bertemu istrinya yang sedang sangat sibuk.
"Tapi ngomongin soal kata-kata Fadlan waktu itu, dalam waktu dekat, gue dapat bocoran kalau ada banyak kapal asing bakal merapat."
"Barang impor?"
"Kalo impor biasa jelas bukan anomali. Gue gak akan mungkin dapat kabar sebego itu."
Fadli terbahak. Ia baru saja dikatai bodoh. Tapi ya benar juga. Regan tak mungkin mendapatkan informasi yang tak penting-penting amat begitu. Harus ada yang anomali. Ia tentu sangat tahu hal itu.
"Merapat di mana saja?"
"Ya di mana pelabuhan asing bisa merapat. Itu artinya ada banyak pelabuhan."
"Lalu?"
"Hanya berwaspada. Kalau virus mungkin akan ada di dalam ronbongan itu. Tapi masalahnya, dugaan ini juga bisa salah. Bekum tentu ada virus juga. Belum tentu kita bisa ikut campur juga. Pemerintah sedang lengah sekarang karena sibuk dengan urusan dua periode."
Ya memang benar. Karena sibuk berpikir soal janayan pada periode berikutnya. Bukannya fokus pada tanggung jawab yang ada saat ini. Disaat mereka santai begini, ya memanga da sesuatu yang terjadi. Ada sesuatu yang mulai mendekat secara perlahan tanpa disadari.
@@@
"Tadi ketemu Khayra, dok?"
Ia menoleh. Khayra siapa maksudnya?
"Siapa?"
Ia jelas bertanya balik karena bingung. Ya kan tak merasa mengenal Khayra yang disebutkan. Tiba-tiba saja salah satu staf rumah sakit duduk di depannya saat jaga malam begini. Ia sedang berada di kantin tentunya. Lapar. Nanti baru berjaga lagi.
"Yang tadi itu, dok. Yang bawa PSK."
Aaaah. Ia mengangguk-angguk. Oh namanya Khayra begitu? Kenapa satu rumah sakit bisa mengenalnya?
"Kenapa?"
Ia jelas bertanya.
"Dengar-dengar PSK yang dibawa selalu eksklusif."
"Tahu dari mana?"
Ia heran. Ya ia memang baru sih di sini jadi tak tahu apa-apa.
"Ya rumor itu emang udah nyebar dari dulu. Yang dibawa bukan PSK biasa. Susah punya akses ke sana. Bahkan tim kita pernah ditugasin untuk penyuluhan ke sana. Gak bisa. Gak dapat izin. Tapi tuh cewek, berhasil bawa tim kita penyuluhan di sana."
"Bukannya dia orang LSM?"
"Ya kalo LSM sih banyak juga, dok. Tapi orang LSM lain buktinya gak bisa akses ke sana. Cuma dia doang. Pada penasaran aja sih. Kok bisa cewek yang yah berjilbab kayak dia punya akses ke sana."
Ia masih tak paham sebetulnya. Memangnya tempat itu seeksklusif apa? Lalu negitu sedang duduk begini, satu staf lain menghampirinya.
"Dok, saya nyari Kezia tapi kayaknya udah pulang. Tadi ada mbak Khayra kan, dok? Yang bawa PSK itu loh, dok."
Cepat sekali kabar itu menyebar. Seterkenal apa cewek itu hingga semua orang tahu? Ia jadi heran.
"Ada apa?"
"Ada kontaknya gak, dok? Temenku butuh informasi dari dia."
Lah dia mana tahu. "Coba cek aja berkas wali."
"Beneran boleh, dok? Tapi saya kan gak bisa akses, dok."
Ia tampak sumringah. "Nanti saya cek," tukasnya. "Tapi memangnya gak bisa kontak LSM-nya saja ya?"
"Orang LSM gak bakal mau kasih kontaknya."
Oh bisa begitu? Ia baru tahu. Sepenting apa perempuan itu? Selain dicari, kontaknya juga ikut susah didapatkan.
"Bisa begitu?"
"Itu lah, dok. Emang agak misterius sih tuh cewek."
Ia justru makin heran. Ya hanya sebatas itu sih. Si perawat itu ikut dengannya menuju ruangannya untuk mengecek berkas pasien. Harusnya ada kontak wali di sana. Ya memang ada. Tapi begitu dihubungi, yang mengangkat bukan Jhayra. Keduanya juga sama-sama menatap bingung. Ya itu kontak LSM yang ditaruh Khayra di sana.
"Sebenarnya banyak rumornsih, dok, soal cewek itu. Ada yang bilang kalau dia mungkin salah satu mantan PSK itu. Tapi kalau dipikir, itu mustahil. Kalau masuk ke daerah sana, mustahil bisa keluar lagi. Kalau mungkin dia orang penting, susah dibuktikan juga. Orang LSM? Temenku yang wartawan itu sudah mengecek ke LSM di mana dia selalu mencantumkan perwakilan tapi jawaban orang-orang LSM itu sama, dia bukan staf yang bekerja di sana. Ya hanya relawan biasa."
"Kalau relawan bukannya bagus?"
"Ya tapi sampai sekarang, paling susah tuh akses ke tempatnya dia yang di Muara Angke itu. Prostitusi di sana sangat besar, dok. Gak main-main."
Ia hanya mengangguk-angguk saja. Ya tak paham lah. Itu urusan mereka. Ia tak mau ikut campur.
"Jurnalis itu....untuk pemberitaan?"
"Iya, dok. Ini berita anyar. Karena ada sangkut pautnya sama kebijakan baru dan pejabat yang bakal naik menjadi calon. Terlebih rumornya ada yang berhubungan dengan bisnis itu."
Aaah. Ia paham. "Kenapa gak cari PSK atau siapa begitu dibandingkan dengan perempuan itu?"
Menurutnya, perempuan itu tak seberapa penting untuk menjadi sumber informasinya.
"Perlu aksesnya, dok. Mustahil bisa masuk kawasan itu. Kalau perempuan itu sepertinya dia bisa membantu."
Ya walaupun ia juga masih tak paham. Bantuan jenis apa yang bisa diberikan oleh perempuan itu untuk mereka. Ya mungkin memang dapat benar-benar membantu.
Ia sih tak mau ikut campur lebih jauh karena memang bukan urusannya.
@@@
Malam senyap begini, mereka merapat. Ya para imigran gelap dilepaskan dengan sengaja. Para pejabat terkait sudah disuap. Ya kalau imigran gelap sih hal biasa bagi mereka. Datangnya pasti selalu dijam-jam malam seperti ini. Tak mungkin siang karena khawatir ada sidak dadakan dari pihak eksternal.
Para imigran gelap itu dipenuhi oleh laki-laki. Ya memang semuanya laki-laki. Tentu bukan tanpa alasan mereka bisa ada di sini bukan? Karena mereka adalah apra kelinci percobaan. Mereka tak tahu apa yang terjadi selama perjalanan. Usai makan sesuatu, kompak tidak sadarkan diri untuk beberapa jam. Lalu beberapa orang berdatangan untuk menyuntikan sesuatu. Apa itu?
Virus yang mematikan yang hingga kini tidak ada obatnya. Bahkan para kelinci percobaan ini juga bukan orang yang sembarangan juga. Mereka siapa? Para lelaki yang tak suka perempuan. Ya karena bagi para eksekutor akan jauh lebih mudah menyebar mereka. Lantas kenapa targetnya Indonesia?
Selain karena mudah disogok dan sistem keamanan yang lemah, jumlah penduduk Indonesia juga sangat banyak. Semakin banyak yang tertular bukan kah akan menjadi peluang cuan bagi mereka? Meski virus itu mungkin belum begitu aktif di dalam tubuh namun ini hanya perlu waktu beberapa bulan saja untuk menunggu peningkatan kasus. Bahkan pengusaha gelap di sini juga sangat menunggu hasilnya. Ya lah. Ia sudah mengeluarkan banyak uang untuk berinvestasi pada pengobatan dan vaksin yang sedang dalam tahap perkembangan. Harapan mereka tentu saja segera membuahkan hasil.
"Satu tahun ke depan, jangan ada yang berhuhungan dengan laki-laki maupun perempuan sembarangan."
Bahkan mereka sibuk menjaga anggota keluarga mereka dan mengabaikan yang lain. Orang-orang di luar sana? Ya terserah. Mau tertular atau tidak, itu bukan urusan mereka. Bagi mereka yaa yang pentibg uang harus mengalir lebih banyak dan anggota keluarga mereka harus tetap sehat.
Satu per satu sudah dibawa dengan mobil truk khusus yang ditutupi terpal. Ada juga yang masuk mobil box besar. Mereka disebar secara terpisah. Cara mengidentifikasinya? Ada chip di dalam tubuh mereka. Sehingga para oenguji bisa melacak dan membedakan orang yang menjadi kelinci percobaan mereka. Data tak akan cukup tanpa chip pengenal yang ditanam tanpa mereka tahu bahwa selain disuntikan virus, di dalan tubuh mereka juga sudah dipasang sesuatu yang tak seharusnya.
"Paling lama satu tahun, ini mungkin akan menjadi sebuah pandemi baru."
Sang pemimpin berjas putih itu tersenyum tipis melihat kendaraan-kendaraan besar itu meninggalkan pelabuhan. Para orang bodoh, ya para pegawai yang sudah disuap, tak sadar kalau mereka telah membuat negara mereka terjun ke jurang tanpa mereka tahu apa yang terjadi.
Sementara orang-orang yang membicarakan itu di rumah Regan akhirnya malah pulas. Tak tahu juga kalau sekaranga dalah waktu aksinya. Benar-benar tak terduga.
@@@
"Aku mau ke rumah Mira sih, um. Udah janji. Kan gak bisa ke LSM tuh. Dia juga gak di sana. Katanya di rumah saja."
Umminya mengangguk-angguk. Perempuan itu menatap pakaiannya. Ya sederhana sih. Hanya gamis sederhana tanpa ada embel-embel lainnya. Ia tak begitu memerdulikan tatapan umminya. Ia sibuk mengeluarkan motornya lalu mengendarainya meninggalkan rumah.
Umminya menatap dengan sendu. Ya seolah tahu apa yang akan menimpanya. Apa?
Ketika ia berhenti di warung depan gang. Tentu saja untuk membeli beberapa makanan di sana. Di rumah Mira kan ada banyak anak kecil juga. Jadi ia sengaja mampir ke warung untuk membelikan cemilan. Lalu apa yang ia dapatkan? Ya sesuai prediksi, tentu saja menjadi bahan olokan ibu-ibu.
Dibilang perawan tua lah. Dibilang terlalu pemilih. Dibilang guru TK yang gak becus juga karena dianggap tak tahu apa-apa soal anak. Kata-kata ejekan mereka sungguh mengerikan dan bensr-benar tak berperasaan. Seseorang yang baru saja memarkirkan motor hendak membeli bensin eceran di warung itu pun terdiam mendengarnya. Ia menoleh ke arah perempuan yang buru-buru mengambil makanan-makanan itu untuk segera dibayar. Perempuan itu hanya menunduk. Tak membalas sedikit pun. Ia juga sibuk dengan bensin motornya. Pegawai satu lagi yang menuangkan bensin ke dalam motornya.
Matanya tak sengaja menangkap wajah Khayra ketika gadis itu keluar dari warung dengan dua plastik besar berisi makanan. Kini disangkutkan ke motornya. Tak lama, gadis itu mengendarai motornya. Ya dari pada memancing mereka terus untuk berbuat dosa kan? Kan kasihan itu mulutnya membuat malaikat capek menuliskan amal-amal buruknya. Jadi ia buru-buru pergi.
Sementara itu, Adam berdeham. Tentu saja ia hendak bersuara. Walau si pegawai memberi kode agar ia diam saja. Karena apa? Percuma. Ibu-ibu itu hanya akan merasa benar dengan segala tindakannya.
"Semoga Allah balas dengan kebaikan ya, bu, atas omongannya tadi. Semoga juga anak-anak ibu tak mengikuti mulut ibunya. Karena kelakuan anak itu cerminan orangtuanya. Tak mungkin ada keburukan di dalam diri anak sementara keburukan itu tak ditemukan pada diri orangtuanya. Itu hal yang mustahil. Berterima kasih lah juga ampada perempuan tadi karena buru-buru pergi. Kalau tidak, makin bertambah banyak dosa kalian. Ingat, bu, zalim itu akan dibalas Allah. Ingat juga kalau mungkin punya anak perempuan. Biar gak kayak gitu. Wassalammualaikum."
Ia berpamitan lantas geleng-geleng kepala begitu mengendarai motornya.
@@@