"Ada apa?"
Karena suaminya tak ada di kursi di dalam ruangan direktur, ia akhirnya membuka pintu rahasia yang ada di dalam ruangan itu juga. Mereka punya banyak pintu rahasia. Gedung manapun yang mereka punya pasti ada ruangan khusus. Kegunaannya untuk apa? Tentu saja untuk kelangsungan hidupnya bersama Amira dan anak-anak merrka. Ya termasuk bayi yang ada di dalam perut itu. Melihat wajah suaminya tampak cemas, ia tahu mungkin terjadi sesuatu?
"Kamu tahu kalau ada yang mencoba mengincar keuangan kita?"
"Bukannya hal biasa?"
"Kali ini mereka berhasil membobolnya."
"Hilang berapa?"
"Mungkin sekitar 0,001 persen dari harta kita?"
"45 triliun?"
Ia hanya memperkirakan.
"Ya. Itu uang yang sangat besar, sayang. Aku mulai was-was."
"Siapa yang merencanakan?"
"Aku tak begitu yakin. Tapi tampaknya melibatkan banyak pengusaha farmasi kali ini."
Amira terdiam. Tentu saja ia paham ke arah mana ujungnya.
"Tim IT bisa mengatasinya?"
"Ya. Aku juga sedang melaporkan ke pihak bank."
"Mereka akan membantu?"
"Kehilangan ini karena mereka. Jadi mereka harus menggantinya."
Amira mengangguk-angguk. "Kamu gak makan?"
"Nanti, sayang."
"Aku bawakan saja kalau begitu."
Ia tahu kalau suaminya sudah sibuk begini, ia tak bisa fokus pada hal lain. Jadi ia segera berbalik untuk mengambilkannya makanan.
"Khayra masih di ini?"
"Ya. Kenapa?"
"Aku butuh bantuannya."
"Ya udah aku ajak sekalian ke sini ya?"
Wirdan mengangguk. Maira tersenyum tipis melihatnya bekerja begitu keras. Ia tahu kalau Wirdan begitu sibuk. Ia mengerjakan banyak hal untuk menghasilkan uang. Tentunya juga untuk membantu orang banyak. Terutama mereka yang tak beruntung di negara ini. Fokusnya memang di negara ini. Meski mereka asing di sini.
Amira mencari Khayra dulu. Ia memanggil salah satu petugas di sana untuk dimintai tolong memanggilkan Khayra. Baginya terlalu jauh untuk berjalan ke sana dengan kondisi hamil begini. Ia memilih untuk ke kantin dan mengambil makanan untuk Wirdan di sana. Anaknya mungkin sudah dijemput oleh supir untuk dibawa ke sini. Sementara itu.....
"Apa yang mereka incar menurutmu, mas?"
Wirdan tampak serius dengan teleponnya. Ia menghubungi seseorang yang ia kenal beberapa tahun silam. Tentu saja lelaki yang sangat cakap dalam bekerja. Terutama urusan meretas. Ia pernah melakukan hal yang sama. Aah bahkan berulang-ulang melakukan hal yang sama.
"Mereka tampaknya sedang mencoba mengembangkan vaksin HIV."
"Hampir mustahil."
"Ya. Tentu saja sulit. Andai berhasil, kau tahu seberapa besar keuntungan yang akan mereka dapatkan."
"Lantas benar ada kaitannya dengan apa yang kita temukan barusan?"
"Ya. Aku lihat bukan hanya di Indonesia. Ada di beberapa negara berpendapatan rendah lainnya yang menjadi incaran mereka. Dan akan sulit mencegahnya. Kau tahu, mereka berlindung dibalik pejabat."
"Aku punya seseorang yang mungkin bisa ke sana dengan koneksinya."
"Tempat itu terlalu berbahaya. Kau tahu, tak pernah ada yang lolos--"
"Ada, mas. Ada yang lolos. Dan aku sangat mengenalnya."
Lelaki di seberang sana terdiam. "Lalu apa rencanamu?"
"Aku pikir perlu penyelidikan. Kita punya beberapa sumber daya di sini. Aku juga akan mengerahkan beberapa nakes."
"Kau tahu melawan pemerintah itu yang paling sulit bagi kita. Bukan karena mereka terlalu pintar. Tapi karena mereka bahkan tak punya hati."
"Kalau mereka punya hati, aku dan keluarga besarku tak akan sampai pindah negara hingga kewarganegaraan."
Lelaki di seberang sana terkekeh.
"Baik lah. Jalankan rencanamu, aku akan memantaunya dari sini."
Wirdan mengiyakan. Ia segera mematikan panggilan itu bersamaan dengan suara pintu. Istrinya sudah kembali dan tentu saja tak sendiri. Dengan siapa? Apa masih perlu ditanya?
"Khay, kau masih dekat salah satu mami di Muara Angke?"
Mata Khayra jelas langsung menyipit. Kalau tak dekat, ia tak mungkin bisa membawa kabur satu PSK hingga bisa ia bawa ke sini bukan? Bos di atas 'mami' itu jauh lebih mengerikan.
"Aku gak mau yaa......"
Ia langsung menolak mentah-mentah. Wirdan terkekeh. Sudah menduga. Tapi percaya lah, Khayra pasti akan tetap membantunya.
@@@
"Sudah berhasil menemukan siapa dalangnya, kak?"
"Gue lagi ngecek pesawat mana yang akan mereka bawa untuk sabotase itu."
Fadlan sedang sibuk dengan jemarinya. Ia juga dibantu tim Regan yang ada di kantor pusat. Ia tak bisa lama-lama sebetulnya karena sudah berjanji untuk mengoperasi pasien dua jam lagi.
Fadli baru saja bergerak untuk menemui beberapa menteri dan pengusaha yang sudah ia kumpulkan. Tentu saja mereka yang sepaham dan sejalan dengannya. Sementara yang lain bergerak untuk berhadapan dengan kelompok mafia yang masuk ke Indonesia melalui kapal di Sulawesi. Ya pasti ada sangkut pautnya dengan pejabat. Maka mereka sedang mencari dalangnya. Siapa sebetulnya yang terlibat? Apa tujuan mereka sebenarnya?
Fadlan hanya bsru berspekulasi. Namun yang namanya dugaan memang belum tentu benar bukan?
"Perkiraan mereka akan melakukan itu kapan."
"Gue lagi analisis. Jangan ganggu."
Fadli berdeham. Terpaksa berhenti menganggunya sementara ia sudah hampir sampai di lokasi pertemuan dadakan. Tentu saja tak banyak yang mungkin bisa hadir tepat waktu. Tapi ia tak punya pilihan lain. Mereka harus segera bertemu untuk berembuk. Mungkin memang bukan negara ini yang diincar oleh pesawat sabotase itu nanti. Tapi pasti ada sesuatu mereka incar juga karena operasi itu dilakukan dalam waktu yang relatif dekat. Sudah banyak uang perusahaan yang ditarik jadi pasti sudah banyak yang menjadi korban. Namun tentunya tak sadar karena jumlah yang sangat sedikit. Tapi disaat sedang menyelidiki rute pesawat dan beberapa gedung penting yang ia curigai sebagai target, komputer di sebelahnya justru baru saja menemukan sesuatu. Apa itu?
Ada yang aneh dari orang-orang yang terdeteksi di dalam kapal yang mulai mendekat Indonesia. Yang datang dari arah Singapura menuju ke Batam. Apakah itu?
Ia mencoba menyelidikinya namun masih buntu. Apa yang ada di dalam kapal itu? Ia segera mengirim temuan itu pada tim pusat agar bisa segera diselidiki. Sementara itu, ia melanjutkan pekerjaannya.
Regan berdiri di atas kapal pesiar mewah. Tentu saja bukan untuk ikut berpesta di sana. Ia mencurigai ada beberapa kawanan mafia di dalam sana. Jadi sengaja bergabung untuk menyelidiki. Mafia mana? Apa urusan mereka di sini? Hanya sekedar barang haram kah atau lebih dari itu?
Ia bergerak masuk dengan stelan pakaian paling mahal dan keren usai berganti baju di salah satu kamar mewah yang ada di sana. Lalu berjalan menuju keramaian di mana banyak yang memainkan billiard. Sementara iru, Wira baru saja mendarat di salah satu pulau terdekat Jakarta. Ia turun untuk ikut beraksi. Pulau ini sebenarnya tak seberapa luas. Tak seberapa jauh juga dari Pulau Jawa. Tapi akan butuh beberapa jam untuk bisa menempuhnya dengan kapal. Itu jelas membuang waktu.
"Gue baru turun," lapornya. Tentu saja timnya sudah tahu. Ia sudah siap dengan pistolnya. Omong-omong, ia memakai stelan hijau lumut. Dari kejauhan mungkin akan salah dipahami kalau ia adalah kapten Ri atau kapten Yoo yang populer di tahun-tahun berikutnya.
@@@