Kepulauan Masalembo

1271 Kata
Tepat pada malam Jumat Wage, langit terasa kelam, seolah-olah Matahari enggan menampakkan diri. Kapten Bayu yang sudah berusaha memutar balik kapalnya untuk kembali ke Jawa, harus menelan kenyataan pahit: ombak tinggi datang menerjang dari selatan, membalikkan semua rencana. Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba ditelan awan hitam yang bergerak cepat menuju timur. Petir menggelegar, kilat bersahutan, seakan memperingatkan bahaya. Firasat buruk yang menghantui mimpi Gadi akhirnya terjadi. “Ndan, ada apa ini?” tanya Arif dan Joko yang keluar dari anjungan dengan wajah cemas. “Bagaimana dengan Kapten Bayu?” Gadi bertanya sambil menatap anak buahnya. “Sepertinya badai besar, Ndan. Langit yang tadi cerah tiba-tiba berubah gelap. Saya lihat Kapten Bayu sedang menghubungi darat!” jawab Arif. Di tengah kekacauan itu, enam pasukan khusus Marinir dan sepuluh kru KRI Jaya Wijaya terseret oleh arus badai, sementara Kapten Bayu berjuang keras mengendalikan kapalnya. Sukma Wijaya dan Hendra Kurniawan, yang memiliki masalah pribadi, tak henti-hentinya bertengkar, meski kapal mereka tengah terombang-ambing hebat. “Kamu egois, Hendra! Selalu mau menang sendiri!” Sukma berteriak saat melihat Hendra bertengkar dengan Arif. “Gue belum mau mati! Belum kawin, gue!” balas Hendra dengan nada keras, tangannya mengepal, siap memukul Sukma. Tapi Joko segera melerai. “Ndan, Kapal akan memutar balik ke Kalimantan untuk menghindari badai!” seru Hylda pada Gadi. “Ke Kalimantan? Itu semakin jauh! Lebih baik kita terjang badai ini!” Gadi membalas dengan tegas, tapi pikirannya terganggu oleh visi ghaib yang ia rasakan. Ia tahu, badai ini bukan badai biasa. Pertengkaran pecah antara perintah Gadi dan keputusan Kapten Bayu, yang akhirnya memilih berbalik arah menuju Kalimantan. Namun, badai semakin menggila, menolak semua upaya mereka untuk keluar. Para kru hanya bisa berdoa, sementara Kapten Bayu berusaha keras mengendalikan kapal. “Kita tak punya pilihan lain, Ndan. Kita harus terjang ombak,” ucap Bayu dengan berat hati. Gadi, yang menyadari kesalahannya dalam mengambil keputusan, meminta maaf pada kru. “Saya terlalu arogan tadi. Tapi percayalah, kita akan keluar dari badai ini bersama-sama. Kenakan pelampung kalian, sekarang kita hanya bisa berdoa.” Suasana di lautan yang sebelumnya tenang mulai berubah mencekam. Langit yang tadinya cerah mendadak tertutup awan gelap pekat. Ombak kecil yang beriak pelan perlahan menjadi gelombang besar yang menderu-deru, seolah-olah alam sedang bersiap memperlihatkan kekuatan terbesarnya. Di kejauhan, kilatan petir merobek langit yang hitam legam, diikuti oleh suara gemuruh yang memekakkan telinga. Di atas KRI Jaya Wijaya, Kapten Bayu berdiri tegar di atas anjungan, menatap horison yang tampak semakin mengancam. Angin yang tadinya lembut kini bertiup kencang, meniupkan butiran air laut ke wajahnya, dingin dan garang. “Tidak ada jalan kembali,” gumam Bayu sambil menggenggam kuat kemudi. “Ombak dari selatan sudah mulai naik.” Perintah disebar ke seluruh kapal, para kru bergegas mengenakan pelampung dan memastikan kapal siap menghadapi badai. Di dek, Gadi berdiri bersama Arif dan Joko, mata mereka menatap ngeri ke arah ombak yang semakin tinggi. “Ndan, kita akan diterjang badai besar,” kata Arif dengan suara gemetar. Gadi hanya mengangguk, rahangnya mengatup rapat, berusaha menyembunyikan rasa takut yang perlahan merayap. Dalam pikirannya, firasat buruk dari mimpi semalam kembali berputar, bayangan kehancuran dan lautan yang mengamuk. Petir menggelegar, seakan langit marah. Gelombang mulai memukul sisi kapal dengan keras, membuat tubuh besar KRI Jaya Wijaya bergoyang hebat. Di setiap dentuman ombak, kapal seakan ingin terbalik, berjuang melawan kekuatan yang jauh lebih besar. Di dalam anjungan, Kapten Bayu terus mencoba mengendalikan kapal, tangannya memutar roda kemudi dengan tenaga penuh, tapi arah angin dan arus semakin sulit ditebak. “Bandar tidak bisa memberikan instruksi lebih, kita harus mengambil keputusan sendiri,” seru Bayu pada krunya. “Ndan, sepertinya tidak ada pilihan lain. Kalau terus begini, kita akan ditelan ombak,” seru salah satu kru di anjungan. Wajahnya pucat pasi, cemas akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. “Kita tidak bisa kembali ke Jawa. Kapal tidak akan bertahan melawan badai sebesar ini,” kata Bayu dengan suara tegas, namun getir. Pilihan yang tersisa hanya satu—menghindar dari badai atau menerjangnya. Tiba-tiba, ombak raksasa setinggi bukit terlihat di depan kapal, bergerak cepat seolah siap menelan mereka. Seketika, Gadi melihatnya dan berteriak, “Pegang erat-erat! Ini dia!” Ombak itu datang menerjang, menghantam KRI Jaya Wijaya dengan kekuatan penuh. Kapal bergetar hebat, air laut memecah di atas dek, membasahi segala yang ada. Jeritan kru terdengar di antara suara badai, namun kapal tetap bertahan, terombang-ambing dalam amukan alam yang tiada ampun. Hujan turun dengan deras, butiran air yang tajam seperti jarum menghantam tubuh para kru, membuat penglihatan semakin terbatas. Kapten Bayu terus berjuang di balik kemudi, sedangkan Gadi dan yang lainnya mencoba bertahan di dek. Ombak terus menghantam tanpa henti, seperti tak memberi ruang sedikit pun untuk bernafas. Sementara itu, di dalam hati Gadi, firasat buruk semakin kuat. Ini bukan sekadar badai. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan alam. Badai ini terasa seperti peringatan, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka ke arah kehancuran. Namun, tak ada waktu untuk berpikir. Mereka hanya bisa bertahan, berharap kapal mereka tidak karam dalam kegelapan malam yang mencekam. Keesokan harinya, di bawah terik Matahari yang menyilaukan, Gadi terombang-ambing di pesisir pantai dengan hanya mengenakan pelampung. Ia tersadar bahwa dirinya selamat dari badai. Di kejauhan, ia melihat Hylda dari kejauhan, yang tergeletak tak sadarkan diri, dan Sukma yang tersenyum ke arahnya. Gadi segera berenang menepi. Bersama Sukma, ia menemukan Hylda yang masih pingsan di atas pasir. Di dekatnya, terdapat sebuah kayu dengan ukiran misterius ‘Blood Island’. Sebuah nama yang membawa firasat buruk. “Hylda, bangun!” teriak Gadi sambil menepuk pipi Hylda yang perlahan membuka mata. “Bang Gadi!” Hylda memeluknya erat. “Kita masih hidup, kan?” “Iya, tapi lepaskan pelukannya dulu,” jawab Gadi, tersenyum tipis. Mereka bertiga duduk di pinggir pantai, memandang ke laut yang kosong. Tak ada kapal, bahkan KRI Jaya Wijaya lenyap tanpa jejak. “Apa yang terjadi dengan yang lain? Kenapa hanya kita bertiga di sini?” batin Gadi berkecamuk. Perut mereka yang kosong memaksa Gadi masuk ke dalam hutan untuk mencari buah, sementara Sukma dan Hylda mencoba menangkap ikan di pantai. Namun, di saat itulah Sukma merasa ada sesuatu menyentuh kakinya. Saat ia menyelidiki, ternyata bukan ikan yang ia temukan, melainkan puluhan mayat yang terdampar. “Dari mana mayat-mayat ini, Bang?” tanya Hylda ketakutan, mencengkeram tangan Sukma erat. Di tengah hutan, Gadi berjalan sendirian. Namun, ia tahu, ada sesuatu yang mengikutinya—sesosok hantu wanita berambut pirang, Elisabet Morgan. Gadi yang bisa melihat sosok itu memilih berpura-pura tak menyadarinya. “You can help me?” suara Elisabet mengganggu, tapi Gadi terus berjalan. “Why do you follow me? Don’t disturb me!” seru Gadi, berusaha menjauh dari kehadiran gaib itu. Tapi Elisabet tidak menyerah, dia terus mengikuti dan akhirnya menuntun Gadi menemukan buah-buahan di hutan. Setelah mengumpulkan cukup buah, Gadi kembali ke pantai hanya untuk menemukan Sukma dan Hylda hilang. Pencarian dilakukan di bawah sinar rembulan, dibantu oleh Elisabet. Namun, Gadi tak menemukan mereka, melainkan lebih banyak mayat yang berserakan di sepanjang pantai. Tiba-tiba, tembakan terdengar. Gadi bergegas menuju suara itu, hanya untuk menemukan Hylda, terlibat baku tembak dengan sekelompok perompak. “Hylda, ini aku!” Gadi memanggil dengan suara lirih. Hylda menodongkan pistol ke arah Gadi, lalu berteriak, “Bang, di belakang Abang ada wanita!” Gadi menoleh dan melihat Elisabet berdiri di belakangnya, tampak ketakutan karena Hylda bisa melihatnya. “Dia temanku. Biarkan dia,” kata Gadi, menurunkan senjata Hylda perlahan. Namun, saat pagi tiba, Sukma ditemukan dalam keadaan terluka di pinggir pantai, dengan tatapan kosong. “Pulau ini... tiap pagi terlihat biasa saja, tapi saat malam tiba... semuanya berubah,” katanya dengan suara serak. Petualangan baru mereka di Pulau Blood baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN