Menyusuri Hutan

1525 Kata
“Sebenarnya, ada apa dengan pulau ini?” Hylda bertanya dalam hati, pandangannya tak lepas dari pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar mereka. “Makan dulu! Buah ini masih segar. Kita perlu isi perut sebelum mikirin jalan keluar,” perintah Gadi sambil menyodorkan beberapa buah. “Aneh ya, Bang? Lihat luka di kaki Bang Sukma. Itu bekas goresan belati sungguhan,” ujar Hylda, raut wajahnya dipenuhi rasa heran. Gadi berdiri dan memberikan beberapa buah kepada Sukma. “Makasih, Bang,” ucap Sukma dengan lemah. “Masih kuat jalan, kamu?” tanya Gadi sambil menatap Sukma dengan cemas. “Siap, masih kuat, Bang.” “Habiskan dulu! Setelah itu kita lanjut masuk ke hutan. Di pantai terlalu berisiko.” Gadi menyapu pandangannya ke sekeliling, yang hanya menampilkan hamparan pasir dan pohon kelapa. Tidak ada tanda kehidupan lain, seolah mereka benar-benar satu-satunya manusia di pulau ini. Di belakang mereka, Elisabeth masih setia mengikuti tanpa sepatah kata pun. “Kita lanjut masuk, Bang,” desak Hylda setelah beberapa saat mereka beristirahat. Melihat Sukma kesulitan berdiri, Gadi segera memapahnya, membantu menegakkan tubuhnya yang lemah. “Makasih, Bang!” Sukma tersenyum, mencoba tetap kuat. Langkah mereka perlahan memasuki hutan, jalan setapak yang hanya terlihat samar di bawah rerimbunan pohon. Tak ada suara, hanya keheningan alam yang menyelimuti. Tak ada binatang, tak ada manusia lain. Hanya mereka bertiga, bersama Elisabeth, menyusuri kegelapan hutan yang semakin pekat. Hylda, dengan belatinya, sibuk memangkas rumput liar yang menghalangi jalan. “Jangan terlalu jauh, kita cuma perlu cari tempat buat berlindung,” instruksi Gadi singkat. Hylda menghentikan langkahnya di depan sebuah pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. “Gimana kalau di sini, Bang? Kayaknya aman buat kita istirahat.” “Gak apa, setidaknya kita aman dari hujan kalau turun,” jawab Gadi seraya memandang langit yang mulai mendung. “Coba kalau ada korek, kita bisa bikin api unggun,” ucap Sukma dengan nada bercanda, meskipun lelah terpancar di wajahnya. “Kalau tahu bakal terdampar, aku bawa tenda sekalian!” Gadi tertawa, berusaha mencairkan suasana. “Kalian di sini dulu. Aku cari buah lagi,” kata Gadi sambil melangkah menjauh. “Enggak, Bang. Kita bareng aja. Kita cuma bertiga, harus saling jagain. Lagipula, kita juga gak tahu keadaan di sini,” protes Hylda. “Kamu masih kuat, Sukma?” tanya Gadi memastikan. “Siap, Bang. Apa pun yang terjadi, masih kuat!” Mereka pun melanjutkan pencarian, menyusuri hutan yang semakin rapat. Namun, tak ada pohon buah yang bisa mereka temukan, hanya pepohonan tinggi yang menjulang. Setelah beberapa waktu, mereka terpaksa berhenti sejenak karena kelelahan. “Hello! I can help you,” tiba-tiba Elisabeth muncul di tengah keheningan, suaranya membuat Gadi terkejut. “Duh, bikin kaget aja. Muncul tiba-tiba, hilang tiba-tiba,” gerutu Gadi kesal. “Maksudnya apa, Bang?” Sukma yang tak bisa melihat Elisabeth jadi kebingungan. “Bang Gadi diikutin hantu perempuan,” jawab Hylda setengah bercanda. Sukma, dengan wajah serius yang tiba-tiba berubah riang, berkata, “Cantik gak, Bang? Kalau cantik, kita bawa pulang aja!” “Kamu tanya aja Hylda, cantikan dia atau si hantu,” jawab Gadi sambil tersenyum usil. “Tentu aku lebih cantik, Bang. Aku nyata, bisa dilihat dan disentuh,” sahut Hylda sambil mengerucutkan bibirnya. “Tapi si hantu lebih cantik, kan?” goda Gadi lagi, membuat Hylda cemberut. “Help me, please. Help us find a cave, or anything to eat. We’re lost!” pinta Gadi kepada Elisabeth dengan nada memelas. Elisabeth tersenyum lembut. “Oke, aku tahu apa yang kalian butuhkan. Dulu aku juga terjebak di sini, sampai akhirnya mati di pulau ini.” “Bisa Bahasa Indonesia juga ternyata. Kenapa gak dari tadi.” “Dupu “Terima kasih, Elisabeth,” ucap Hylda. “Sama-sama. Ikuti langkahku,” jawab Elisabeth sambil melangkah perlahan. Terik matahari yang menyengat membuat setiap langkah terasa semakin berat. Hylda, yang mulai kelelahan, akhirnya mengeluh, “Aku lapar banget. Masih jauh gak sih?” “Sekitar dua puluh menit lagi kita sampai di sungai. Di sana ada gua untuk berlindung,” jawab Elisabeth tanpa memperlambat langkahnya. Hylda terlihat semakin pucat. Menyadari kondisinya, Gadi berjongkok, menawarkan punggungnya. “Naik aja, biar abang gendong.” “Tapi, Bang Gadi kan juga sudah capek. Aku bisa jalan sendiri.” “Sudah tenang saja, abangmu ini punya tenaga ekstra,” ucap Gadi sambil menepuk punggungnya. Hylda akhirnya menyerah dan naik ke punggung Gadi. Tangan-tangannya merangkul leher Gadi erat-erat. “Berat juga kamu,” canda Gadi. “Turunkan aja, Bang. Nanti abang malah kecapekan.” “Diam saja. Abang gak akan ninggalin kamu sendirian di sini,” tegas Gadi, membuat Hylda tersenyum, lalu mempererat pelukannya. “Bang, dengar itu. Ada suara air,” ucap Hylda tiba-tiba. Gadi berhenti sejenak, memasang telinganya. “Iya, benar. Suara air!” “Lihat, sungainya sudah kelihatan!” seru Hylda girang. “Alhamdulillah, bisa minum juga akhirnya. Kamu bisa mandi, Sukma, biar segar!” seru Gadi, namun tak ada jawaban dari Sukma. Menoleh ke belakang, Gadi tak melihat Sukma. “Sukma? Sukma! Sukmaaa!” panggilnya, namun tak ada sahutan. Gadi segera menurunkan Hylda dan bergegas mencari keberadaan Sukma. “Elisabeth, you go ahead with Hylda. Wait at the river. I’ll find Sukma and follow soon,” ujar Gadi tegas. Elisabeth mengangguk dan melanjutkan perjalanan bersama Hylda. Gadi merasa ada sesuatu yang ganjil. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Samar-samar terdengar suara tangisan seorang wanita. Perlahan, suara tangisan itu berubah menjadi tawa menyeramkan, membuat Gadi menggelengkan kepalanya. “Ada kuntilanak di sini,” batin Gadi. Beberapa saat kemudian, Gadi menemukan Sukma sedang berdiri kaku, matanya terpaku pada mayat berseragam marinir. Mayat itu sudah dikerumuni belatung dan bau busuk menguar tajam. “Sukma!” panggil Gadi, namun Sukma tetap bergeming. Gadi mendekati mayat tersebut, melihat nama "Ahmad S." tertera di seragamnya. Dia mencoba menyadarkan Sukma dengan menepuk-nepuk pundaknya. “Kita harus ambil kalung itu sebagai bukti,” ucap Gadi. “Siap, Bang,” jawab Sukma pelan, masih gemetar. Gadi menatap tajam pada kalung yang tergantung di leher mayat tersebut. Meskipun suasana sekitar semakin mencekam, dia tahu benda itu bisa menjadi petunjuk penting. Dengan tangan bergetar, dia meraih kalung tersebut, menariknya perlahan dari tubuh yang sudah hancur oleh waktu dan alam. “Maafkan aku, Bung,” gumam Gadi, merasa berat hati saat mengambil barang dari seorang yang jelas sudah tewas di pulau ini. Sukma yang sudah sedikit pulih dari keterkejutannya, akhirnya bisa bernafas lebih lega. “Ini pasti salah satu kru kapal, ya, Bang? Berarti mereka juga terdampar di sini.” “Kelihatannya begitu. Tapi pertanyaannya sekarang, apakah mereka semua mati di sini? Dan kalau iya, kenapa?” Gadi memandangi hutan seolah-olah mencari jawaban di balik kegelapan yang memeluk mereka. “Kita gak boleh lama-lama di sini. Elisabeth udah nunggu di sungai, dan kita harus segera kembali sebelum hal aneh lain terjadi.” Gadi memberi isyarat pada Sukma untuk segera melangkah pergi dari tempat itu. Sukma mengangguk lemah, meski matanya masih tak bisa lepas dari mayat di hadapannya. Mereka berdua segera berjalan cepat, mengikuti arah di mana Hylda dan Elisabeth sudah lebih dulu menuju sungai. Sepanjang perjalanan, Gadi terus waspada, sesekali melihat ke belakang, seolah merasakan sesuatu yang mengintai. Suara-suara asing yang tadi samar kini semakin terdengar jelas, seperti bisikan-bisikan dari balik pepohonan. Namun, Gadi menepis pikirannya sendiri, fokus untuk segera menemukan Hylda dan Elisabeth. Saat mereka mendekati sungai, tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan yang mereka dengar sebelumnya. Namun kali ini, suara itu lebih dekat, lebih menyeramkan. “Kita harus lebih cepat, Bang!” desak Sukma, wajahnya memucat. Tanpa pikir panjang, Gadi menarik lengan Sukma, mempercepat langkah mereka. Mereka akhirnya tiba di tepi sungai, dan melihat Hylda duduk di tepi air dengan Elisabeth berdiri tak jauh darinya. “Elisabeth, apa yang terjadi di sini?” Gadi langsung menatap Elisabeth, berharap mendapatkan jawaban. Elisabeth memandang Gadi dengan sorot mata yang seolah mengetahui lebih banyak dari yang bisa dia katakan. “Pulau ini... dulu ada banyak orang seperti kalian, terdampar, mencari jalan pulang. Tapi pulau ini memilih siapa yang bisa hidup dan siapa yang tidak.” “Pulau ini memilih?” Gadi mengernyit, tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Apa maksudmu?” “Ya. Ada sesuatu yang lebih besar di sini. Lebih gelap. Aku juga dulu seperti kalian, terjebak, dan... akhirnya terperangkap di antara kehidupan dan kematian.” “Jadi, kita terjebak?” Hylda yang mendengar percakapan itu ikut bertanya, matanya kini dipenuhi kecemasan. Elisabeth mengangguk pelan. “Kalian harus hati-hati. Tidak semua orang yang terdampar di sini berhasil keluar dengan selamat.” Suasana hening sejenak. Angin sore mulai bertiup dingin, membawa serta aura misterius dari dalam hutan. “Kita harus cari cara keluar dari sini,” kata Gadi akhirnya. “Kita gak bisa menyerah begitu saja.” Elisabeth tersenyum samar, lalu menunjuk ke arah sebuah gua yang terletak tak jauh dari sungai. “Kalian bisa berlindung di sana untuk malam ini. Tapi ingat, jangan sekali-sekali keluar setelah matahari terbenam.” Sukma dan Hylda saling bertukar pandang, merasakan dinginnya hawa ancaman yang melingkupi mereka. Gadi hanya mengangguk, tak ada pilihan lain selain mengikuti saran Elisabeth. Malam itu akan menjadi malam panjang yang penuh teka-teki dan ketakutan, dan ketiganya tahu bahwa bertahan hidup di pulau ini adalah tantangan yang jauh lebih besar daripada sekadar menemukan jalan pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN