"Kenapa kamu tidak menerima telpon papa?. Kalau papa nelpon, itu artinya papa perlu sama kamu." Tanya Dante tidak sabaran.
Ia sedikit kecewa dengan apa yang telah putranya lakukan padanya, sehingga ketika ia pulang bekerja di sore harinya, langsung menuju rumah sang putra meski harus memberikan begitu banyak alasan agar Cinta tidak curiga.
Zavon cuek. Dia tidak mengindahkan apa yang dikatakan papanya. Ia masuk ke dalam kamarnya, menanggalkan pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi begitu saja.
"Hei, Zavon!. Papa ngomong dijawab, jangan cuek begitu saja!" Teriak Dante.
"Pulang saja, pa. Zavon malas ngomong. Besok aja kita bicara!" Balas Zavon dari dalam kamar mandi.
Dante kesal. Ia ingin membantunya segala hal yang ada di dekatnya, namun itu bukanlah miliknya. Pada akhirnya, menjadi seorang papa dari Zavon harus benar-benar menyetok banyak sabar.
"Aish! Awas saja kalau besok malah ngehindar lagi. Aku aduin ke mama, mampus kamu Zavon!"
Dengan sangat terpaksa, Dante keluar dari kamar itu dan pulang setelahnya. Kehadirannya di rumah anaknya sendiri, tidak di harapkan. Bahkan ia diusir pula.
Cuek. Keras kepala. Tapi, perhatian pada satu hal yang sudah ia targetkan sejak awal. Keduanya memang memiliki kepribadian yang sama.
Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya.
***
Perasaan Zavon semakin gelisah dan tidak bisa tenang. Berulang kali, bahkan sampai membuatnya kesal pada diri sendiri, tapi ia tetap memikirkan perempuan yang sudah ia tinggal di saat-saat berduka seperti itu. Tertinggal sedikit penyesalan dalam dirinya.
Sudah jam 2 dini hari dan Zavon belum juga berniat untuk tidur, padahal ia tahu kalau ia akan pemotretan besok paginya. Ia tahu kalau begadang tidak akan membuatnya fit, apalagi sebelumnya ia sudah berselisih dengan Juna.
Beberapa kali Zavon memukul kepalanya sendiri, sambil berkata, "tidur, gak?!. Mikirin cewek mulu kerjaannya, tidur kagak."
Tidak lama, dia kembali mendumel. "Aish! Benar-benar ada yang salah denganku saat ini dan aku rasa ini sudah tidak beres. Padahal dia tidak terlalu cantik, tapi kenapa aku malah menyukainya. Bahkan banyak juga yang lebih cantik darinya di kampus. Kalau aku mau, aku bisa memacarinya, bukan malah nyakitin diri mikirin perempuan lain sampai gak bisa tidur kayak gini!"
Dia berusaha untuk tidur lagi, bahkan pula menutup matanya dengan penutup mata. Selimut tebal sudah siap mengantarnya ke gerbang mimpi, namun pikirannya benar-benar belum siap untuk terjun menyusuri pantai kapuk.
Berusaha untuk tenang agar bisa terlelap. Hingga akhirnya dia jengah dan berkata, "setelah pemotretan besok baru pergi ke rumahnya, ya. Jangan overthinking lagi. Tidur dan lupakan masalah hari ini." Gumamnya.
"Yuk bisa, yuk. Tidur yuk!"
Dia seperti orang gila yang bicara dengan dirinya sendiri. Yuk bisa yuk, Zavon. Minum obat, yuk!
***
Zavon kesiangan. Dia bangun setelah deringan ponselnya lelah berbunyi untuk membangunkannya. Matanya bahkan masih lelah, enggan untuk terbuka.
Setelah mandi pun dia masih menguap tidak jelas. Sarapan di rumah seadanya dengan roti dan selai yang sudah tersimpan manis di dalam kulkasnya.
Drt... Drt...
Ponselnya kembali berbunyi dari pihak kantornya. Ini sudah panggilan yang ke-sepuluh. Jika sebelumnya ia menolak, maka kini tidak lagi. Karyawannya sudah seperti keluarganya. Tanpa mereka, Zavon tidak mungkin bisa berjaya sampai saat ini, meski dengan pengaruh dari papanya sendiri.
"Iya, maaf telah buat kalian menunggu. Sebentar lagi aku akan berangkat. Siapkan saja semuanya." Katanya dengan cepat dan kemudian mematikan panggilan itu, tanpa mendengar apa yang mereka ucapkan.
Menerima telpon dari mereka ternyata membuat Zavon terburu-buru. Ia belum menghabiskan rotinya, meninggalkan setengahnya di dapur, dan beranjak keluar rumah.
"Semoga lancar dan dia tidak mencoba menghancurkan pikiranku lagi. Setidaknya sampai pemotretan selesai." Ujarnya dan menghidupkan mesin mobilnya.
***
Deon, pria yang bertanggungjawab atas pemotretan ini kini sedang sibuk mengarahkan Zavon yang baru saja datang. Ia melakukannya sembari berjalan masuk ke ruangan yang akan menjadi tempat pemotretan.
Sebenarnya Zavon agak kurang suka dengan cara Deon menjelaskannya. Hingga akhirnya dia berhenti, menghadap Deon dan dengan tegas bermata, "tidak bisakah kamu mengatakannya nanti saja?. Kamu membuatku tidak bisa fokus menuju ruang pemotretan. Kamu tahu kalau saya sangat enggan bekerja kalau tidak nyaman. Ingat itu!" Katanya, melengos meninggalkan Deon yang mematung.
Baru saja Zavon memasuki ruangan itu, ia langsung diminta ke bagian make over untuk keperluan make up look.
"Jangan terlalu berlebihan. Saya tidak suka dengan penampilan yang berlebihan." Katanya dingin, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan cermin di depannya.
Perempuan yang akan memberikan make up padanya pun hanya bisa mengangguk. Dia sudah menyiapkan begitu banyak alat-alat yang akan ia gunakan, tinggal eksekusi saja pada pria yang kini sedang sensitif hatinya.
Deon kembali masuk dan mengambil kursi untuk duduk di dekat Zavon. Ia kembali menjelaskan semuanya pada Zavon, sembari make up artist itu memberikan polesan tipis pada wajah Zavon.
Hingga akhirnya, dirinya sendiri yang berdusta. Dia mengatakan dan berjanji pada diri sendiri kalau tidak akan memikirkan Vira sebelum semua pemotretan berakhir. Tapi, pads kenyataannya, ia malah memikirkan perempuan itu, bahkan kini pikiran-pikiran buruk menghampirinya.
Ia segera bangkit dan membuat semuanya terheran-heran dengannya. "Sepertinya kita tunda lagi pemotretan ini. Aku harus pergi. Ada urusan yang sangat penting!" Katanya, kemudian berlari keluar dari ruangan itu, menyisakan keluhan dari semua karyawan yang berada di ruangan itu.
Bahkan ada pula yang dengan terang-terangan menyatakan kalau ia ingin resign dari perusahaannya.
***
Melajukan mobilnya dengan cepat, akhirnya membuat Zavon kini sudah sampai di rumah Vira. Ia tidak menemukan siapapun di depan rumah itu. Tampak kosong dan tak berpenghuni.
Tapi, entah kenapa Zavon berpikir kalau Vira masih ada di dalam sana. Instingnya begitu kuat, apalagi perasannya enggan untuk meninggalkan rumah ini begitu saja. Terlebih lagi, ia melihat ada sandal yang nangkring di depan rumah.
Zavon mencoba membuka mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada yang nyahut. Ketika ia mencoba untuk membukanya pun, ternyata masih terkunci. Perasaan Zavon sudah tidak karuan, seakan-akan apa yang ia pikirkan tadi di kantor benar-benar akan terealisasikan di depannya. Hingga akhirnya Zavon nekad dengan mendobrak pintu itu.
Brak!
"Vira?!"
Tidak ada yang nyahut. Ia masih berusaha mencari ke setiap ruangan meski kecil kemungkinan untuk mendapatkan keberadaan Vira di dalam sana. Sampai ketika ia menyerah dan hendak pulang, namun ia mendengar seperti suara yang mengalir.
Mencari keberadaan suara itu, Zavon menemukan satu kamar yang terbuka lebar. Perasaannya menjadi tidak karuan setelah melihat tubuh yang terkapar tak berdaya dan bawah pancuran air itu.
"Vira!"