Bab 1. Gelisah
"Zavon!"
Pria tinggi dengan tubuh atletis itu sontak berhenti. Ia berbalik badan, seperti film slow-motion, keringatnya seakan terlempar saat berbalik. Iya, ia baru selesai olahraga. Lebih tepatnya pertandingan basket dengan lawannya dari fakultas sebelah.
Senyum manis dengan lesung pipi itu menatap pria yang sedang berlari menujunya. Alis tebal, wajah proporsional dengan sedikit kesan ke bule-bulean. Ia Zavon Cullen, putra kebanggaan dari Dante Cullen karena sudah mencoreng banyak sekali penghargaan di usianya yang muda ini.
"Kamu belum mengambil hadiah pertandianganmu!" Ucap pria yang tadi memanggilnya. Ia berlari sampai membuat dirinya terengah-engah saat di depan Zavon.
Zavon menertawakan pria satu ini. Bukan maksud menghina, tapi pria ini adalah temannya. Teman yang selalu ada untuknya. Selalu membantunya, meski sebenarnya Zavon sendiri tidak membutuhkan bantuan darinya. Ia dengan kekuasaan yang di milikinya di usianya yang masih muda, bisa mengendalikan banyak orang jika dia mau.
"Makanya olahraga biar gak kelelahan seperti itu!. Padahal kamu berlari kurang dari 1 kilometer, tapi seperti sudah ikut lari maraton." Ejek Zavon pada temannya, Fino.
"Terserah. Yang penting aku sudah memberitahumu kalau kaku belum mengambil hadiah mu. Lagipula kenapa begitu terburu-buru?" Tanya Fino. Dia memberikan tisu untuk Zavon, menyeka keringatnya.
"Kamu dikasih tahu malah ngeyel, dasar!. Memangnya hadiahnya apa?" Tanya Zavon.
"Kamu akan langsung menerimanya jika tahu taruhannya apa." Ucap Fino, menggoda Zavon. Sontak Zavon langsung memberi jarak dengan Fino.
"Kamu mencurigakan!. Ah, sudahlah, hadiah tidak ada artinya bagiku!. Paling seperti biasa, traktir makan!. Aku terburu-buru ke kantor, papa menyuruhku untuk ikut rapat dengannya. Lagipula gak ada kelas siang ini!"
Sedikit informasi, Zavon adalah seorang CEO di perusahaan papanya. Sejak remaja dia sudah dilatih untuk berjimbaku dengan berbagai laporan yang masuk ke perusahaan papanya, Dante Cullen.
Masa remaja yang seharusnya penuh dengan warna, sekalipun tidak dibatasi oleh Dante. Meski dia sudah menyibukkan putra pertamanya dengan kerjaannya, tapi dia tidak menghalangi putranya untuk kumpul dengan teman seumurannya. Sehingga meski bagaimanapun sibuknya Zavon, ia selalu punya waktu untuk kumpul dengan temannya. Meski bagaimanapun, Zavon masih enggan untuk punya kekasih. Ia masih sibuk meningkatkan kualitas dirinya, sekolah dan kerja adalah hal yang harus dia lakukan. Ini semua demi kedua orangtuanya dan kedua adiknya.
Zavon berlalu dari hadapan Fino. Tidak terima dengan sikap temannya itu, Fino langsung berlari untuk mencegahnya.
"Eits... Sebentar dulu. Lagipula papamu tidak akan marah kalau kamu telat sepuluh menit. Ini lebih menggiurkan dari sekedar traktiran makan atau liburan sepuasnya." Bisik Fino.
Zavon berusaha sabar. Ia menghela nafas kasar, menggaruk alisnya tanda berusaha sabar dengan pria ini. Meski bagaimana pun, pria ini adalah sahabatnya sendiri.
"Memangnya apa? Kalau sampai tidak membuatku tertarik, aku sendiri yang menarik telingamu sekarang juga. Sudah tahu aku terburu-buru!"
Fino hanya nyengir mendengar itu.
"Kali ini taruhannya pacar Juna. Dia gadis SMA yang sebentar lagi lulus. Katanya dia primadona di sekolahnya. Aku bisa memberikanmu fotonya," ucap Fino pelan.
Zavon langsung membelalakkan matanya. Dia tidak percaya dengan yang dikatakan temannya. Bagaimana mungkin bisa menjadikan pacar sebagai bahan taruhan sebuah permainan? Ini masalah hidup.
"Tidak, Fino. Jangan main-main. Kasihan gadis itu yang menjadi taruhan permainan pacarnya," ucap Zavon. Ia hendak pergi lagi, tapi Fino kembali mencegahnya.
"Lihat. Dia cantik, bukan. Kalau kamu tidak mau, aku saja. Gimana?"
"Cantik." Batin Zavon ketika melihat foto perempuan itu.
"Jangan. Ini urusanku dengan Juna, kamu jangan ikut campur. Katakan saja pada Juna kalau aku akan menemuinya besok tentang taruhan ini."
Kali ini Zavon berhasil pergi. Sambil berlari menuju parkiran mobil, Zavon menjadi pusat perhatian. Pasalnya, Zavon adalah pria yang paling di incar di kampusnya. Tidak hanya dari segi fisik, juga dari segi materi. Semua orang tahu bagaimana Zavon, kekayaan yang dia miliki tidak main-main. Pantas saja kalau banyak perempuan yang mencoba mendekatinya.
Drrtt... Drrtt...
"Sebentar lagi aku berangkat, pa. Aku juga belum siap-siap, nanti di kantor saja."
***
"Salah satu tantangan yang kita hadapi sekarang adalah popularitas. Kita memang berada di posisi pertama, tapi saingan kita punya strategi pemasaran yang menurut saya sangat lah bagus. Dan menurut analisis saya, jika kita tidak mengambil langkah secepatnya, maka posisi perusahaan kita akan tergeser. Kemungkinan kerugian itu semakin tinggi, apalagi sekarang penjualan kita sedikit menurun dari biasanya."
Rapat bulanan dari salah satu bisnis perusahaan Zavon sudah mulai. Pria ini membutuhkan waktu lama untuk bersiap-siap, padahal ia lah yang seharusnya memimpin jalannya rapat. Karena itu lah, Dante mengambil langkah untuk memulai rapat. Baru di tengah perjalanan dia bisa mengikuti rapat.
"Menurutmu bagaimana tentang ini?" Bisik Dante pada putranya.
Zavon terlihat serius. Tangannya tidak berhenti mencoret abstrak di kertasnya. Ia berdiri, membuat rapat menjadi sepi.
"Model produk ini sudah ada atau belum?" Tanya Zavon.
Orang yang bertugas mempresentasikan, hanya bisa menelan ludah. Ia melihat kawannya yang lain, terlihat gugup.
"Hmm... Kami sudah memilih beberapa model untuk produk ini dan berencana akan mulai dua Minggu lagi. Tim marketing akan memilih mana yang sekiranya bisa memberikan pengaruh yang lebih besar untuk menggerakkan pasar," jawabnya gugup.
"Tidak perlu." Tolak Zavon.
"Kenapa tidak perlu, Zavon?" Tanya Dante penasaran.
"Aku lah yang akan jadi modelnya, jadi tidak perlu repot-repot memilih model lagi. Dan aku tidak mau mulai seminggu atau dua Minggu lagi, tapi dua hari lagi. Ini keputusanku, jangan di bantah." Ucap Zavon tegas.
Suasana menjadi sepi.
"Sudahi saja rapat ini. Saya permisi,"
Zavon keluar dari ruang rapat, bahkan ada Dante di dalamnya. Ketika sudah berurusan dengan pekerjaan, maka ia menjadi begitu seram. Tidak melihat siapapun, asalkan semua keinginannya bisa terlaksana.
Zavon masuk ke ruangannya, terlihat resah. Ia bahkan sampai membuka kancing baju, melipat lengan bajunya. Urat-urat atletis itu tampak jelas.
"Aish... Gadis itu kenapa begitu cantik? Membuatku tidak bisa fokus saja!" Kesal Zavon.