Bab 10. Terlalu Workaholic

1408 Kata
"Berani-beraninya kamu memanggilnya dengan sebutan yang seperti itu. Dia seperti itu juga karenamu, tapi kenapa kamu tidak sadar juga. Kamu lah laki-laki seburuk-buruknya laki-laki di dunia ini, yang menggunakan pacarnya sendiri sebagai bahan taruhan. Masih pantas kamu dianggap manusia?" Tanya Zavon, tangannya tak henti-henti dihentakkan mengenai wajah Juna yang sudah babak belur. Juna tentu tak mau diperlakukan seperti ini, tapi tenaganya kalah oleh Zavon. Dia ingin mengelak, tapi tak sanggup. Alhasil, ia mendapatkan semua bogeman itu percuma. Ini juga merupakan salahnya yang memancing emosi Zavon lebih dulu. Sedangkan Angelista terus menangis, menonton keduanya yang sedang baku hantam. Tak urung, mereka menjadi pusat perhatian. Perkelahian mereka sudah di rekam oleh ratusan mahasiswa maupun mahasiswa yang sudah mengarahkan ponselnya ke arah mereka. "Jangan seperti ini." Gumam Angelista pelan, terus menangis. "BERHENTI!" Suara lantang itu berasal dari belakang kerumunan, yang sontak terbelah ketika terdengar begitu menusuk telinga. Seorang pria yang sudah berkepala lima, berbadan agak besar dengan tinggi sekitar seratus lima puluhan, perutnya yang sedikit buncit, namun memiliki tampang yang sangar membuat mereka semua bergidik ngeri. Pria yang bernama Antonio ini dikenal sebagai dosen paling killer sejagat kampus itu. Setiap langkahnya seakan mengeluarkan aura kegelapan, bahkan siap menyantap siapapun yang menyapanya. Di belakangnya, ada Fino yang mengikuti. Ternyata, pria itu menghilang untuk memanggil Antonio, untuk melerai perkelahian antara Zavon dan Juna. Tidak hanya itu saja, suara Antonio yang menggelegar membuat kepalan tangan Zavon berhenti mengudara, tidak jadi melesat ke Juna. Namun tatapan tajam Zavon masih tetap menusuk. Fino segera menarik tubuh Zavon agar menjauh dari Juna yang sudah babak belur, penuh dengan luka. Dari kejauhan terdengar suara tapak kaki yang begitu rusuh dan menyambut Juna. Ada sekitar 5 orang pria, dan mereka adalah geng Juna di kampus ini. Juna tetap menatap Zavon tajam. Mungkin, mereka tidak lagi baku hantam, melainkan tatapan tajam mereka yang beradu satu sama lain. "Memang kenyataannya dia seperti itu. Bahkan sejak awal aku juga tak pernah menyukainya. Aku memacarinya hanya agar semua tugasku bisa dikerjakan olehnya. Hah, senang sekali memiliki pacar yang bisa mengerjakan semua tugas tanpa harus berpikir." Ujar Juna, memancing emosi Zavon kembali. "Zavon, sabar. Jangan terpancing lagi." Bisik Fino. "Kamu pikir tugas pacar seperti itu?. Hey! Dia masih SMA, dan kamu membebaninya dengan tugas kuliahmu?!. Dasar pria tak berperasaan!" Cerca Zavon balik. "Memang tugasnya seperti itu!" Balas Juna dengan nada yang menantang. Emosi Zavon terpancing. Dia hendak menyerang Juna lagi, jika tidak ada larangan dari Antonio. Suaranya yang begitu menggelegar membuat kampus menjadi penuh dengan suaranya. "Kalian berdua ikut ke ruangan saya!" Ujar Antonio, berjalan lebih dulu membelah kerumunan lagi. Tapi pada kenyatannya, saat dia sudah melangkah sedikit jauh, Zavon dan Juna belum juga mengikutinya. Ia berbalik dan menyadari itu semua. "Satu detik kalian tidak beralih dari tempat itu, segera panggil kedua orangtua kalian atau keluar dari kampus ini!" Teriaknya. Mau tidak mau, setelah mendengar itu, Zavon dan Juna terpaksa mengikuti Antonio. Zavon yang dijaga oleh Fino, sedangkan Juna dengan beberapa gengnya. Sangat tidak seimbang. Sepanjang mereka berjalan di lorong, kamera tak berhenti menyorot mereka. Perdebatan mereka memang sudah biasa terjadi, tapi ini yang paling parah, sampai harus berdarah-darah. "Kalau sampai ada satu video yang tersebar tentang masalah ini, siapapun itu akan berurusan dengan saya!" Teriak Antonio lagi, sontak membuat semuanya menghentikan hal itu dan kembali ke ruangannya masing-masing. Antonio, si pria tua yang mendominasi. *** "Siapa Vira dan apa hubungannya dengan kalian berdua?. Sejak tadi kalian menyebut nama perempuan itu terus tanpa menjelaskan siapa sebenarnya dia." Ujar Antonio penat. Ia lelah mendengar nama Vira yang terus saja disebut saat menginterogasi Zavon dan Juna. Tidak ada yang mau menjawab. Pasalnya, akan menjadi suatu kehebohan kalau sampai mereka menjelaskan siapa sebenarnya Vira itu. Bagaimana mungkin Juna akan mengatakan kalau Vira adalah mantan pacarnya, yang ia gunakan sebagai bahan taruhan dengan Zavon. Karena dia kalah, maka perempuan itu menjadi milik Zavon. Itu akan sangat membuat Antonio tidak bisa berpikir dengan baik. "Baiklah, kalau begitu panggil orangtua kalian kesini." Ujar Antonio pada akhirnya. "Saya lelah dianggap kayak batu di ruangan ini sama kalian. Berulang kali menanyakan hal yang sama karena saya pikir kalian tidak mendengarkan saya, tapi kenyatannya kalian yang mengabaikan saya." Lanjutnya. Tidak menggubris sama sekali terkait apa yang dikatakan Antonio, Juna langsung keluar, tanpa kata apapun. Berbeda halnya dengan Zavon yang masih duduk diam di depan Antonio. Ia menunduk lama, menimbulkan kebingungan dalam diri Antonio. "Kenapa?. Kenapa kamu gak mau keluar sama seperti Juna?. Panggil Dante ke sini, saya perlu bicara dengannya." Ujar Antonio. Zavon mengangkat pandangannya, menatap Antonio. Dia menghela nafas, kemudian mengangguk. "Papa saya sedang sibuk, pak. Dia sibuk mempersiapkan anniversary pernikahannya dengan mama. Bapak tega melihat papa saya sedih?" Tanya Zavon. Alibi yang sangat unik!. Untuk kalian ketahui, Dante kenal dengan Antonio. Dan alasan utama kenapa Dante menyekolahkan Zavon di kampus ini karena ada Antonio. Dante tahu kalau Antonio ini akan bisa memantau putranya selama Zavon bermasalah saat di kampus. Dan kini menjadi kenyataan, Zavon bermasalah dengan Juna. Antonio menghela nafas, "Zavon, kamu jangan bohong sama bapak. Bapak ini disuruh papa kamu buat menjaga kelakuan nakal mu selama di kampus ini. Ingat, kamu baru setahun di sini dan sudah melakukan banyak catatan kenakalan. Kalau bapak tidak pandai menyembunyikannya di setiap rapat, kamu sudah pasti di DO dari kampus ini. Terlebih, kamu melakukannya dengan orang yang sama. Tolong lah, jangan buat bapak pusing terus setiap hari." Ujar Antonio, terdengar pasrah. Zavon bangun. "Iya. Ini aku telpon papa, tapi aku tidak bisa menjamin dia mau ke sini. Kalau mau, bapak aja yang ke rumah." Ucap Zavon terlewat santai. Kemudian ia keluar begitu saja meninggalkan Antonio yang menganga tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zavon. "Kalau aku ke rumahmu, yang ada aku yang habis di makan sama mamamu!" Teriak Antonio dari dalam yang ditujukan pada Zavon. Tidak lama, Zavon kembali masuk ke ruangan Antonio, ketika pria tua itu sedang mengurut kepalanya pusing. "Satu lagi, pak. Aku mau bolos. Nanti jangan beritahu papa, ya. Bonus!" Katanya dan keluar begitu saja, lagi. "Astaga. Sepertinya aku harus resign dari kampus ini. Aku pusing menghadapi satu mahasiswa uang naasnya adalah anak temanku sendiri." Gumam Antonio kesal. *** Dan benar saja, Zavon tidak masuk ke kelasnya, melainkan berbelok ke parkiran. Dia mengabaikan tatapan aneh dari mahasiswa maupun mahasiswi yang lainnya. Terlewat santai, Zavon menganggapnya sebagai batu karang yang tak bisa berkutik apapun terhadapnya. Saat sampai di parkiran, ada Angelista dan Fino yang menunggunya. Tidak mau berurusan lebih panjang lagi, Zavon langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa mengatakan apapun pada Angelista maupun Fino. Ketika Angelista dan Fino hendak masuk ke dalam mobilnya, ia langsung menguncinya. Menutup jendela mobilnya hingga tak ada akses bagi keduanya untuk masuk. Setelah itu, ia segera melesatkan mobilnya meninggalkan area parkir kampus. "Zavon!" Teriak Angelista dan Fino yang sayup-sayup terdengar olehnya. "Aku lebih baik ke kantor saja daripada harus bertengkar terus di kampus. Lama-lama lelah juga seperti ini." Gumam Zavon. Melewati jalanan ibu kota yang begitu ramai, yang terkadang harus berhenti karena macet. Kemudian lanjut lagi meski hanya sepersekian meter kembali berhenti. Begitu terus, terkadang membuatnya kesal sendiri. Namun, setelah perjalanan yang begitu membuat hati Zavon kesal, akhirnya dia sampai juga di kantornya. Memarkirkan mobilnya di tempat khusus, kemudian masuk lewat lobi. "Pak Zavon!" Panggil salah seorang, membuatnya berhenti dan menoleh ke sumber suara. Dia menunggu pria yang akan mengurus masalah pemotretannya besok. Ini adalah pertama kalinya dirinya menjadi model untuk produk di perusahan yang di pimpinnya sendiri. "Besok sudah harus bersiap-siap ya, pak. Karena bapak sendiri yang merencanakan hal ini dilakukan dengan cepat, maka kami mengatur jadwal pemotretannya sepagi mungkin. Apakah bisa, pak?" Tanya pria dengan nametag Deon. Zavon mengangguk, "aku akan ke kantor besok pagi-pagi sekali dan kalian bisa mengurusnya untuk pemotretannya memilih lokasi yang mana. Aku serahkan semuanya pada kalian." Ungkap Zavon. Deon terlihat begitu senang, terlebih ketika ia dipercaya mengatur semuanya, maka kemungkinan untuk mendapatkan bonus yang besar itu ada di depan mata. "Baik, pak!" Zavon tersenyum, menepuk bahu Deon pelan, kemudian beranjak ke lift untuk naik ke lantai tempat ruangannya berada. Zavon menatap dirinya dari pantulan kaca lift dan menyadari kalau ada sedikit luka yang tergores di dekat bibirnya. "Aish!. Awas aja kalau wajah tampan ini terlihat jelek di pemotretan besok. Jika sampai terjadi seperti itu, awas kamu Juna!" Kata Zavon kesal. Sesampainya di ruangannya, ponselnya terdengar berdering. Dari Dante, dan ia tahu kalau Antonio pasti sudah mengatakan yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan santai, Zavon menggeser ikon merah, menandakan kalau dia menolak telpon dari papanya. "Mau kerja. Jangan di ganggu." Ujarnya, memasukkan ponselnya ke dalam laci dan mulai membuka laptopnya. Terlalu workaholic.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN