Bab 9. Perang Dunia Ketiga Antara Zavon dan Juna

1723 Kata
"Aku gak salah liat kan, sayang?. Itu mobil Zavon, kan?" Tanya Cinta ketika dirinya dan sang suami baru sampai di depan rumah. Namun, Cinta begitu senang ketika menemukan mobil Zavon yang terparkir cantik di depan. "Iya. Dia sudah janji akan pulang dan kita sendiri tahu kalau dia tidak akan berbohong, kan?" Jawab Dante. Ia memarkirkan mobilnya asal, tahu kalau istrinya ini sudah sangat tidak sabaran untuk masuk ke dalam rumah. Seakan-akan kakinya sudah siap turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam, menghampiri sang putra pertama. "Hati-hati, sayang!" Teriak Dante. Ia geleng-geleng kepala melihat Cinta yang begitu antusias masuk ke dalam rumah. Hal ini bermula ketika Zavon yang memutuskan untuk hidup mandiri, tinggal di rumahnya sendiri. Di usianya yang masih muda meski sejak kecil sudah di didik keras oleh Dante untuk menjadi pria yang tangguh dan menjadi pemimpin dalam perusahannya, tetap saja hati seorang ibu tidak bisa di bohongi. Ia akan tetap menganggap anak-anaknya seperti masih bayi, meski mereka sudah tua sekalipun. Ceklek. Dengan sangat hati-hati, Cinta masuk ke dalam kamar Zavon yang temaram, hanya mendapatkan pencahayaan dari lampu tidur di dekatnya. "Putraku..." Gumam Cinta, mendekati Zavon, sang putra pertama. Dengan senyuman yang tak pernah luntur, Cinta memperbaiki letak selimut dan memastikan kembali suhu ruangan itu. Ia berusaha membuat sang putra merasa nyaman. Cinta naik ke ranjang, ikut berbaring dengan Zavon. Ia tidur menyamping, mengusap rambut putranya. "Kenapa kamu kurusan, nak?. Kamu gak jaga pola makan sepertinya. Sudah mama bilang, jangan jauh-jauh dari kami. Rumah ini sepi kalau gak ada kamu, sayang." Gumam Cinta pelan seraya tangannya yang tak henti-hentinya mengusap sayang rambut Zavon. Padahal, percuma saja dia melakukan hal ini sekarang karena tidak akan ada yang menjawabnya. Zavon masih terlelap, masih nyaman dengan mimpinya. "Sayang?" Panggil Dante. Cinta menoleh ke arah pintu. Ia melihat Dante yang mendekatinya. Pria itu juga melakukan hal yang sama, hanya saja dia berjongkok di dekat sang istri. "Dia kan sedang tidur. Biarkan saja dia. Kamu juga harus istirahat sepertinya. Ini sudah malam," kata dante. "Lihatlah, putra kita kurusan. Sudah ku bilang sama kamu untuk jangan memberikannya izin tinggal sendiri. Ini lah akibatnya, dia tidak memperhatikan dirinya sendiri!" Ujar Cinta, agak kesal. Ia sampai menabok bahu suaminya. "Sssttttt.... Zavon sedang tidur. Sebaiknya kita keluar dan berantem di luar saja. Kasihan nanti Zavon terganggu tidurnya." Bisik Dante, membuat Cinta tertawa. Bagaimana mungkin dia semakin menantang istrinya untuk bertengkar di luar. Namun, pada kenyatannya, mau bagaimana pun hebatnya pertengkaran mereka, siapapun yang menjadi pihak yang salah, yang akan minta maaf hanya satu orang. Lebih tepatnya adalah DANTE CULLEN. Dia selalu mengalah untuk istrinya. "Ayo kita keluar. Besok saja kita bicara dengan Zavon." Ujar Dante pelan, membantu istrinya bangun. Dia juga yang memperbaiki kembali selimut dan mengecup singkat putranya. Dante dan Cinta keluar dari kamar Zavon. Dante menggenggam erat tangan Cinta. Namun, bukannya ke kamar, Cinta malah beranjak ke dapur. "Kita belum makan. Aku masak dulu sebentar, sayang." Ucap Cinta. "Ikut!" *** "Vira!" Zavon seketika terbangun dari mimpi buruknya. Ia menghembuskan nafas lega ketika mengetahui kalau itu semua adalah sebuah mimpi. Ketika ia bangun, sudah menunjukan jam 6 pagi. "Syukurlah. Itu semua hanya mimpi." Katanya. Entah mimpi apa yang menghiasai tidurnya hingga sampai berteriak seperti itu. Zavon segera menyingkap selimutnya dan beranjak ke kamar mandi. Mandi pagi, menyegarkan pikiran dan tubuhnya. Saat mandi pun ternyata sulit menghilangkan bayangan Vira dari dalam pikirannya. Ia membayangkan perempuan itu terus menerus. "Apa yang sebenarnya perempuan itu lakukan padaku? Aish!" Kesalnya. *** Zavon turun ke bawah untuk sarapan bersama. Ia bergabung, duduk dengan perasaan yang dongkol. Bahkan nafsu makannya menguap seketika. "Mau sarapan nasi goreng atau roti panggang, nak?" Tanya Cinta. Tangannya sudah siap untuk menyajikan sarapan sesuai dengan request Zavon. Zavon menggeleng, "sepertinya aku gak sarapan deh, ma. Aku mau kuliah dulu baru nanti ke kantor. Masalah tema anniversary mama dan papa, nanti aku pikirkan lagi. Kalau sudah jadi, baru aku diskusikan lagi nanti dengan kalian." Zavon bangun, menyerobot roti panggang milik Saina, membuat gadis itu berteriak tidak suka. "Kak Zavon!" Zavon hanya tersenyum menggoda adik perempuannya, yang kemudian melakukan tos selebrasi dengan Samuel, sang adik laki-laki. Tidak lupa juga mencium kedua orangtuanya sebelum benar-benar meninggalkan rumah. "Nak, bentar. Tunggu mama!" Cinta beranjak ke dapur dengan cepat. Tidak lama, ia sudah balik lagi ke meja makan dengan membawa wadah kecil yang seukuran dengan roti panggang. Ia memasukkan beberapa roti yang sudah ia beri selai dan menyiapkan s*su hangat di sebuah botol kaca. "Bawa ini. Nanti sarapan di kampus." Katanya. Zavon mengambil dua barang yang tadi diberikan oleh mamanya. Setelah itu, ia benar-benar meninggalkan rumah menuju kampus. *** Sampai di kampus, kedatangannya sangat ditunggu-tunggu oleh Fino. Zavon memberikan dua wadah makanan yang tadi disiapkan mamanya kepada Fino. "Dari mama. Sarapan lah," kata Zavon. Ia berjalan masuk lebih dulu ke area kampus, meninggalkan Fino yang masih kesenangan mendapatkan sarapan dari sahabatnya itu. Zavon selalu melakukan ini. Setiap kali ia Cinta menyiapkan sarapan untuk ia bawa ke kampus ataupun ke kantor, ia selalu memberikannya kepada orang lain. Bukan karena ia enggan memakan masakan mamanya, hanya saja dia malu. Ia sudah dewasa dan bisa mencarikan makanan untuknya sendiri. Sama seperti sekarang. Makanan yang seharusnya dimakan olehnya, harus masuk ke lambung sahabatnya. Sebenarnya, itu bukan masalah besar baginya. Yang penting makanan itu tidak berakhir sia-sia. Fino berlari menyusul Zavon. "Sampaikan rasa terimakasih ku pada mama ya, Zavon. Tiap kali makan makanan mama, aku tuh selalu jatuh cinta dengan rasanya." Kata Fino. Zavon mendengus. Ia menoyor kepala sahabatnya. "Bilang saja kalau kamu suka gratisan!" Ujar Zavon mengejek sahabatnya. Fino nyengir. Ia terciduk. Baginya, mendapatkan sesuatu yang gratis adalah kenikmatan tiada tara. Tidak ada yang paling menyenangkan di dunia ini selain mendapatkan benda gratisan, terlebih itu bisa mengenyangkan perut. Sama seperti yang ia dapatkan dari Zavon sekarang. "Tahu aja!. Kalau bisa aku di undang juga dong makan malam di rumahmu. Aku kan juga kangen makan malam keluarga bersama mama dan papa. Kangen juga berantem sama Saina dan Samuel. Mereka pasti juga merindukanku." Ujarnya dengan tingkat percaya diri paling tinggi. "Sekalian aja mau nginap di sana!." Cerca Zavon lagi. "Boleh tuh. Boleh ya?" Zavon melengos. Tidak mendengarkan permintaan sahabatnya. Ia dengan cepat berjalan, menyusuri lorong jurusan. "Zavon!" Teriak Fino, kembali berlari menyusul temannya. Melihat sahabatnya yang berlari, Zavon ikutan berlari. Mereka seperti Tom and Jerry, bertengkar terus setiap kali bertemu. Akan tetapi, saling peduli dan merindukan ketika sama-sama menjauh. Tipikal orang yang akan mengungkapkan perasaannya dengan cara diam-diam. Bugh! "Aww!" Zavon menabrak Angelista. Dengan cepat ia membantu Angelista untuk bangun. Ia juga memastikan tidak ada noda kotor sedikitpun di baju perempuan itu. Terlalu sibuk dengan tanggung jawabnya yang diakibatkan oleh kecerobohannya sendiri, ia sampai tidak menyadari kalau sebenarnya Angelista sekarang sedang menatapnya dengan penuh kekaguman. Membungkam mulutnya, seraya rona pink itu muncul di sela-sela pipinya yang bersemu. "Maafkan aku ya. Aku gak sengaja. Kamu gak terluka, kan?" Tanya Zavon. Angelista menggeleng. Dia tersenyum begitu manis pada Zavon, namun pria yang mendapatkan senyuman itu hanya melengos begitu saja sesaat setelah mendapatkan jawaban dari dirinya. Angelista menarik lengan Zavon, membuat pria itu berhenti. Dengan cepat, Angelista membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah kado yang kemudian dia berikan kepada Zavon. "Aku membuatnya sampai tengah malam hanya untukmu, Zavon. Terimalah hadiah ini dariku," katanya. Dari kejauhan, Zavon bisa melihat Juna yang sedang berlari menghampirinya. Pun juga Fino yang sudah sampai di dekatnya dengan nafas yang terengah-engah. Zavon sudah merasa tidak enak dengan kondisi ini. "Pasti setelah ini ada kesalahpahaman lagi," batin Zavon. Ia memijit alisnya. "Terimalah kado dari Angel, Zavon." Kata Fino. Zavon menatap tajam Fino. Ia tidak melihat ada Juna yang sedang berlari menghampiri. Rasanya akan ada perang dunia ketiga yang akan segera dimulai. Zavon memberikan kode pada Fino untuk melihat Juna yang ada di lorong sebelah. Menyadari hal itu, Fino pun menoleh ke arah yang sudah ditunjuk oleh Zavon. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui hal itu. Ia merasa ngeri. Ia tahu ini adalah hal yang susah untuk dikendalikan. Ia tidak bisa membela siapapun nantinya, karena Juna juga merupakan sahabatnya. Lebih tepatnya, mantan sahabat. "Terimalah, Zavon. Hadiah ini mewakili perasaan ku." Kata Angelista lagi. "Tidak bisa, Angel. Aku tidak bisa mendapatkan hal seperti ini darimu. Maafkan aku, ya. Sepertinya aku harus cepat masuk ke kelas. Aku harus persiapan dulu." Kata Zavon berbohong. Angelista bergeming. Air matanya jatuh dengan begitu mudah setelah mendapatkan penolakan itu dari Zavon. Ia sampai bertekuk lutut, mempermalukan dirinya sendiri sebagai Putri Cantik Kampus, hanya karena agar Zavon menerima pemberiannya. "Aku mohon," katanya. Juna sudah semakin dekat. Ia begitu emosi ketika mengetahui Angel, perempuan yang ia suka hendak bertemu dengan Zavon. Semakin merasa emosi ketika ia melihat Angel yang bertekuk lutut hanya untuk Zavon. Ia marah, begitu emosi!. "ZAVON!" Suara itu terdengar begitu lengking. Masuk ke telinga Zavon seperti alunan suara yang mengajaknya untuk ribut. Sudah dikatakan sebelumnya kalau ini bisa saja menjadi perang dunia ketika bagi Zavon dan Juna. "Mampus lu Zavon. Juna udah marah gitu." Bisik Fino. Fino kini berbisik kepada Angel, "Angel, bangun woy!. Jangan buat keributan lagi. Kamu bisa membuat mereka berdua di DO dari kampus, tahu gak?" Bisik Fino. Angelista semakin menangis. Dia tidak menanggapi Fino. "Apes banget deh gue di kacangin kayak gini." Katanya dalam hati. Tidak mau berurusan dengan segala macam emosi yang tak bisa ia lerai, Fino lebih memilih untuk mencari satpam saja yang akan bisa mengamankan mereka. Kini, Zavon dan Juna berhadapan satu sama lain. Di tengah mereka masih ada Angelista yang bertekuk lutut, memohon pada Zavon agar menerima benda itu. Sepintas, Juna melihat Angelista. Ia kecewa. Ia tak pernah di akui olehnya, bagaimanapun dia berusaha untuk menarik perhatiannya. "Aku mohon, Zavon. Please, terimalah kado ini. Aku membuatnya dengan penuh cinta." Pinta Angelista lagi. Ia belum menyadari kalau di belakangnya ada Juna yang mendengarkannya dengan perasaan luka. "Berikan saja itu pada Juna. Aku tak bisa menerima perasaan mu karena ada perasaan perempuan lain yang harus aku jaga. Juna lebih berhak mendapatkannya. Maafkan aku kalau menyakitimu." Ujar Zavon. Berbalik meninggalkan mereka. "Apakah itu Vira?" Tanya Juna. Seketika, langkah Zavon langsung berhenti ketika mendengar nama Vira disebut oleh juna. Tangannya terkepal kuat, menahan emosinya. "Vira si gadis murahan itu? Si gadis taruhan itu?" Tanya Juna lagi, namun kali ini dengan nada yang mengejek. Zavon tak bisa menahannya lagi. Dengan cepat berbalik, menyerang Juna dengan bogemannya. Ia tak peduli lagi dengan apa yang akan dia dapatkan setelah ini, yang penting hatinya puas melampiaskan perasaan tak sukanya pada setiap sebutan yang Juna katakan untuk menggambarkan Vira. Bugh! "Dasar bre*gsek!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN