Bab 8. Orang Tua Angkat

1461 Kata
Zavon pulang ke rumahnya dengan perasaan yang gundah. Ia belum tenang sama sekali sejak meninggalkan area pemakaman. Ia terus saja melamun, membayangkan kalau gadis yang memenuhi pikirannya saat ini pasti sedang terpukul. Meski ia baru saja membersihkan tubuhnya di hotel sebelum ikut ke pemakaman, setelah sampai di rumahnya pun dia langsung mandi. Di bawah shower, Zavon masih tetap memikirkan gadis itu. Bagaimana tidak? Ia sudah berusaha mengenyahkan pikiran itu, tapi tetap saja muncul seakan-akan tidak membiarkan Zavon memikirkan hal yang lain. Otot atletis yang terlatih sejak lama itu tampak begitu menggoda. Ada sebuah tato dengan ukuran mawar, yang selalu disembunyikan Zavon dari mamanya. Ia tidak mau Cinta mengetahui perihal tatonya. Akan tetapi, hal ini diketahui oleh Dante, dan pria itu mendukungnya. Sudah dikatakan dari awal, baik Dante ataupun Zavon adalah kembar beda usia. Tatapannya yang tajam, menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin di dekatnya. Mata biru Zavon yang sama dengan papanya, kini sudah tersorot gundah hanya karena satu gadis, yang sudah jelas-jelas tidak menyukainya. "V-I-R-A." Suara gerakan jari Zavon terdengar serat di cermin itu. Ia menulis nama Vira dengan begitu sempurna. Apakah dia akan memenuhi kamar mandinya bahkan kamarnya dengan ukiran nama Vira, setelah hal itu ia lakukan pada hatinya?. Telak. Ia telah di tolak. Tapi, hati memang tak bisa dibantah hanya dengan kata-kata saja. "Aish!. Please, fokus Zavon!" Kesalnya pada diri sendiri. *** "Iya, ma?" Sekeluarnya Zavon dari kamar mandi, bertepatan dengan berderingnya ponselnya. Ia bahkan hanya memakai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya saja, shirtless. "Kamu sudah di rumah?" Tanya Cinta. "Iya. Baru saja. Memangnya kenapa, ma?. Mama dimana itu?" Tanya Zavon penasaran. Pasalnya, Zavon melihat mamanya di tempat yang begitu ramai. "Mama di rumah kerabat. Neneknya meninggal." Jawab Cinta. "Hmm... Mama, nanti Zavon ke rumah. Zavon mau istirahat dulu." Tanpa menunggu jawaban mamanya, dia langsung menutupnya. Ia memang sebegitu dinginnya, meski pada mama dan papanya sendiri. Ini semua bermula karena trauma yang dialaminya saat kecil. "Sepertinya aku harus membicarakan hal ini dengan Juna. Jika tidak, selamanya aku tidak akan terima dengan perlakuan b***t pria itu." Gumamnya dengan nada yang kesal. Tanpa menunggu waktu yang lama, dia langsung menghubungi pria itu. "ayo bertemu di tempat biasa. Selesaikan semuanya sekarang juga." Ujarnya. Dan lagi-lagi, tanpa menunggu jawaban langsung di tutup panggilan itu olehnya. Sangat-sangat dingin. Oh, Zavon, kapan mencairnya? Apakah harus bertemu dengan Vira saja kamu bisa meleleh?. *** Zavon sudah sampai di alamat yang sudah diberikannya kepada Juna. Ia masuk dan langsung menuju meja yang sudah ditempati oleh mantan temannya itu. Raut keduanya sangatlah tidak bersahabat, apalagi setelah apa yang dilakukan Zavon di pemakaman. "Siapa lagi dia? Cepat sekali kamu mendapatkan penggantinya." Ejek Zavon, duduk di depan Juna dengan tatapan yang menantang. Suaranya yang begitu ketus sangat tidak enak untuk di dengar. Beruntungnya tidak begitu banyak orang di cafe itu. "Tentu saja. Aku kan tampan, tanpa mencari pun sudah banyak yang mengantri menjadi kekasihku." Jawab Juan, tidak kalah ketus. "Perkenalkan, aku Tasya." Ujar perempuan di samping Juna, menyodorkan tangannya dengan senyuman yang tak lelah merekah. Bahkan, sepertinya kali ini perempuan yang diakui sebagai kekasih oleh Juna, oleng dan lebih memilih Zavon. Dilihat dari tatapannya yang mencoba untuk menarik perhatian Zavon, tidak bisa diragukan lagi. "Zavon." Ujar Zavon begitu saja. Tanpa menerima jabatan tangan perempuan itu. "Sangat tidak sopan." Celetuk Juna. "Kamu tidak lihat? Dia sepertinya lebih menyukaiku dibandingkan denganmu, b**o. Giliran dia lebih menyukaiku, kamu ngamuk. Dasar!" Jawab Zavon kasar. Seketika, Juna menatap perempuan disampingnya yang hanya nyengir saja. Terbukti telak kalau pesona Juna jauh kalah dibandingkan dengan pesona Zavon. Kemanapun itu, memang Zavon sudah sangat dikenal oleh banyak orang, terlebih di kalangan betina sepertinya. "Kamu mau menyelesaikan urusan apa sampai memaksaku datang kesini?" Tanya Juna. Ia menyodorkan rokoknya pada Zavon, langsung di tolak saat itu juga. "Simple, jauhi Vira. Hanya itu saja." Ujar Zavon. "Siapa Vira?" Tanya Tasya penasaran. "Kamu diam saja!" Ujar Juna, hampir dengan nada membentak, membuat perempuan itu cemberut. Sekarang, Tasya malah fokus pada ponselnya, namun sesekali telinganya melebar ketika pembicaraan dua pria itu mengarah pada satu nama perempuan. Vira. "Vira? Siapa dia?. Beruntung sekali diperebutkan dua cowok tajir seperti mereka." Ujar Tasya dalam hatinya. "Intinya, sekarang dia sudah tidak mau lagi denganmu. Terlebih, kamu juga sudah menyakitinya karena taruhan itu. Mulai dari sekarang, jangan dekati dia lagi. Titik!" "Kalau begitu, jangan dekati Angelista lagi!" Balas Juna, tidak kalah membara. Zavon menghela nafas kasar. Ia selalu saja kebingungan tentang bagaimana cara menjelaskannya pada mantan temannya ini. Sudah berulang kali Zavon mengatakan hal yang sama, tapi tetap saja tidak ada jawaban baik yang dia dapatkan. "Aku dan Angel jelas-jelas tidak mempunyai hubungan apapun. Kalau dia menyukaiku, itu bukan salahku, kan? Aku tidak pernah memaksanya untuk menaruh perasaan padaku. Bahkan aku tidak hanya menegaskan hal ini padanya saja, melainkan pada semua perempuan yang mendekatiku. Aku hanya fokus pada karirku, tidak lebih." Jelas Zavon. Ia melengos, tidak betah melihat wajah Juna yang sangat mengesalkan, menurutnya. "Tapi sekarang kamu malah mau dekat dengan mantanku. Kamu dekat dengan Vira, gadis SMA itu!" Zavon tidak suka dengan cara Juna menyebut Vira. Ia sengaja menumpahkan gelas yang berisi jus itu hingga membasahi celana Juna. Seketika menjadi keributan, dan sumbernya dari meja mereka. "Tolong jaga ucapanmu." Ucap Zavon. "Heh! b**o!. Celanaku basah!" Kesal Juna. "Aku tidak peduli!" Kini, Zavon kelewat santai. Dia bahkan melipat kedua lengannya, tersenyum mengejek Juna yang sedang mengeringkan celana dengan menggunakan tisu, yang dibantu pacarnya. "Sudah! Jangan terlalu sentuh aku!" Bentak Juna pada Tasya. "Wow! Aku pikir kalian sangat romantis tadi. Sepertinya ada yang jijik." Ujar Zavon, terdengar mengejek. "Fu*k you!" Juna meninggalkan meja itu. Keluar dengan perasaan yang kesal, di ikuti oleh Tasya. Zavon merasa menang, menertawakan kekesalan yang dirasakan oleh mantan temannya itu. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menaruhnya di meja. Meninggalkan meja itu, sama seperti yang dilakukan Juna sebelumnya. "Juna!" Panggil Zavon ketika Juna hendak masuk mobil. Juna berkacak pinggang, menunggu Zavon yang datang menghampirinya. Tak urung, Zavon pun dengan cepat menuju pria yang menantangnya dengan raut kesombongan itu. Bugh! "What's wrong with you!" Ujar Juna merasa tidak terima dengan apa yang dilakukan Zavon. Ia oleng, memegang pipi sebelah kirinya yang baru saja kena bogeman mentah dari Zavon. "Kemarin aku belum puas melakukanya. Ini adalah balasan untuk orang yang sudah tak punya hati nurani, memperjualbelikan harga diri pacarnya, mempermainkan pacarnya hanya karena ia tak mampu mendapatkan perempuan yang ia incar!" Zavon meninggalkan Juna setelah mengatakan hal itu. Ia menyentil keras Juna, memanfaatkan Vira hanya karena cintanya tak diterima oleh Angelista. *** "Ini untukmu." Zavon memberikan es krim pesanan adik kembarnya. Sebelum meninggalkan penuh cafe itu, ia sempat menelpon adiknya. Dan ya, dia diberikan tugas untuk membeli es krim langganan mereka. "Horeeyyyyyyyyyyyy!" "Mana kakak?" Zavon menanyakan keberadaan kakak kembar dari Sania. "Biasa. Kalau pulang sekolah, dia langsung nge-wibu. Kebiasaan kak Samuel, tuh!" Adu Sania pada Zavon, kakak tertuanya. "Biarkan saja dia. Nanti kalau diganggu kalian perang dunia ketiga. Sama seperti kamu yang gak mau diganggu kalau udah nonton drama Korea. Hmm..." Sania hanya nyengir saja. Dia membuka tutup es krim, namun sangat susah baginya. Sania langsung memberikan kode pada Zavon. Tanpa perlu menerjemahkannya dengan ucapan, Zavon sudah langsung mengerti. Dia membuka tutup es krim itu sambil menggerutu. Penat dengan kebiasaan adiknya yang tak pernah berubah. "Padahal ada es krim yang rasanya sama dan tutupnya bisa dibuka dengan mudah, herannya kamu selalu meminta es krim ini." Gerutu Zavon. "Karena enak!" Selalu saja itu yang dia katakan ketika kakak tertuanya sudah menggerutu seperti itu. Zavon tidak peduli. Ia memperhatikan sekitar rumah, dan sangat sepi. Rumah dengan tiga lantai dan hanya di huni oleh beberapa orang, terasa begitu sepi. Ramai ketika ada perayaan, dan itu pun sangat jarang. Terlebih ketika Zavon memutuskan untuk tinggal sendiri, maka yang menjadi pengisi suara rumah ini hanyalah keributan antara pasutri dan si kembar. "Mana mama?" Tanya Zavon. Ia menyerobot suapan es krim yang handak masuk ke mulut Sania, membuat gadis itu tanpa sengaja langsung menabok kakaknya. "Kakak, ih!. Kebiasaan!" Kesalnya, merebut kembali stik es krim itu. Ia sampai menyembunyikan kotak es krimnya dari Zavon. "Tadi mama nelpon, nanti malam baru pulang. Dia masih ngelayat." Jawab Sania. Tidak merespon lagi, Zavon bangun dan berniat menuju kamarnya. "Eh, mau kemana! Temenin Sania nonton Drakor!" Teriak Sania. "Kakak mau tidur!" *** "Vira, bagaimana kalau kamu tinggal sama mama? Kalau Vira tinggal sendirian disini, gak aman buat Vira. Mau ya? Tinggal sama mama?" "Enggak, mama Ana. Vira mau tinggal disini saja. Gak mau kemana-mana." Tolak Vira. Ia menangis di pelukan mama Ana-nya. "Sayang, biarkan saja. Lagipula, aku sudah menyuruh dua orang untuk menjaganya." Bisik Dante memberikan saran pada istrinya. Iya, mama Ana adalah Cinta. Dante dan Cinta ialah orangtua angkat dari Vira. Sejak kecil, keduanya sudah berkomitmen untuk membesarkan Vira sebagaimana anak kandungnya. "Baiklah. Mama Ana tidak bisa memaksa Vira. Tapi, kalau Vira ada perlu, langsung telpon mama, ya?" Vira mengangguk, memeluk Cinta dengan erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN