Penampakan
MALAM. Belum terlalu malam. Bahkan gelap baru tiga jam saja memagut. Langit biru. Bintang mulai bermunculan satu-satu. Indah. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Namun, indahnya langit tak membuat hati Dani riang. Malah sebaliknya. Hatinya nelangsa. Sejam lalu, ibu tercintanya menyuruh Dani pergi dari rumah. Rumah yang sejak kecil menjadi pelindung Dani dari panas dan hujan. Juga rumah yang memberi kenyamanan karena hari-harinya dalam limpahan kasih sayang kedua orang tuanya.
Sejak kecil, orang tuanya tak pernah marah sedikit pun. Itu karena Dani terlalu penurut, juga jarang melakukan kesalahan. Namun kali ini, orang tuanya, terutama ibunya benar-benar marah. Dani memang keterlaluan. Uang SPP tak dibayarkan pada sekolah tempatnya belajar. Bukan hanya sebulan. Tiga bulan. Kalau saja tak ada surat pemberitahuan ke rumah, orang tuanya tak akan tahu, dan tetap menganggap Dani--putra tercintanya, selalu menjadi anak penurut.
Di teras sempit rumah milik tetangganya yang janda, Dani duduk sendiri. Di sampingnya, tas ransel berisi beberapa potong pakaiannya. Dihelanya napas panjang. Kepalanya lalu menengadah ke atas, menatap langit. Bintang bertambah. Dani tersenyum pahit. Ia menyesal, sangat menyesal. Sebenarnya, ia berada pada dua pilihan yang sama sulit. Tak membayar SPP selama tiga bulan, atau membiarkan ayah dari Dirga teman sebangkunya, tak bisa menebus obat yang harganya ratusan ribu rupiah. Akhirnya, ia pun memilih kesembuhan ayah Dirga dengan resiko; sekolah melayangkan surat peringatan. Lebih buruk, ibunya tak percaya kalau Dani menggunakan uang SPP untuk tugas kemanusiaan.
Angin dingin mulai menggigit kulit lengan Dani yang tak berjaket. Dua jam sudah ia duduk di situ. Sendiri. Bingung. Belum terlalu malam. Namun suasana di kawasan rumahnya, mendadak sunyi. Tak seperti biasanya. Orang lalu lalang, keluar masuk rumah, sekedar mencari hawa segar di malam hari atau mencari makanan. Biasanya, selepas isya, terdengar suara gitar diiringi lantunan lagu-lagu remaja dari anak-anak usia belasan tahun yang suka nongkrong di situ.
Malam ini bukan malam Jum’at. Malam minggu. Malam yang dinanti banyak remaja apalagi yang tengah dilanda cinta. Namun malam ini dengan tiba-tiba saja senyap. Semua karena berita heboh warga mengenai perempuan berusia tiga puluh tiga tahun yang mati gantung diri menjelang maghrib.
Kawasan yang tak bisa disebut kota ataupun kampung ini… geger. Selepas magrib, orang-orang mengunci diri di rumah. Toko, warung dan kios kecil pun tanpa dikomando, langsung menutup rapat-rapat tempat jualannya. Tak tergiur dengan keuntungan yang besar yang biasa diperoleh setiap malam Minggu. Mereka tak peduli lagi. Buat mereka, berada dalam rumah lebih nyaman ketimbang tetap berjualan namun bukan tak mungkin, salah satu pembeli itu adalah Nyimas Kunti… perempuan janda yang beberapa jam lalu tewas mengenaskan!
Sementara, orang-orang yang kebanyakan ‘penakut’, lebih memilih menahan lapar karena tak ada makanan di rumah. Para lelaki tua muda yang hobi merokok, malam ini berusaha menahan candunya untuk tak merokok karena persediaan di rumah habis. Kulit mereka mulai digigit nyamuk-nyamuk ganas, namun ditahannya. Ketimbang harus keluar rumah. Sementara, para pemilik tempat jualan pun, tak akan sudi membuka pintunya meski pengunjung akan memborong semua barang dagangannya.
“Mama…” desah Dani sedih. Bulu kuduknya bukan tak merinding. Terlebih, dari kejauhan tampak rumah Nyimas Kunti sepi. Di luar rumahnya, entah sengaja atau tak sengaja, tak ada cahaya lampu sedikit pun. Hmmm… di rumah yang baru saja berduka cita, gelap dan sepi, pikir Dani disertai rasa takut yang mulai menjalar pada sumsum tulang belakangnya. Ia ingat ibunya, mengapa ibunya setega itu, menyuruh Dani keluar dari rumahnya, malam ini… malam dimana orang-orang enggan keluar. Dan semua karena Nyimas Kunti!
Angin berembus meniup tubuh Dani yang mulai menggigil. Kedinginan. Juga disergap rasa takut. Ingat Nyimas kunti. Perempuan janda yang setiap pagi ketika Dani akan berangkat sekolah, selalu menyapanya ramah.
“Mampir dulu, Dani!” suara cempreng Nyimas Kunti seolah menembus telinganya. Dani kembali merinding. Lututnya setengah gemetaran.
Belum malam. Paling, pukul dua puluh satu lebih beberapa menit. Masih sunyi, hanya suara desingan angin. Dani mendesah. Di mana malam ini ia bisa tidur? Di rumah saudaranya yang lain, ia tak punya keberanian. Ke rumah neneknya, Bu Marsinah? Ah, ia malas sekali. Terlebih, di rumah itu terkadang ada penampakan. Atau kerap mendengar suara-suara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ah, ia ingat Ray. Kenapa tak dicobanya tadi menelepon Ray? Daripada menginap di rumah neneknya, mendingan di rumah sebelahnya. Rumah Ray. Setidaknya tak senyap. Ada ibunya Ray. Tante Ratna yang baik dan ramah. Ada dua adik Ray yang cantik. Mia dan Rayna. Di rumah itu, ia dan Ray bisa membahas Cika, saudara misan Ray. Mahasiswi semester satu yang manis dan Dani sudah naksir semenjak setahun lalu meski tak memiliki keberanian mengungkapkan cinta pada gadis itu. Hanya sebatas kirim salam lewat Ray. Itu pun Ray jarang mau menyampaikannya. Namun bagi Dani sendiri, mendengar kabar mengenai Cika, sudah merupakan kebahagiaan. Ya, setidaknya mampu menghibur hatinya. Apa ia harus menelepon Ray saat ini? Ia berpikir keras. Namun kepalanya menggeleng. Ia tak mau mengganggunya tersebab bukan saat yang tepat. Terkecuali sedari beberapa jam lalu. Ah, ia jadi menyesal sendiri.
Dengan lesu, Dani bangkit dari duduknya. Menepuk celana jin bagian belakang yang terkena debu kotor dari teras rumah janda tua berusia enam puluh tiga taun. Kalau ia terus berdiam diri di teras itu, bisa-bisa warga menghebohkan ‘gosip baru’. Dani, siswa kelas sebelas SMK negeri di kota kecamatan anu… tidur dalam pelukan janda 63 tahun. Hiiih, ngeri. Dani bergidik. Kali ini ketika mengingat dan membayangkan wajah Nenek Sumirah yang keriput. Lebih keriput daripada kulit neneknya. Yang menurut sebagian teman-teman mainnya, kulit janda tua itu akan lebih pas kalau disumbangkan pada masjid, untuk mengganti kulit bedug yang mulai bolong akibat terlalu keras dipukul oleh anak-anak SD sepulang mengaji. Pikiran Dani mendadak ngelantur, terkontaminasi aura malam yang mencekam bagaikan tengah berada di tengah pemakaman umum. Sendiri dan ditatap para penghuni kubur. Mayat-mayat yang seolah hendak menyergapnya. Bahunya kembali bergidik.
Wajah Nyimas Kunti yang lumayan manis, melintas dalam benak Dani. Tersenyum. Awalnya manis namun tiba-tiba menyeringai. Mengerikan. Kedua bahu Dani tarangkat. Digelayutkan tas ransel tak besar di pundak kirinya. Dengan langkah gontai, kakinya menyusuri gang. Ketika melewati rumah Nyimas Kunti, tercium aroma. Dani tahu, itu aroma kemenyan yang dibakar. Dengan langkah sibuk, ia berlari menuju pos gardu.
Di langit, bintang-bintang semakin bermunculan. Indah. Namun buat Dani sama sekali tidak. Hatinya nelangsa. Ia menyesal telah membuat ibunya marah. Kalau saja tak melakukan kesalahan itu, tentu ia tengah berada di bawah selimut tebal ditemani segelas penuh s**u cokelat. Bukan melewati malam sendirian di luar rumah. Tak tentu arah.
Beberapa menit kemudian, tiga remaja sebaya Dani datang menghampiri. Mereka Dion, Fian dan Agung. Mereka anak putus sekolah. Malah ijazah SMPnya pun, mereka tak punya. Dani jarang bergaul dengan mereka karena takut terbawa arus. Para tetangganya sudah tahu, ketiga teman kecil Dani itu suka minum minuman keras yang memabukkan. Malah pernah mengkonsumsi obat-obat terlarang.
Namun kedatangan mereka bertiga kali ini, membuat hati Dani suka cita. Ia tak sendiri lagi. Ia tak takut lagi. Mereka berempat lalu ngobrol ngalor ngidul. Sesekali Dani menanggapinya karena topik pembicaraan di luar jalur kebiasaan Dani. Dani pelajar yang rajin, yang setiap hari berkutat dengan buku, sementara mereka pengangguran, yang sepanjang hari mondar-mandir tak jelas tujuan, menjelang gelap, dengan gitar butut kesayangannya, teriak-teriak mendendangkan lagu-lagu band tanah air yang lagi banyak disukai kawula muda. Tentunya, dengan suara mereka yang paspasan.
Fian dan Agung pergi tapi setengah jam kemudian kembali. Membawa dua bungkus rokok. Dani tak tahu merek berdua membeli rokok darimana karena setahunya, tak ada warung yang buka semenjak maghrib. Lalu, Agung mengeluarkan dari balik jaketnya; dua botol minuman yang terselip di antara perut dan celana jins-nya. Minuman beralkohol yang bisa membuat mata teler. Dani tersenyum kecut. Ia menolak ditawari rokok apalagi minuman memabukkan. Ia sama sekali tak pernah mengisap rokok meski untuk coba-coba seperti yang pernah dilakukan beberapa teman sekolahnya. Apalagi minuman keras, Dani tak pernah mengenalnya. Sebenarnya, ia ingin menasihati mereka bertiga. Namun khawatir mendatangkan marah. Ia tak mau dianggap ikut campur meski tujuannya baik. Bisa-bisa mereka salah paham dan balik berbuat yang tidak-tidak pada Dani misalnya menghajarnya. Makanya, Dani memilih bungkam saja. Untungnya, mereka bertiga tak berhasil memaksa Dani untuk merokok dan minum.
Satu botol habis. Begitu pun dengan botol kedua. Dion, Fian dan Agung masih teriak-teriak bernyanyi. Gitar yang dibawakan oleh Dion sudah tak jelas iramanya, ngaco. Yang bernyanyi dan yang bermain gitar sudah tak ‘nyambung’. Dani hanya memerhatikan saja yang berada di hadapannya. Terkadang bernyanyi, terkadang ngobrol ngawur. Hingga Dani pun mulai menguap ketika ketiga teman kecilnya mulai tak jelas arah pembicaraannya. Seperti mengingau dangan suara yang naik turun. Mata mereka bertiga pun berubah. Minuman yang mengandung alkohol yang telah membuat mulutnya bau, membuat pikirannya lepas dari akal sehat. Dani pun terkulai. Kantuk semakin menyerangnya. Ia berbaring di atas tikar sobek, berbantalkan kedua lengannya. Tas ransel dengan setia menemaninya di samping tubuhnya.
Pukul dua belas tepat, suara anjing melolong membuat Dani terjaga dari lelap tidurnya. Matanya terbuka. Ia bangkit seketika terlebih merasakan dingin yang menusuk kulitnya. Dikuecknya mata. Ketiga temannya yang seperti rada gila itu, telah tak berada di hadapannya.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang, menerpa tubuh Dani. Dingin. Menggigil. Tak ada kantuk mengganggunya. Tatapannya terpusat pada sesosok tubuh di ujung gang, tepat dari aruh pos ronda, terlihat dengan jelas. Perempuan berambut panjang tengah menatap ke arahnya dengan sebelah tangan melambai seolah meminta Dani untuk menghampiri.***