Penutup Mayat
PULANG sekolah, Dani tak berani pulang ke rumahnya. Ia ikut Ray, naik motornya. Sesampai depan rumah Ray, kakinya melangkah ke arah barat. Lalu membuka pagar halaman. Ketika mengetuk pintu rumah neneknya, tidak ada yang menyahut. Lalu dicobanya lagi. Tetap tak ada hening. Hari sudah sangat sore. Ia terduduk di kursi malas yang terdapat di teras. Disangkanya, neneknya tertidur di dalam. Makanya, ia memilih menunggunya. Namun dari arah dalam, tak ada tanda-tanda neneknya terbangun. Sepi. Malah, tirai jendela depan tertutup rapat. Neneknya tak biasa menutup tirai sebelum malam menjemput.
“Dani!” Ima, tetangga Bu Marsinah memanggil dari pintu rumahnya yang baru saja terkuak. Dani yang masih melamun, terperanjat. Kepalanya menoleh ke rumah depan yang berhadapan langsung. Bibirnya membalas senyum perempuan yang menjadi tetangga neneknya. Perempuan berusia tiga puluh tahun.
“Nunggu siapa?” tanya Ima setengah teriak.
“Enin,” jawab Dani.
“Bu Marsinah pergi ke rumahmu.”
“Kapan?” Dani kaget.
“Tadi siang. Nenekmu seperti biasa pamit pada Tante.”
Dani mengeluh pendek. Ia masih terduduk di kursi malas. Kali ini dirasanya sangat lemas terlebih setelah tahu ternyata di dalam rumah tak ada neneknya.
“Kamu dari sekolah tidak langsung pulang?” Ima mengamati pakaian seragam putih abu-abu yang masih melekat di tubuh Dani.
Dani menggeleng. “Aku bareng Ray, Tan.”
“Motormu?”
“Aku tak bawa motor ke sekolah.”
“Ouh...”
“Aku naik motor Ray dan berniat menginap di rumah Enin.”
“Tapi nenekmu kemungkinan menginap di Karanganyar, Dan.”
“Enin bilang gitu sama Tante Ima?”
“Tidak juga, Bu Mar cuma bilang mau ke rumah ayah dan ibumu. Terus Tante juga tidak tanya mau menginap apa tidaknya. Tapi kalau sesore ini belum kembali, yaaa... sepertinya memang akan menginap,” jelas Ima. Dani menghela napas. Bingung.
“Apa Enin titip kunci rumah?” tanya Dani penuh harap.
Ima menggeleng. “Tidak, Dan.”
“Duh, berarti Enin yakin tak akan pulang,” keluh Dani.
“Sekarang, sudah sangat sore. Ya, ada kemungkinan nenekmu tak akan pulang. Apa kamu mau terus menunggunya?” Ima menatap.
“Entahlah, Tan... aku malas pulang, tadinya kan mau menginap di rumah Enin.”
“Menginap di rumah Tante saja, ya? Tapi, tak ada kamar kosong. Paling tidur di kursi panjang,” saran Ima.
Dani menggeleng. “Terima kasih, Tan. Tapi tidak usah.”
“Bagaimana kalau kamu menginap saja di rumah Ray?” saran Ima setelah sadar Dani tak akan mau diajak menginap.
“Aku tadinya juga mau menginap di rumah Enin dan mau minta ditemanin Ray.”
Ima menyembunyikan bibirnya yang ingin tersenyum. Ia tahu Dani itu penakut. Makanya jarang mau menginap. Ima heran juga dengan anak itu yang tak biasanya ingin menginap tanpa diminta. Padahal Dani tak berani pulang ke rumahnya lantaran masih takut dengan ibunya. Semalam, ia tidur di pos ronda. Menahan rasa takut yang menggulung terlebih setelah melihat penampakan perempuan berambut panjang yang melambaikan tangan. Hiih, bahu Dani bergidik teringat itu. Untungnya, penampakan itu tak berlangsung lama. Ia bisa kembali pulas hingga pagi. Lalu terburu-buru mandi di toilet masjid belakang pasar. Kemudian, baru pergi ke sekolah dengan menaiki kendaraan umum.
“Ya, Dan. Nginap di Ray saja,” ucap Ima akhirnya. Ia merasa kasihan juga pada Dani.
“Aku telepon dulu.”
“Laaah, ko pake telepon segala, orang rumah bersebelahan.”
“Biarin, aku tidak enak, Tan.”
Dani merogoh gawai di saku celana seragamnya. Lalu mencari kontak Ray dan meneleponnya. Dani meminta ijin menginap di rumah Ray setelah menjelaskan alasannya. Ray minta maaf tak bisa memperkenankan Dani menginap karena ada Tante Rita, adik ibunya. Bahkan bersama Cika. Mereka hendak menginap. Tidurnya pun akan di kamar Ray. Sementara Ray akan tidur di ruang tengah. Ia tak tega jika mengajak Dani menginap dengan membiarkan tidur di atas karpet ruang keluarga. Lain halnya jika Bu Marsinah tengah ada, tentu Ray akan mau menemaninya. Meskipun pernah melihat penampakan, hantu yang berwujud Bu Marsinah di suatu malam.
“Duh, Ray... bukankah kalau ada Cika, itu lebih bagus. Itu yang sangat diharapkan. Aku bisa ngobrol dengannya,” jelas Dani sangat berharap. Namun ucapannya tertelan di kerongkongan. Ia tak punya daya. Tak berani memaksa Ray. Keluarga Ray mungkin tengah tak mau terganggu dengan kehadiran orang lain. Begitu yang diduga Dani. Ia hanya mampu menghela napas, menelan kekecewaannya. Ray pun tampak tak merasakan kekecewaan sahabatnya itu.
Dalam perbincangan di telepon, Ray menyarankan Dani pulang saja. Dan meminta maaf pada ibunya. Tentu saja, dengan menjelaskan duduk persoalan sebenarnya bahwa Dani tidak bermaksud tak amanah. Dani berniat mengembalikan uang untuk membayar SPP yang sebelumnya digunakan untuk Dirga. Dani sudah memiliki uang pengganti. Bentuk perhatian beberapa teman di kelasnya setelah tahu persoalan Dani yang telah membuat ibunya Dani marah karena hal itu.
“Bukankah Tante Ima menawarimu menumpang di rumahnya?” tanya Ray.
“Ya, tapi aku tak mau. Sungkan.”
“Hemmm, ya juga sih. Dan memang sebaiknya, kamu mending pulang saja. Kedua orang tuamu pasti mencemaskanmu.”
“Begitu menurutmu?”
“Ya.”
“Aku takut mereka masih marah.”
“Menurutku, tidak. Cukup satu malam kamu pergi. Malam ini, kamu harus sudah berada di rumahmu lagi. Apalagi, nenekmu juga kan berada di sana. Kasihan mereka...”
“Mama ko gitu...”
“Wajar kalau menurutku. Terkadang perempuan suka begitu.”
“Mamamu pernah begitu?”
Ray tertawa kecil. “Ya, tidak lah. Toh aku tak pernah membuatnya marah. Apalagi sampe tak bayar SPP berbulan-bulan.”
“Lho... yang aku lakukan, tujuannya kan lain?”
“Iya, iyaaa... aku paham, makanya... kamu mending pulang saja, ya? Sekali lagi, maaf kalau aku tak bisa ngijinin kamu menginap di rumahku, ya?”
“Ya, gapapa... mau gimana lagi. Tapi kamu mau ke teras rumah Enin sebentar, ya? Aku pengin ngobrol dulu sama kamu.”
“Oke.”
Hingga pukul dua puluh, Ray menemani Dani ngobrol di teras rumah Ray. Akhirnya, Dani mau pulang. Ray dengan suka hati, mengantarkan dengan motornya. Namun di ujung gang menuju rumah Dani, Dani minta berhenti. Tak mau diantarkan sampai depan rumahnya.
“Sampai bertemu besok di sekolah ya, Dan?”
Dani mengangguk lalu melangkahkan kaki menyusuri gang yang sepi. Sampai depan rumahnya pun tampak sepi. Ia tak berani mengetuk pintu. Ia tak mau mengusik keluarganya termasuk neneknya yang mungkin sudah terlelap.
Dihelanya napas dalam-dalam. Sudah kepalang tanggung, bisik hatinya. Langkahnya dipercepat menuju pos ronda. Sepi. Dibaringkan tubuhnya di balai setelah melepas kaos kaki dan sepatunya. Namun sesaat bangkit. Dimasukkan ke dalam tas. Sembari mengeluarkan sandal jepit. Sandal kesayangannya yang selalu dibawa dalam tas sekolah. Tubuhnya kembali berbaring. Matanya dicoba terpejam. Namun rasa kantuk urung datang. Matanya pun kembali terkuak. Lampu pos gardu dipadamkan. Biar bisa tidur. Namun tak bisa tidur. Ia ingat tadi malam pun tidur di sini. Malam yang mencekam lantaran kampung mendadak senyap semenjak geger seorang warga mati bunuh diri. Dani terperanjat. Ia baru ingat lagi. Pada perempuan yang kemarin sore menjadi perbincangan semua warga. Lalu menampakkan sosok semalam padanya. Entah mengapa, matanya sangat ingin menatap ke arah barat.
Mata Dani terpasang baik-baik. Ia yakin dengan penglihatannya lagi. Seperti malam sebelumnya. Penglihatan yang sama. Serupa sosok tubuh yang sangat dikenalnya, seorang perempuan berambut panjang. Wajahnya memang tak begitu jelas, namun Dani tak bisa melupakan raut muka yang setiap pagi selalu menyapanya ramah. Perempuan itu tak lain Nyimas Kunti. Malam ini, tepat jam dua belas tengah menatap Dani dari kejauhan. Tersenyum manis lalu berubah menyeringai. Tangan kirinya melambai.
Detak jantung Dani nyaris berhenti. Tas ransel abu-abu ditariknya dengan paksa, ketika tubuhnya dengan sekuat tenaga berdiri. Ia pun lari tunggang langgang laksana dikejar setan. Namun bebarapa saat langkahnya terhenti. Sandal jepitnya lepas sebelah. Ketimbang menjadi kendala, ia lepaskan yang satunya. Lalu, kembali meneruskan langkah seribunya… berlari, terus berlari, menuju sebuah masjid.
Sampai di teras masjid, napasnya terengah-engah. Kakinya yang sedikit berdarah karena menginjak kerikil-kerikil tajam tadi, tak dirasakan. Padahal sudah tentu sakit. Setelah napasnya teratur, dibukanya pintu masjid. Dijatuhkan tubuhnya di samping tas ransel kesayangannya.
Pukul satu, kantuk mulai menyerang matanya. Ia pun kembali terlelap. Lintasan wajah Nyimas Kunti tak lagi mengganggunya. Ia pun mulai merajut mimpi. Mimpi bersua ibunya yang baik. Yang selalu membuat masakan enak buatnya.
Angin dingin yang menyelusup lewat fentilasi udara, membelai tubuhnya yang tak berselimut. Tubuhnya terusik karena kedinginan. Tangannya meraba-raba isi dalam tas ransel tanpa membuka matanya. Namun ia pun tak lupa, kalau isi di dalamnya hanya seragam sekolah dan dua potong pakaian kesayangannya serta sepatu. Tak ada sarung, jaket atau apapun yang bisa menghangatkan tubuhnya.
Tanpa disadari, kakinya menyentuh sesuatu di ujung kakinya. Kain. Ya, sebuah kain. Tak lembut namun juga tak kasar. Dalam gelapnya ruangan masjid, ia bangkit, lalu menarik kain tebal yang tergeletak dekat kedua kakinya. Ditariknya kain itu, lalu ditutupkan pada tubuhnya. Lalu ia pun kembali berbaring. Hangat. Benar-benar hangat. Dalam hangatnya ‘selimut’ ia mengulas senyum. Dan hendak melanjutkan mimpi indahnya. Sepi. Gelap. Namun beberapa puluh menit lagi, tentu akan datang seorang ahli masjid, yang akan membangunkan warga dengan tahrimnya. Tentunya, Dani tak akan sendiri.
Di sela mimpinya, Dani terjaga. Matanya terbuka. Tangannya menyentuh kain yang menutup tubuhnya. Ia heran. Dahinya pun berkerut. Lalu tangannya kembali meraba-raba. Tak lembut namun juga tak kasar. Ya, benar. Namun… apa yang terdapat dalam kain penutupnya itu?
Tangannya terus meraba-raba. Pikirannya sibuk menerka-nerka sementara kantuk menjauh. Tubuhnya menggigil. Tidak, ia tak kedinginan. Ia hangat. Malah lebih hangat. Lalu berubah terasa panas. Sangat panas. Tubuhnya berkeringat. Yang membuatnya penasaran… sulaman benang tebal bertulikan huruf arab. Ya, Dani semakin yakin… kain yang sebelumnya menghangatkan tubuhnya adalah kain yang selepas isya malam lalu telah menutup keranda yang mengusung jenazah Nyimas Kunti ke pemakaman umum.
Tubuh Dani gemetar. Ia berusaha keras melepaskan diri dari balutan yang membungkus tubuhnya. Namun lagi-lagi… kain berwarna hijau semakin melilit tubuhnya dan enggan lepas. ***