Rumah Sebelah
SEMUA penghuni rumah tengah dibuai mimpi, terkecuali Ray. Ia masih menatap layar laptop. Rasa kantuk sempat menyerangnya namun semenjak tadi berusaha dilawannya. Ia harus mengerjakan tugas dari sekolahnya.
Lampu ruangan tengah tidak dimatikan. Dibiarkan menyala. Pesawat TV sudah dimatikan oleh ibunya sebelum masuk ke kamar. Kedua adiknya pun sudah lelap di atas pembaringan di kamar yang sama. Biasanya, Rayna dan Mia tidur di kamar atas. Namun, malam itu mereka berdua memilih tidur di kamar ibunya. Tersebab, Ratna, sang ibu—ingin ditemani. Perasaanya gelisah semenjak beberapa malam. Setelah mengalami mimpi diteror ketukan dan garukan serupa kuku di kaca jendela. Teror yang diduganya sengaja dikirimkan dari Wak Dulah sebagai bentuk penasaran untuk memiliki Ray, merampas anak sulung Ratna.
“Tidak usah terlalu dipikirkan,” begitu ucapan Hardi, suaminy--ketika Ratna melaporkan mimpi pada suaminya.
“Bukankah Papa yang selalu mengingatkan Mama akan sikap Wak Dulah yang dikhawatirkan mengusik ketenangan keluarga kita?”
“Benar. Tapi itu baru sebatas suara di jendela. Dan hanya datang lewat mimpi,” Hardi berusaha menenangkan.
“Ya, baru sebatas suara. Dan hanya mimpi. Tapi, bagaimana bila kemudian pamanmu itu terus meneror?” buru Ratna.
“Mama, bukankah Mama juga belum yakin benar bila Wak Dulah itu akan berbuat seperti itu? Meneror kita dengan ilmu mistisnya?”
“Tadinya, ya. Tidak begitu yakin. Tapi setelah kembali mendengar suara itu dan bahkan nyata, bukan mimpi lagi tapi suara itu terdengar dengan jelas di kaca jendela depan rumah kita, akhirnya Mama pun menduga, ada keterkaitan antara mimpi dan Wak Dulah... karena terbukti... teror itu datang!”
“Nanti kita bicara lebih jelas di rumah.”
“Kapan Papa pulang?” Ratna tak sabar.
“Ada pekerjaan yang harus diselesaikan minggu ini dan Papa tak bisa pulang cepat!”
“Mama harap, luangkan pulang meski sebentar!”
“Mama ko jadi memaksakan kehendak gitu?”
“Mama cemas!”
“Tenang saja dulu!”
“Papa sendiri yang suka mengingatkan tentang Wak Dulah!”
“Gimana kabar Rayna dan Mia?” Hardi mengalihkan pembicaraan.
“Mereka baik.”
“Ray?”
“Itu yang Mama cemaskan!”
“Tapi Ray baik-baik saja kan?”
“Dia... mendengar suara itu!” keluh Ratna. Hardi terdiam. Perbincangan pun terhenti waktu itu lantaran ada kendala di darat. Ratna menghela napas dalam-dalam. Ia selalu berusaha menenangkan Ray akan suara itu. Padahal, ia sendiri begitu cemas. Yang sangat diharapkan, suaminya pulang. Ratna masih merasakan kecemasan yang sangat hingga akhirnya terlelap. Namun, tak berlangsung lama. Matanya kembali terkuak. Ia ingat Ray. Anak sulungnya itu acap melewati malam-malam sendiri hingga di sepertiga malam.
Di luar rumah, senyap. Ray melirik gawai yang tergeletak di sampingnya. Belum pukul sebelas. Tenggorokannya dirasa haus. Tubuhnya bergerak lalu kakinya melangkah menuju dapur. Baru saja hendak menghampiri dispenser, sebuah suara mengagetkannya. Suara di jendela dapur. Kupingnya mendengar suara itu lagi. Suara yang sama yang pernah didengarnya. Seperti bunyi garukan kuku. Treeeeeeeeeeeek. Ia tak mau mengamatinya. Khawatir ada kepala dengan wajah menyeramkan seperti malam sebelumnya di jendela depan.
Ray mengambil gelas, lalu mengucurkan air dingin dari dispenser. Meneguknya. Segar melewati kerongkongan. Tubuhnya agak kegerahan lantaran lampu ruangan yang menyala terang. Tubuhnya hendak berbalik namun telinganya menangkap lagi bunyi yang sama. Beberapa kali bahkan lebih panjang. Treeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek. Ditahannya napas. Hingga suara itu pun lenyap. Kakinya hendak melangkah, namun dikejutkan dengan suara yang lain. Kali ini bukan garukan di jendela. Melainkan dari dinding dapur. Dinding yang berhimpitan dengan dinding rumah sebelah. Ia tahu persis itu ruang dapur karena pernah beberapa kali berkunjung ke ruangan itu. Lalu didengarnya bunyi itu. Ia yakin datangnya dari dapur tetangga. Dapur Bu Marsinah. Bunyi spatula di atas wajan. Seperti ada yang tengah menggoreng. Atau membalik-balikkan masakan. Siapa yang tengah berada di dapur rumah sebelah? pikir Ray.
Setahunya, tadi sore, ia bersua pemilik rumahnya, Bu Marsinah, di depan teras rumahnya. Tengah mengunci pintu rumah. Pakaiannya rapi. Berbalut gamis hijau tua dengan jilbab senada. Meski sudah tua, perempuan itu piawai bermode. Lantaran pernah sangat lama menjadi penjahit pakaian perempuan. Ray mendengar perbincangan perempuan tua itu dengan tetangga depan rumahnya. Katanya, hendak menginap di Karanganyar. Di rumah anak laki-laki semata wayangnya. Semenjak suaminya meninggal, tentu ia merasa takut sendiri di rumah yang lumayan besar. Lebih dari setahun. Sesekali ditemani cucu laki-lakinya. Dani, sahabat Ray. Namun tak pernah lama, hanya semalam atau dua malam. Dani remaja yang penakut dan suka mendramatisir suasana hingga dirasanya kian mencekam.
“Lagi ngapain di dapur jam segini, Ray?”
Ray terperanjat. Kepalanya melirik. Ibunya berdiri di ambang pintu. Menatapnya heran.
“Hemmm, sini, Ma...” Ray memberi isyarat mengangkat telunjuk dan ibu jari, meminta ibunya mendekat. “Coba Mama dengerin, kalau-kalau Ray yang salah denger!”
Tak banyak komentar, Ratna ikut menempelkan kuping pada dinding. Yang tengah menggoreng jelas terdengar. Suara spatulanya berirama seperti mengikuti komando.
“Masa sih Bu Marsinah masak jam segini?” kening Ratna berkerut sembari kembali menatap Ray. “Apa mungkin ada anak-anak tirinya dari Jakarta… makanya sibuk malam-malam!”
“Kalau emang anak-anak tirinya lagi ada… tentu suara mobilnya terdengar oleh kita, atau ribut mengobrol!” jelas Ray. “Ray kan belum bobo. Jadi pasti tahu, kalau ada suara mobil berhenti.”
Ratna mengiyakan juga. Namun Ray tampak tak puas.
“Siapakah yang tengah menggoreng di dapur Bu Marsinah, ya Ma?”
“Entahlah.”
“Yang pasti bukan Bu Marsinah. Ray tahu... dia tadi sore pergi ke Karanganyar.”
“Dia pamit padamu? Ko Mama tidak tahu?”
“Mama lagi di rumah Tante Rita ketika dia pamit pergi. Tapi bukan pamit pada Ray. Melainkan pada Tante Ima. Dan Ray mendengar percakapan mereka berdua,” jelas Ray.
“Berarti di rumah sebelah itu... memang kosong alias tak ada siapa?” Ratna menatap Ray mencari kebenaran dan ingin meyakinkan.
Ray mengangguk. “Mustahil ada orang.”
Ratna terdiam. Rasa takut sedikit menjalarinya.
“Suara spatula di atas wajan masih terdengar. Kira-kira menurut Mama... siapa yang terngah menggoreng di tengah malam buta begini?”
“Lho, katamu sendiri kan tak ada orang?”
“Sepertinya... makhluk selain manusia,” gumam Ray.
“Siapaaaa?” desis Ratna tertahan. “Hantukah?”
Ray mengangguk yakin. Bahu Ratna bergidik. “Udahlah, kenapa repot-repot mikirin yang lagi masak tengah malam, mending kamu tidur!”
“Tapi Bu Mar kan lagi tak ada di rumah itu!” Ray tetap penasaran.
“Mungkin Dani!” tegas Ratna akhirnya basi-basi.
“Tak mungkin! Kalau Dani, pasti lah ngajak Ray menemani di situ!”
“Jadi menurutmu siapa?” Ratna ketakutan. Ray masih berputar-putar membahasnya hingga berulang-ulang. Tampak terjerat keraguan hingga menduga-duga yang sebenarnya sudah dapat diduga.
“Tentunya... bukan Bu Mar ataupun Dani.”
“Siapapun dia... yang penting tak mengganggu kita, ayo Raaaay... kita kembali,” Ratna menarik lengan Ray.
“Maaa.... Ray penasaran!” Ray bersikeras.
“Udahlaaaaah...” Ratna menjadi kesal.
“Tapi Ma…”
“Ray! Ini sudah malam! Matikan laptopmu!” ibunya menarik lengan Ray agar mengikutinya.
“Tapi tugas-tugasnya belum Ray beres!” ucap Ray bersikeras.
“Kan bisa besok lagi!”
“Mamaaaa, besok dikumpulkannya!”
“Ray, kamu harus bisa bagi waktu dong, jangan sampai waktu yang seharusnya kamu tidur, kamu gunakan untuk mengerjakan tugas!”
“Tugasnya banyak, Ma. Dan bukan hanya tugas Ray, tapi juga tugas teman-teman!”
“Kamu bisa bangun sebelum azan subuh berkumandang!”
“Ray takut kesiangan, Mamaaaa!”
“Mau tidur atau Mama yang matikan laptopmu?” Ratna menatap Ray dengan kesal. “Jagalah kesehatanmu! Tak baik saban malam begadang!”
Ray menghela napas. Tak kuasa lagi membantah. Tugas-tugas akan diselesaikannya sebelum pukul enam. Ia harus bangun pukul empat. Begitu tekadnya. Ia pun masuk kamar setelah menutup laptop dan mematikan lampu ruangan.
Pukul enam pagi, Bu Marsinah datang. Memberi gorengan bakwan dan pisang buatan menantunya.
“Jadi Bu Mar semalam menginap di Karanganyar?” pancing Ratna.
“Ya, saya baru saja tiba.”
“Apa di rumah Bu Mar semalam ada orang?” pancing Ratna lagi.
Bu Marsinah menggeleng. “Orang siapa, Rat... kan sudah pada tahu cucuku susah diajak menginap, apalagi semalam saya yang menginap di Karanganyar.”
Ray yang tengah berpakaian seragam di dalam kamar, melongo.
“Kenapa gitu, Rat?” Bu Marsinah menatap heran.
Ratna mengalihkan pembicaraan. “Anak-anak almarhum Pak Misbah sudah lama tak berkunjung ya, Bu?”
“Nah itulah…” mata Bu Marsinah tiba-tiba berkaca-kaca, segera Ratna menyodorkan cangkir berisi air teh manis hangat yang sengaja disuguhkan. Jadi merasa berdosa membuat perempuan tua itu sedih. Ia sebenarnya kasihan. Dulu ketika mendiang suami Bu Marsinah masih ada, anak-anak tirinya yang semuanya tinggal di Jakarta, kerap berkunjung. Namun semenjak Pak Misbah meninggal dunia, mereka jadi jarang datang. Semenjak itu Bu Marsinah terkadang kelihatan melamun sendiri di teras rumah. Untuk mengusir sepi, sesekali mengajak tetangga menemani bila malam hari berubah gelap. Namun tetangga jarang berkenan lantaran ada kabar yang acap melihat wujud menyeramkan di rumah itu bila kebetulan Bu Marsinah tengah pergi ke Karanganyar.
“Bu Mar nginap di Karanganyar kan?” Ima, tetangga yang rumahnya berhadapan langsung dengan rumah Bu Marsinah, bertanya pada Ray yang siap-siap hendak pergi ke seolah.
“Katanya begitu, kan pamit juga sama Tante Ima,” jawab Ray seraya menstarter motor matic putihnya.
“Iya, Tante hanya ingin meyakinkan.”
Ray tersenyum tipis.
“Hati-hati motormu ya Ray, kalau malam jangan dibiarkan di luar rumah.”
“Ya, Tan.”
“Semalam, sekitar pukul sebelas… Tante hendak memeriksa motor di luar, khawatir ada maling.”
“Lalu?” dua alis Ray bertaut.
“Ketika tatapan memusat ke rumah itu, dari tirai tipis… tampak TV menyala,” tuturnya sembari matanya melirik rumah yang dimaksud. Setahu Ray, tirai jendela rumah itu, sesekali tidak keburu ditutup. Lupa, begitu alasan Bu Marsinah bila diingatkan. Maklum sudah tua, usianya enam puluh tiga tahun. Tentu dari luar terlihat mekipun dari kejauhan. Terlebih rumah Ima tepat di depannya, hanya terhalang gang sempit. “Tante langsung masuk rumah lagi, lalu mengingat-ngingat kalau Bu Mar sejak sore pergi, malahan pamit padaku dan nitip rumahnya. Nah, karena penasaran, Tante bersama suami ngintip dari dalam, lewat kaca jendela, tak keluar teras ih… tatuuut hehehe… bener lho, Ray... televisi emang menyala. Lagian kan ruangan itu gelap, jadi jelas terlihat nyalanya. Coba pikir, kalau emang TV menyalanya sejak sore, tentu bisa kuperhatikan sejak sebelumnya. Bener tidak?”
Ray mengiyakan.
“Tapi beberapa menit kemudian… TV tiba-tiba mati, lalu menyala lagi, tak lama mati lagi…”
Ray melongo. Mendadak bulu kuduk berdiri di pagi hari.***