Teror Itu Datang Lagi

1624 Kata
Teror Itu Datang Lagi SUDAH pukul tujuh belas, Dani belum tiba di rumah Bi Euis. Ray gelisah, tadi kawannya itu pamit mau jalan-jalan di pematang sawah yang membentang luas, tapi sudah tiga jam belum pulang. Dani bersikeras pergi sendiri. “Tidak apa-apa. Mungkin Dani lagi menikmati pemandangan di desa ini. Jarang-jarang kan di tempat kalian ada hamparan sawah,” ucap Bi Euis lalu tangan kanannya menyimpan segelas teh manis panas di atas meja. “Nih, minum dulu, Ray...” “Terima kasih, Bi...” Ray memerhatikan gelas teh manis yang isinya masih sangat panas. “Nunggu hangat...” “Seruput dikit-dikit.” “Duh, gimana nih...” Ray melirik gawainya, memastikan pukul berapa. “Nanti sampai rumah malam banget dong, kalau jam segini belum berangkat.” Bi Euis tersenyum. “Sudah, biar saja. Dani masih betah. Jadi, kalian kan bisa nginep semalam lagi di sini.” “Tapi besok kan sekolah, Bi.” “Dari sini bisa berangkat sebelum azan Subuh. Masih segar dan perjalanan lancar. Pasti cepat sampai.” Ray terdiam sesaat lalu bicara lagi. “Ya sih, Bi. Sebenarnya Ray juga masih pingin di sini. Tapi kan Dani yang ngeburu-buruin ingin pulang.” “Tapi buktinya Dani belum mau pulang kan? Kalau mau cepat pulang, dia pasti buru-buru balik.” “Ray susul dia dulu ke pematang sawah,” tubuh Ray beranjak dari tempat duduk. “Raaaaaay... teh manisnya sudah hangat!” Bi Euis teriak kala Ray sudah menjauh. Ray mencari-cari Dani di pematang sawah terdekat. Namun tidak ada. Ia kembali mengitari, kalau-kalau kawannya itu berada di bawah pohon-pohon sekitarnya. Namun tak juga ditemukan. Ray menyerah. Namun baru saja tubuhnya hendak berbalik, pandangan matanya terlempar ke arah gubuk di tengah sawah. Matanya menatap dengan saksama. Tadi, ia tak memerhatikan ke sana. Dilihatnya Dani tengah duduk dan tidak sendirian tetapi dengan seseorang. Ray mengucek matanya. Ternyata, seorang gadis. Berambut sebahu yang berkibar tertiup angin sore. Tubuhnya berbalut pakaian warna merah. “Daniiiiiii!” teriak Ray. Dani serta-merta menoleh. Ia bicara dulu pada gadis itu dalam beberapa menit. Lalu gadis itu berjalan menapaki pematang sawah ke arah utara. Ke dusun Kamasan. Sementara Dani ke arah selatan. Hingga tiba depan Ray. Dani senyum-senyum senang. “Siapa tadi?” Ray penasaran. “Indah.” “Kalian baru saja kenalan? Atau kalian sudah lama ngobrol di situ sampai kamu lupa sekarang kita harus segera pulang?” “Waktu pagi-pagi aku ke warung beli kopi s**u, aku ketemu gadis itu. Lalu kami kenalan. Kami juga sempat janjian ketemu lagi di gubuk sore hari.” Ray geleng-geleng kepala. “Pantas kamu sampai lupa waktu. Jadi kita pulang?” “Apa tak terlalu sore? Sampai jam berapa kita tiba di rumah kita nanti?” Dani tampak meragukan. “Nah, itu!” cetus Ray. “Malas kalau sampai rumah larut malam.” “Ya, juga. Terus gimana?” “Aku sih, gimana kamu, pulang ayo... nginep lagi juga, oke.” “Hemmmm.... sebenarnya aku... betah di desa ini.” “Katamu semenjak bangun tidur tadi pagi, kamu bilang tak betaaaah...” “Ya, awalnya gitu. Tapi sekarang jadi betah.” “Betah sejak kapan?” “Sejaaakkk...” “Betah setelah kenal Indah kan?” goda Ray. “Begitulah... hehehe...” Dani terkekeh. “Ya, udah. Kita pulang sebelum azan Subuh saja, ya? Kita bisa shalat di masjid yang terlintasi.” “Sekolah?” “Ya, sekolah lah... kan keburu, ayo sekarang kita kembali ke rumah nenek!” ajak Ray. “Tapi, Ray... aku tidak mau nginep di rumah Bi Euis!” “Takut jenglot?” Ray jadi agak jengkel dengan sifat penakut Dani yang terkadang berlebihan. “Coba kamu yang ngalamin denger langsung jenglot itu hampir melompat dari dalam dus dan bukan tak mungkin menerkam kita!” jelas Dani. “Ah, jangan berhalusinasi!” “Raaaay, ketimbang nginep di rumah itu, mending aku bobo di masjid saja, ya?” rajuk Dani. Di belakang rumah nenek, kebetulan ada masjid dan tak besar. Dani membayangkan lebih nyaman tidur di sana. Ketimbang kembali melewati malam menegangkan dengan gangguan jenglot. Ray diam sebentar lalu ia mengajak Dani menginap di rumah Bi Tita. Kebetulan Ray ingin bersua dengan bibinya yang satu itu. “Di mana rumah Bi Tita?” tanya Dani. “Desa lain, tapi paling tak akan makan waktu setengah jam ke sana. Sekitar lima belas menit sampai.” “Apa nama desanya?” “Penting buatmu?” “Ya, mau tahu saja. Tak kamu jawab juga, tak apa-apa, ko,” Dani tersenyum. “Desa Sukaratu. Nama dusunnya Kurnia. Agak mendingan ramai tak sesenyap dusun ini. Dari rumah Bi Tita agak dekat ke jalan aspal. Tapi...” “Tapi apa?” “Daerah situ, dekat juga sungai dan kebun yang konon angker.” “Ah, kamu ko malah nakutin aku sih?” Dani agak kesal. “Gimana... milih menginap di rumah Bi Euis atau Bi Tita?” “Kalau di rumah Bi Tita... jauh dari rumah Indah, ya?” “Dari rumah Bi Euis juga... meski ke rumah Indah tak jauh, tapi kan tak mungkin malam-malam kalian ketemuan. Kecuali kalau kamu maksa sih, silakan apel ke rumah Indah nanti malam.” “Dari rumah Bi Euis ke arah mana?” “Terus menyusuri dusun Mulokasor... lurus, lewat pemakaman umum... teruuus...” “Hah? Pemakaman umum?” Dani mengangkat kedua bahunya, bergidik. “Mending, gagal deh!” “Ya udah... jadi...” “Oke, kita malam ini menginap di rumah bibimu yang satu itu.” “Sip. Kita siap-siap dan shalat Magrib di masjid sana saja, ya?” Sebelum azan Magrib, Ray dan Dani sudah berada di rumah Bi Tita, di kampung sebelah. Sebelumnya, Bi Euis agak ngambek karena Ray dan Dani tak menginap di rumahnya sampai ahirnya ia paham dengan ketakutan yang terjadi pada Dani. Pukul dua puluh satu, Bi Tita sudah terlelap di kamarnya memeluk balitanya. Sementara Ray dan Dani masih asyik berbincang di kamar. Rumah itu hanya ditempati Bi Tita dan anak satu-satunya. Suaminya bekerja di luar pulau. Sebelum masuk kamar, Bi Tita mengabarkan jika Wak Dulah baru tiba di kampung ini beberapa jam lalu. Kini, lelaki tua itu berada di gubuk dekat sungai yang airnya sangat deras. Tengah sendirian. Hendak bersemedi. “Wak Dulah itu, kakekmu kan?” tanya Dani. “Masih nanya lagi,” Ray dongkol. Dani terkekeh. “Ingin meyakinkan sekali lagi.” “Adik kakekku.” “Yaaa.... sama saja, kan. Dia kakekmu juga.” “Aku biasa manggil dia... Wak Dulah, itu juga pernah kujelskan padamu” ucap Ray lalu menceritakan kehebatan Wak Dulah dalam menguasai ilmu kebatinan. Mampu melayang-layangkan kendi di udara. Hanya dengan memasukkan sebatang lidi pada kendi sembari mulut berkomat-kamit lalu melayanglah kendi itu. Serupa pesulap kelas internasional, bahkan lebih. Semua yang menyaksikan dibuat takjub dan tak henti berdecak kagum. Wak Dulah pun pernah masuk botol minuman soda lalu keluar dengan sendirinya. Selain itu, bisa merubah wujud menjadi harimau. “Waaah.. harimau jadi-jadian, ya?” Dani penasaran. Ia geleng-geleng kepala. “Entahlah... yang pasti Wak Dulah dikenal banyak ilmunya.” “Kamu pernah menyaksikan kehebatannya?” “Yang kendi ya aku pernah. Kalau yang lain, cuma cerita adik-adik ayah. Cerita ayah juga. Cerita orang yang pernah menyaksikan langsung.” Dani terdiam. Ia merasa bulu kuduknya meremang. “Kenapa kamu diam?” Ray menatapnya. Lalu tubuhnya berdiri, mematikan sakelar lampu. Ruangan gelap. “Ray, jangan dimatikan dong lampunya!” “Aku tidak bisa tidur dengan lampu menyala!” “Aku juga sama. Tapi kali ini... aku mohon nyalakan!” “Tidak ah!” Ray bersikukuh. “Penakut kamu itu! Geser!” Dani menggeser tubuh tinggi kurusnya hingga menempel di dinding. Dani masih ingat dengan suara jenglot di rumah Bi Euis. Yang hendak keluar dari dalam dus. Ia juga ingat cerita Bi Euis mengenai perempuan tua berambut panjang dan putih. Ia ingat juga cerita Hen mengenai ular. Lalu sekarang cerita Ray seputar ilmu Wak Dulah. Semua berhubungan dengan mistis dan sangat menakutkan baginya. Kantuk mulai menyerang Ray. Ia pun terlelap dan dibuai mimpi. Sementara Dani gelisah. Keringat mengucur di punggungnya. Lehernya terasa ada yang meniup. Tubuhnya gemetaran. Selimut menutupi tubuh. Namun kantuk tak mau menyerangnya. Ia malah kian gelisah. Trek. Terdengar bunyi trek. d**a Dani terperanjat. Bunyi dari jendela kaca kamar. Malam senyap. Dicobanya menenangkan diri. Namun tak berapa lama bunyi itu terdengar lagi. Kali ini jauh lebih panjang dan lama. Treeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek. Dadanya kembali terperanjat. Bulu kuduknya merinding. Lidahnya sulit digerakkan padahal ia ingin meminta tolong pada Ray yang terlelap. Napas Dani memburu seiring suara di jendela yang menghilang. Dibukanya kembali selimut yang menutup kepalanya. Ia tak berani melirik ke arah jendela. Takut ada kepala berwajah mengerikan seperti yang pernah tempo hari Ray ceritakan. Malam bergerak lamban. Dani belum bisa tidur. Hingga terdengar ketukan pintu rumah. Lalu terdengar suara Bi Tita membuka pintu depan. Berbincang dengan seseorang. Tak berapa lama, Bi Tita mengetuk pintu kamar dimana ada Dani dan Ray. Dani beranjak membuka pintu. Ray pun terbangun. Bi Tita mengatakan kalau Wak Dulah ingin bersua Ray malam itu juga. Ray mengiyakan. Diajaknya Dani. Semula Dani mau menolak, tapi setelah dipikirnya takut di kamar sendirian dan diganggu suara di jendela kaca lagi, ia dengan gegas mengenakan jaket. “Tadi yang ke rumah Bi Tita itu Wak Dulah?” Dani melirik Ray yang berjalan tergesa-gesa menuju kebun yang terkenal angker. “Bukan. Suruhan Wak Dulah,” ucap Ray seraya telunjuknya mengarah ke lelaki yang berjalan lebih cepat dan agak jauh, hampir tak tersusul. “Di mana Wak Dulah sekarang?” desak Dani. “Jangan banyak nanya. Ikuti saja aku!” seru Ray. Mereka berdua menuju sungai ditemani lelaki suruhan Wak Dulah yang berjalan di depannya. Hanya sepuluh menit, Wak Dulah mengajak berbincang Ray sembari mengelus kepala Ray dengan penuh kasih sayang. Setelah itu, Wak Dulah menyuruh Ray dan Dani duduk bersila di belakangnya. Suara angin dari pohon-pohon yang bergesekan ditimpa derasnya air sungai menambah suasana mencekam. Wak Dulah mengangkat kedua tangannya depan d**a lalu mulutnya mulai komat-kamit. Melapalkan mantra hingga berulang-ulang Tak berapa lama, gubuk pun bergerak-gerak. Tubuh Dani dan Ray pun ikut bergerak tapi mereka menahan sekuat tenaga agar posisi duduknya tetap tegak seperti semula. Mata keduanya terpejam. Deras sungai memecah malam yang sangat dingin. Suara hewan malam lirih bersahutan mengundang misteri. Beberapa saat kemudian, gubuk pun terangkat ke atas lalu melayang-layang di udara. Sontak, Dani dan Ray kaget bukan main. Seumur hidup baru mengalami peristiwa seperti itu. Tubuh keduanya bergerak-gerak dan berusaha menahan keseimbangan agar tak jatuh. Wak Dulah terus melapalkan mantra. Gubuk kini berputar. Mulanya perlahan lalu berubah dahsyat. Dani ingin berteriak. Begitu pun Ray. Namun kerongkongan mereka nyaris tercekik. Suaranya tak mampu keluar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN