Jenglot
LANGIT hendak dilumati hitam kala Ray dan Dani tiba di desa itu. Desa Sukarasa. Bi Euis, adik ayah Ray, menyambut hangat mereka berdua. Sudah cukup lama, Ray tidak berkunjung ke rumah nenek. Ia biasa menyebut ‘Rumah Nenek’ meskipun neneknya sudah meninggal, menyusul kakek yang setahun sebelumnya menghembuskan napas terakhir.
“Istirahat dulu ya, Ray... dan...” Bi Euis menatap Dani.
“Dani,” ucap Dani sembari tersenyum.
“Kalian teman satu sekolah?” tanya Bi Euis.
Ray mengangguk. “Ya, Bi. Tapi tidak satu kelas. Dani juga cucu Bu Marsinah, tetangga Ray. Rumah Ray dan rumah nenek Dani, bersebelahan.”
Bi Euis mengingat-ngingat sesaat. Sudah lama, ia tak berkunjung ke rumah Ray. Seingatnya, ketika anak pertamanya masih kecil. Dan ia tak bisa membayangkan rumah nenek Dani.
“Makanya kapan mau ke rumahku, Bi?” Ray mengagetkan bibinya yang terdiam. “Mama sangat ingin bersua Bi Euis juga bibi yang lainnya.”
“Nanti Bibi niatkan berkunjung ke rumahmu, ya Ray... maafkan jika Bibi dan Paman lama tak ke sana. Tapi, alhamdulillah, ayahmu tiga bulan sekali kemari. Nyekar di makam Kakek dan Nenek,” jelas Bi Euis. Ia, adik ayahnya Ray. “Jadi... kami bisa rutin bersua.”
“Alhamdulillah... semoga silaturahmi selalu terjalin.”
“Amiin. O ya, Ray... kamu suka bersua Wak Dulah?” tanya Bi Euis.
“Sudah lama juga, Bi. Tapi kalau sama Mama dan Papa... katanya pernah. Wak Dulah datang ke rumah malah sempat tidur siang. Kebetulan Ray lagi di sekolah waktu itu.”
“Ray... ayah ibumu pernah cerita soal Wak Dulah?”
“Tentang?”
“Yang sangat ingin mengangkatmu sebagai anak.”
Ray mengangguk. “Ya, tapi Mama dan Papa tak akan mengizinkan.”
“Kalau kamunya... bersedia?”
“Jadi anak Wak Dulah?”
Bi Euis mengangguk.
Ray menggeleng. “Ya, tidak lah, Bi. Walaupun Wak Dulah kaya raya, konon... tapi Ray lebih suka memilih tinggal bersama Mama dan Papa dalam kesederhanaan.”
“Kamu anak yang baik,” ucap Bi Euis. Mereka bertiga berbincang di ruang tamu yang luas. Duduk di sofa beludru hijau tua yang berdebu. Ray dan Dani menikmati kelapa muda yang sudah dikerok dan dicampur gula putih yang tersaji di atas meja kaca. Segar melewati kerongkongan mereka yang kering meski tak memakai es batu.
Azan Magrib berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah. Hanya terhalang satu rumah. Ray dan Dani pergi ke kamar mandi. Membersihkan badan. Shalat lalu kembali duduk-duduk santai di atas tikar yang tergelar di ruangan lain. Ditemani kudapan ubi rebus dan singkong, hasil dari kebun.
“Bi... boleh Ray dan Dani bersantai di rumah sebelah?” tanya Ray. Bi Euis mengiyakan.
Ray dan Dani lalu pindah istirahatnya di ruangan yang berhimpitan dengan rumah nenek. Satu atap, dulu ruangan itu ditempati bibinya Ray yang lain, tapi sekarang sudah pindah ke rumah baru di desa lain. Ruangan itu dibiarkan kosong. Namun seminggu sekali pemiliknya datang membersihkan. Rumah nenek luas, tapi penghuninya hanya Bi Euis dan kedua anaknya yang sudah remaja tanggung, keduanya masih duduk di bangku SMP. Terdapat beberapa kamar luas.
Pukul sembilan belas, Bi Euis menghampiri mereka berdua. Menyimpan di atas meja; nasi liwet, peda merah, sambal terasi, lalap mentimun dan sebungkus kerupuk putih.
“Makan malam seadanya, ya... maklum di kampung,” Bi Euis mengulas senyum.
“Terima kasih, Bi,” jawab Ray. Lidah Dani tampak ngiller melihat ikan asin peda merah. Ray yang meliriknya, tersenyum. Beruntung, Dani mau diajak menemani. Tadinya Ray malas jika harus pergi sendiri.
“Ayo!” Ray mengambil piring. Diikuti Dani. Mereka makan lahap. Perjalanan dua jam dalam motor cukup melelahkan.
“Ray, siapa itu Wak Dulah?” Dani penasaran ketika mereka sudah tuntas makan malam.
“Dia... adik mendiang kakekku.”
“Lho... kenapa kamu memanggilnya Wak?”
“Semua adik Papa memanggil begitu. Mama dan Papa juga.”
“Yang harus dipanggil Wak itu kan kakak dari ayah atau ibu kita. Malahan, harusnya kamu memanggil dia... Kakek Dulah.”
Ray tersenyum bijak. ”Karena sejak dulu, orang-orang sekitar terutama daerah sini... banyak yang memanggil adik kakek itu... dengan sebutan ‘Wak”. Mungkin karena awalnya merasa segan pada sosoknya yang terkenal dengan kesaktiannya.”
“Waaah... dia orang sakti, ya? Hebat, kamu punya kakek yang sakti.”
“Wak Dulah berteman juga dengan Haji Jajuli, lho...”
“Haji Jajuli yang rumahnya dekat dengan rumah Fian?”
Ray mengangguk. ”Ya.”
“Berarti kakekmu itu sering ke rumah Haji Jajuli, ya?”
“Tidak juga, kan Haji Jajuli menetap di kota. Jadi... Wak Dulah dan Haji Jajuli bersua di kota. Di rumah Haji Jajuli yang di kota itu. Bukan di rumah Haji Jajuli yang dekat rumah Fian.”
“Rumah berhantu.”
“Lantaran kosong.”
“Tak ada penghuni sama sekali?”
“Ada. Pembantunya yang sudah tua. Mak Inoh.”
“Ada hubungan apa antara mereka?” Dani makin penasaran. “Maksudnya, Haji Jajuli dan Wak Dulah?”
Ray mengangkat bahu.”Entahlah...”
“Pasti seputar ilmu mistik...”
“Mungkin juga,” jawab Ray sembari tangannya mengambil gelas berisi air putih lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian tubuhnya beranjak.
“Ke mana?” Dani menautkan alis. Lalu berdiri dan mengikuti Ray.
“Kita tidur di sini saja,” ucap Ray lalu duduk di tepi pembaringan. Tidak di kamar depan tapi di kamar satu lagi yang berdekatan dengan rumah nenek. Dani mengiyakan.
“Malam Minggu di dusun Mulokasor,” Ray merebahkan tubuhnya yang penat.
“Katamu Sukarasa.”
“Itu nama desanya.”
“Ouh... beda?” Dani menungkup mulutnya. Ray cuma nyengir.
“Besok pulang jam berapa?” tanya Dani.
“Baru juga datang, udah nanyain pulang. Santailah, Dan. Kan misiku kangen dengan rumah nenek. Esok sore kita pulang.”
“Sayang kita tak bawa laptop.”
“Kali ini, kita fokus menikmati keindahan desa, oke?”
Ada dua kamar, tak begitu luas tapi nyaman karena seminggu sekali suka dibersihkan oleh anak pemiliknya.
“Kalau di rumah nenek berantakan banget, mana berdebu, ih...” ucap Ray pelan khawatir ucapannya terdengar Bi Euis karena hanya berbatas dinding dan jendela kaca. Tirainya yang berwarna putih bersih sedikit tersingkap, hingga bisa terlihat jelas aktivitas Bi Euis dan anak-anaknya.
Ray jadi terkenang kakek dan nenek. Ketika masih ada, ruangan rumah nenek sangat bersih. Kini tak sedap dipandang mata dan tak membuat nyaman. Ray juga tadi sempat malas duduk di sofa yang berdebu. Di lemari susun jati, benda-benda tergeletak begitu saja, yang sudah tak layak pun tak dibuang. Ray heran dengan bibinya, pekerjaan sehari-harinya hanya di rumah tapi tak berkeinginan merawat isi rumah. Suaminya bekerja di Jakarta dan pulang sebulan sekali.
“Suka ada ular masuk rumah, Kak!” Hen tiba-tiba muncul dari ambang pintu kamar, seperti membaca yang ada dalam pikiran kakak misannya.
“Wah!” Ray agak terperanjat. Begitu pun dengan Dani.
“Sering lho, Kak. Malah Yusuf pernah nyaris dipatuk, untung aku pergokin,” jelas Hen setelah tubuhnya masuk ke dalam kamar.
Ray dan Dani bertatapan.
“Dari lemari jati... waktu Yusuf mau buka, dari dalam ada ular,” jelas Hen. Ray dan Dani jadi gelisah khawatir tengah lelap tidur tiba-tiba ular membelit. Terdengar Bi Euis teriak memanggil Hen, tak berapa lama Bi Euis pun muncul. Bi Euis senang dengan kedatangan Ray dan Dani. Dan meminta mereka menginap dalam beberapa malam. Namun Ray menegaskan Senin dan hari-hari selanjutnya harus sekolah. Bi Euis agak menyesal. Ia acap mengalami rasa takut terlebih jika anak sulungnya menginap di rumah saudara yang lain.
“Ray, mau nginap di sini... atau di rumah nenek saja, yu?” ajak Bi Euis lalu menceritakan saban ada tamu yang menginap di tempat tidur yang tengah Ray dan Dani duduk, suka melihat penampakan. Perempuan tua berambut putih tengah duduk di pembaringan. Mendadak bulu kuduk Ray meremang. Apalagi Dani. Ia jadi menyesal ikut Ray.
“Benarkah itu, Bi?”
Bi Euis mengangguk. Tanpa menunggu hitungan menit, Ray dan Dani beranjak dari ruangan yang sebelumnya dirasa nyaman, menuju ruang tengah rumah nenek. Hen mengulang lagi, meyakinkan cerita ibunya mengenai perempuan tua berambut panjang putih.
Ray memeriksa dua kamar yang kosong tapi sangat berantakan dan cenderung menjijikan. Kasur kapuk tipis dan jelek berpenghuni kutu loncat, tak akan membuat lelap tidur. Ia memilih menggelar kasur yang cukup bersih di ruang tengah depan lemari jati.
“Wak Dulah malah menaruh jenglot di rumah ini,” ucap Bi Euis usai memberikan selimut pada Ray. Wak Dulah adik kakek Ray satu-satunya. Lelaki tua yang menetap di Banjarnegara dan mendalami ilmu kebatinan semenjak remaja. Ray membayangkan makhluk kecil menakutkan. Kulitnya kasar, panjangnya sekitar 15 cm, bertaring, rambut panjang dengan kuku-kuku panjang. Ray tak begitu tahu apakah jenglot itu sejenis hantu atau bukan, tempo hari sempat menonton di layar kaca jika makhluk itu pernah menggemparkan warga beberapa daerah karena mengandung mistis dan mengundang bencana. Lalu, kini ada di rumah nenek dimana ia akan menginap. Ia tak habis pikir dengan Wak Dulah yang meminta Bi Euis merawat jenglot.
“Ko Bi Euis mau-maunya sih?” Ray menatapnya. “Nambah kerjaan dong! Mending kalau dikasih upah sama Wak Dulah! Sekarang di mana jenglotnya?”
“Di atas lemari!” telunjuk kanan Bi Euis mengarah ke atas lemari jati yang satu lagi. Lemari pakaian yang kacanya sudah retak. Dalam kotak dus bekas mi instant.
“Haduuuu.... cemmacem saja!” Ray menyeringai. Dani merinding bulu kuduknya. Ia kian menyesal ikut Ray. Sementara Ray sedikit kesal pada Wak Dulah juga pada Bi Euis dan dua anak laki-lakinya. Sudah beberapa tahun tak berkunjung, sekalinya berkunjung disuguhi cerita-cerita aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Meski bukan anak penakut, sedikitnya Ray mendapat aura yang tak biasa. Banyak ular, perempuan tua berambut panjang putih lalu... jenglot!
Dani tampak gelisah. Bibirnya terkatup tak mengeluarkan suara. Menahan rasa takut yang menyergap. Lalu dibaringkan tubuhnya di samping Ray. Bi Euis, Hen dan Yusuf masih membahas jenglot yang suka meronta-ronta jika terlambat diberi makan. Ray menanyakan apa makanannya. Bi Euis menjawab. Namun Dani malas mendengarnya. Rasa takut kembali menghinggapinya. Ditariknya selimut lalu matanya terpejam. Bi Euis yang semula duduk di atas karpet, beranjak ke kamar. Begitu juga dengan Hen dan Yusuf. Menuju kamar masing-masing.
Jam dinding berdentang sebelas kali kala Dani membalikkan tubuh, menghadap tubuh Ray yang membelakanginya. Rasa kantuk belum juga menderanya. Malah susah memejamkan mata. Dadanya berdegup tak karuan. Matanya sedikit-sedikit melirik ke arah jendela kaca pembatas rumah nenek dan ruangan itu, ke arah kamar yang tadi dirasa nyaman di situ. Terngiang-ngiang di telinga cerita mengenai perempuan tua yang rambutnya panjang dan putih. Bulu kuduknya meremang. Serupa tiupan menerpa lehernya. Desah angin menyelusup ke dalam rumah. Dadanya kian berdegup, selimut ditarik ke atas, menutupi kepalanya. Tubuh Ray tak bergerak. Keringat mulai membasahi tubuh Dani. Rasa takut tak tertahankan.
“Jenglot kudu dikasih makanan biar tidak ribut,” cerita bibinya Ray terdengar lagi di telinganya beberapa jam lalu kala mengingatkan Hen. Ia terperanjat. Tubuhnya menggelepar.
Krooooooook krooooooook kroooooooook….
Jelas, suara yang meronta-ronta dari dalam kotak di atas lemari jati. Penghuninya seakan ingin melepaskan diri dari dalam dan menunjukkan wujud depan Dani.***