Burung Hantu

1536 Kata
Burung Hantu SEMENJAK pukul lima belas, Ray sudah diingatkan oleh Ratna, ibunya. Disuruh ke rumah Bunda Dewi, menyalakan lampu dan menyiram bunga sebagaimana amanat Bunda Dewi melalui pesan pendek di gawainya. Bunda Dewi semenjak malam Minggu pergi ke Cibiru, tempat usaha suaminya. Kebetulan, di situ pun memiliki rumah yang bisa ditempati. Lantaran berencana menginap di sana, Bunda Dewi dua kali menghubungi adiknya, Ratna agar menyampaikan pesan pada Ray. Toh, Ray pun bila hari Minggu, sepanjang hari terkadang hanya menghabiskan waktu di rumah. Namun ucap Ray, nanti saja.... masih siang. “Keburu sore, Ray,” ucap Ratna sekali lagi. “Yaaa, nanti saja, Ma! Tanggung!” ucap Ray masih asyik berada di depan laptop. “Keburu malam!” “Tadi keburu sore, sekarang keburu malam,” Ray jadi tertawa. “Ini sudah sore.” “Kalau gitu, nanti malam,” putus Ray. “Ah, kamu! Susah diomongin! Kan harus siram bunga juga!” “Ya, Ray ngerti!” jawab Ray tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang berada di hadapannya. “Ayo sama Mama saja bareng, sekalian Mama mau ambil daging ayam di kulkas. Kata Bunda, ada setengah kilo sudah dibaluri bumbu, tinggal menggoreng. Buat Rayna, Mia dan kamu, katanya. Bunda tidak akan buru-buru pulang, lagi betah di Cibiru.” “Oh, jadi Mama juga mau ke rumah Bunda Dewi?” “Ya.” “Kenapa Mama tak pergi sendiri saja... kalau hanya untuk ambil daging ayam?” Ratna menghela napas. “Kan biar sekalian. Kamu nyiram bunga dan Mama ambil daging ayam. Mama langsung pulang. Kamu hidupin semua lampu rumah itu dan kalau perlu...” “Kalau perlu apa?” potong Ray cepat. “Kamu menginap di sana!” “Sendiri? Males banget.” “Ajak Dani!” “Dia tak ada di rumah Bu Mar.” “Bisa kamu telepon dan minta datang sini.” “Tidak, ah!” “Lho, kenapa? Dia juga kan sering ajak kamu biar ditemanin menginap di rumah neneknya?” Ray tersenyum tipis. “Ray itu kurang suka ngerepotin orang meski itu teman sendiri.” “Ya... terserah kamu kalau gitu.” “Ray nginep sendiri saja di rumah Bunda Dewi malam ini.” “Berani?” tantang Ratna. Ray melirik. “Apa Mama mau nemanin?” Ratna segera menggeleng. “Tidak, ah, Ray.” Ray kembali tersenyum. “Ayo, Ray!” “Magrib sebentar lagi, Ma.” “Terus mau kapan?” Ibunya menatap Ray yang malah rebahan di atas karpet di ruang tengah. Laptopnya tetap menyala. Ratna sebenarnya malas ke rumah Bunda Dewi. Rumah yang penghuninya jarang ada. Rumah-rumah sekitarnya pun kosong. Kala malam mulai memagut, hantu dan sejenisnya tengah mempersiapkan menyambut gelap. Namun, Rayna terus merajuk mau menggoreng ayam untuk makan malam. Goreng ayam makanan kesukaannya. “Bada Magrib saja, Ma,” ucap Ray. “Males, ah... takut!” Mama mengangkat bahu. “Mama mau sekarang!” “Ya udah, Mama saja sendiri ke sana!” “Ah, kamu... masa Mama disuruh sendirian ke sana? Mana harus nyalain semua lampu dan siram bunga. Bunda Dewi kan nyuruhnya sama kamu, keponakan kesayangannya.” “Apa tengah malam saja?” Ray becanda. “Hiiiih!” bahu Ratna bergidik. “Bukankah selama ini Mama mengingatkan Ray agar tak penakut?” Ratna terdiam. Azan berkumandang dari masjid jami. Usai shalat, Ray menghidupkan motor. Lalu bersama ibunya pergi. Motor melaju, menyusuri jalan besar, lalu berbelok kiri. Sepi. Di pos ronda tak ada siapa-siapa. Motor berbelok sedikit ke kanan, lalu kiri, masuk halaman luas. Jika sore hari, halaman itu suka digunakan anak-anak sekolah dasar bermain bola. Koreak… koreakkkk. Burung hantu menyambut. Tiba depan rumah Bunda Dewi. Gelap. Mendadak bulu kuduk Ratna merinding, mendengar suara hewan menakutkan itu yang saling bersahutan karena lebih dari dua ekor. Bertengger di atap rumah Bunda Dewi. Ada juga yang hinggap di atap rumah lain sekitar situ. Atap-atap rumah tak berpenghuni. Turun dari motor, Ratna tak berani masuk menunggu Ray menyalakan lampu beranda. Kepala Ratna menengok ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Rumah-rumah kosong. Pemiliknya datang sebulan sekali. Bekerja di kota. Punya rumah di sana. Rumah yang ditinggal di sini, rumah warisan. Temasuk Ayah Imam, suami Bunda Dewi. Ayah Imam salah satu pemilik rumah warisan. Bunda Dewi kakak sulungnya Ratna. Ia mau menempati rumah besar itu karena bekerja di sini, sebagai guru sekolah dasar. Namun, ia pun lebih banyak di Cibiru ketimbang di sini sendirian. Kedua anaknya kuliah dan pulangnya ke rumah yang di Cibiru. Ayah Imam pun mencari nafkah di daerah sana. Rumah-rumah yang kosong membuat Bunda Dewi kerap didera ketakutan. Terkadang mengajak Ray menginap tapi Ray jarang mau. Begitu pun dengan Rayna dan Mia. Rumah-rumah kosong yang lampunya tidak menyala. Dan rumor misteri acap menjadi buah bibir orang-orang sekitar. Ratna menuju beranda setelah lampunya menyala. Ray masuk ruangan lain. Ratna ikut. Lalu Ray ke ruangan lainnya. Ratna terus mengikuti. “Mama ko ngikut terus sih!” Ray jadi kesal dengan tingkah ibunya. “Mama ko takut gini, Ray!” perasaan Ratna tak karuan. “Berarti yang penakut itu Mama, bukan Ray,” ledek Ray. “Ray... Bunda Dewi tambah sayang sama kamu,” rajuk Ratna. “Karena Ray mau nyalakan lampu rumah ini?” Ray melirik. Ratna mengangguk. “Katanya, kalau kamu kuliah, Bunda Dewi akan membantu biaya kuliahmu, Ray.” “Amiiiiin....” Suara burung hantu terdengar lagi. Menakutkan bagi siapa saja yang mendengarnya. “Ray, Mama takut dengan suara itu. Suara apa, Ray?” “Hemmm, Mama ini. Itu suara burung hantu, Mama!” “Takuuuut!” tubuh Ratna merapat ke tubuh Ray. “Tidak akan ada apa-apa, Mama!” seru Ray halus. Lalu burung hantu kembali bersahut-sahutan. Bulu kuduk Ratna merinding. Sebenarnya Ray merasakan hal yang sama. Bukan kali pertama ia disuruh Bunda Dewi menyalakan lampu rumah saat hari sudah gelap. Namun baru malam itu merasakan aura lain. Padahal bukan malam Jumat. Malam Senin. Namun terasa menegangkan. “Ray... itu suara burung hantu lagi,” kuduk Ratna merinding. “Ya, Ma.” “Membawa kabar kalau di sekitarnya ada hantu,” jelas Ratna. Ray hanya mengangkat bahu. Berdua mereka menuju ruang tengah. Di luar, suara burung hantu saling bersahutan. Kuduk Ratna merasa disobek-sobek. Tak tahan merasakan ketakutan yang kian membalutnya. “Ray, ambilin daging ayam ya di dalam kulkas!” ucap Ratna. “Mama saja!” “Takut, Ray.” “Penakut,” gumam Ray. Lalu membuka tutup stoples. Mengambil kue. Memakannya. “Malah makan!” “Santai, Ma,” jawab Ray. Tak berapa lama, Ray ke luar, mengucurkan air dari kran ke dalam ember. Lalu menyiram bunga-bunga di sekitarnya. Bunda Dewi sangat suka dengan tanaman bunga. Saban pergi ke Cibiru dan menginap di sana, yang paling dikhawatirkannya hanya bunga-bunga kesayangannya. Terkadang cerewet bila sudah mengingatkan Ratna untuk meminta Ray datang ke rumahnya untuk menyiram bunga. Terlebih bila musim kemarau. Burung hantu bersuara lagi. Tiba-tiba terdengar suara motor mendekat. Lalu berhenti depan pagar. Ayah Ray. Namun, ia tak turun malah memanggil Ratna. Ia harus buru-buru pergi lagi tapi minta diantar Ratna. Hendak berkunjung ke rumah kawannya di sekitar situ. Untuk sebuah keperluan darurat. Ratna mengiyakan. Ayah Ray berjanji mengantarkan Ratna kembali ke rumah Bunda Dewi agar bisa pulang bersama Ray lantaran Ray mengurungkan niat untuk menginap apalagi sendiri. Mendadak ada rasa malas mengingat harus melewati malam yang terbayang akan menghadirkan aura menyeramkan. Kendati ia tadinya bukan anak penakut, tapi beberapa perisitiwa berbau horor yang pernah dilewati membentuknya secara perlahan menjadi pribadi yang penakut juga meski kadarnya jauh di bawah Dani atau teman-teman lainnya seperti Fian dan Dirga. Ray akhirnya terpaksa sendirian. Lalu gegas menutup pintu depan setelah beberpa saat mematung di teras rumah ditemani suara burung hantu. Masuk ke dalam. Melangkah ke ruang tengah yang tadi dan duduk di kursi semula. Hendak melanjutkan makan kue. Namun kuduknya terasa ada yang meniup-niup. Rumah kian terasa menyeramkan. Hening. Senyap. Hanya gemerisik angin dari luar, diiringi suara burung hantu yang terdengar menyeramkan. Memecah sunyinya malam yang belum terlalu malam. Malah masih terlampau siang. Baru pukul sembilan belas. Rumah yang beku dan Ray merasakannya. Pantas Bunda Dewi tak betah dan sedikit-sedikit pergi ke Cibiru menemani suaminya di sana, pikirnya. Tempo hari, Bunda Dewi pernah ke rumah Ray, menceritakan pada Ratna, jika suatu malam kala ia duduk di kursi yang berada di ruang tengah, ia melihat bayangan gadis muda mengenakan rok pendek berwarna merah, kakinya bersandal jepit. Bunda Dewi tak memerhatikan gadis itu pergi ke arah mana. Suara burung hantu terdengar lagi. Menyelusup telinga Ray. Terasa berada di dekatnya. Bulu kuduknya meremang. Kulitnya kembali ada yang meniup. Ray merasa takut meskipun ia sebelumnya jarang mengalami rasa itu. Namun suasana malam terlebih sendirian di rumah yang kerap ditinggal penghuninya, membangkitkan aura takut yang luar biasa. Waktu bergerak lamban dan terasa lama. Ray kesal pada ibunya yang belum juga muncul. Hendak pulang sendiri, khawatir ibunya ke sini. Jika ditunggu, tak juga terdengar suara motor ayahnya menepi. Ray menghela napas. Keinginan makan kue diurungkan. Ray melapalkan doa semampunya. Menahan ketakutan yang kian mengepungnya. Untuk mengusir rasa takut, tubuhnya beranjak. Melangkah menuju ruang makan. Lalu terus ke dapur yang luas. Dihampirinya kulkas di sudut ruangan. Pintunya dikuakkan. Baru saja tangan kanannya hendak meraba plastik putih yang membungkus daging ayam, tubuhnya mendadak gemetaran. Telinganya menangkap dengan jelas bunyi sandal jepit yang melangkah mendekati. Lalu berdiri di belakangnya. Tubuh Ray sesaat gemetaran. Ia merasakan kehadiran makhluk lain di belakangnya. Tengah berdiri. d**a Ray berdegup cepat. Matanya tetap terkuak tapi tak berani menoleh. Beberapa saat bergeming. Ia kian yakin dengan yang berdiri tepat di belakangnya bukan manusia. Namun makhluk halus. Mungkinkah seperti yang pernah diceritakan Bunda Dewi mengenai bayangan seorang gadis berbaju merah dengan kaki beralas sendal jepit? Bagi Ray, malam itu, bukan hanya bayangan. Namun jelmaan. Ya, makhluk selain manusia menjelma dalam sosok seorang gadis. Kuduknya terasa meremang. Ditahan rasa takut yang mengepungnya. Ia harus kuat. Lalu menit-menit berikutnya terasa ada yang menyentuh bagian tengkuknya. Serupa telapak tangan. Sangat dingin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN