Laki-laki Misterius

2072 Kata
Laki-laki Misterius “APA itu, Dirga?” tanya Ray sembari tatapannya terpaku ke depan. Hamparan nisan-nisan. Ia sebenarnya tahu jika yang berada di hadapannya itu pemakaman. Namun, demi memastikan, ia bertanya lagi pada Dirga yang sebenarnya, pertanyaan yang tak perlu jawaban. “Pe-pe-pe… ma-ma… kaaaa-maan, Raaay,” suara Dirga mendadak tergeragap. Tubuhnya yang agak berisi, mendadak gemetaran. Rasa letih setelah berjalan kaki hampir lima belas menit, tak dirasanya lagi. Terbalut perasaan takut yang sangat. Nisan-nisan itu tampak depan mata. Seolah memelototinya. Di bawah pohon-pohon kamboja yang daun-daunnya berguguran, sebagian memenuhi nisan-nisan dan sebagian lagi berserakan di tanah merah. “Pemakaman umum,” ucap Ray lebih meyakinkan dirinya. Bukan pemakaman keluarga lantaran pemakaman di hadapannya luas dan banyak sekali nisan, nyaris tak terhitung. Mereka masih berdiri di pertigaan yang sangat sepi dan gelap. Ke barat, arah pulang ke Cibeureum. Belokan depan kiri, ke Cimalingping. Belokan depan kanan, ke Panaruban. Mereka tak mungkin kembali pulang lantaran sudah kepalang tanggung, perjalanan tinggal sepertiga lagi. Mereka bisa memilih belokan depan, ke kanan atau ke kiri. Kedua belokan itu sama-sama bisa menuju rumah saudaranya Dirga. Kedua belokan itu sama-sama jauh dari pemukiman warga. Mereka hanya akan menemukan kebun demi kebun yang rimbun. Bukan pesawahan yang bisa sejauh mata memandang. “Jadi… kita harus melalui belokan yang mana? Kiri… atau… kanan?” mata Ray melirik Dirga yang tampak bingung serta berpadu dengan ketakutan. Dirga sempat membayangkan jika saja ia melakukan perjalanan sendiri tanpa Ray, entah bagaimana yang terjadi. Mungkin, ia akan mati konyol, pikirannya jadi ngawur. “Nggak ada pilihan, Ray. Keduanya sama-sama sepi…” ucap Dirga. “Bukan perkara sepinya, Dir. Menurutmu, yang sudah pernah lewat jalan keduanya, manakah yang paling dekat menuju rumah saudaramu?” “Aku belum pernah mengukurnya.” “Aku bukan tanya itu!” Ray jadi sedikit kesal. “Kamu kan bisa merasakan… lamanya waktu ketika saat itu kamu pilih jalan yang kiri… atau kanan! Tanpa harus diukur tapi dirasakan durasinya!” “Ko pakai durasi segala kayak mau shooting film pendek.” Ray geleng-geleng kepala. “Terserahmu! Yang penting, jawab yang kutanyakan! Ini sudah malam, kita harus sudah tiba di rumah saudaramu!” “Kayaknya…. kalau lewat belokan kiri… nanti akan menemukan belokan kanan… nah di sana jalannya jelek, berkerikil… di situ pun tak ada rumah penduduk, hanya ada sebuah rumah besar, rumah paranormal! Rumahnya mengerikan kayak rumah Ki Joko Bodo!” “Aku nggak minta kamu cerita dan deskripsikan bentuk rumah paranormal itu!” seru Ray. “Ya, di jalanan itu agak rumit, nanti akan ketemu belokan lainnya lagi.” “Hemmm, berarti yang mendingan… belokan kanan, begitu?” tanya Ray minta keyakinan temannya. “Ya, Ray. Lewat belokan kanan saja!” putus Dirga akhirnya tak ragu lagi. “Oke, ayo kita jalan!” ucap Ray segera. “Ko nggak ada ojek lewat, ya? Coba kalau ada, kita bisa naik ojek, selain cepat tiba di rumah saudaraku, juga kita bisa terhindar dari ketakutan ini.” “Jangan banyak membayangkan sesuatu yang tak mungkin! Kan dari tadi juga, tak ada motor lewat! Jadi, kecil kemungkinan malam ini… tak akan ada ojek!” “Bukan membayangkan tapi menginginkan.” Ray mulai melangkahkan kaki. Dirga pun mengikuti dengan gegas khawatir ditinggal Ray yang langkahnya lebih cepat. Mereka berdua melintasi pemakaman. Dirga tak mau melirik ke samping kiri. Ia ngeri melihat nisan-nisan itu. Serasa hendak menerkamnya. Sementara Ray biasa saja. Langkahnya tetap santai tapi cepat tak memperlihatkan jika ia takut. Baginya, semua manusia itu akan mati dan akan dikubur serta raganya bersemayam di bawah nisan. Jadi, tak ada alasan dirinya takut kendati sebelumnya pernah merasakan takut. Namun, karena acap mengalami malam-malam mencekam, ia kian terbiasa dan berusaha tetap bertahan melawan rasa takut itu. Ia tak mau celaka dengan tindakannya sendiri karena tak sedikit orang celaka lantaran rasa takut yang dirancangnya sendiri. Ray belajar menjadi sosok yang benar-benar pemberani. Terlebih, ia menyadari dirinya laki-laki yang akan menjadi pelindung keluarga di hari kelak. Saat ia sudah berkeluarga, memiliki anak dan istri. Masa kepala keluarga penakut, pikirnya geli. Pemakaman Pasirparia terlewati hingga ujung. Dirga bernapas lega. Lalu, mereka akan melewati kebun-kebun yang lainnya. Pemukiman warga masih belum tampak. Lagipula, di kampung ini, jika pun menemukan rumah warga tak seperti di kota. Jarak dari satu rumah ke rumah lainnya cukup renggang. Terkadang dibatasi kebun lagi. Atau tanah kosong yang luas. “Katamu tadi, lewat sini, kita akan menemukan belokan?” tanya Ray. “Ya, belokan Pasirkolotok.” “Pasirkolotok?” Ray sedikit tertawa. Merasa lucu dengan nama daerah di sekitar sini. Pasirkolotok. Yang sebelumnya Pasirparia. “Bentar lagi, kita lewat situ.” “Kita masuk ke belokan Pasirkolotok?” “Nggak. Jalan terus. Nggak belok. Belokan itu menuju kampung lain.” “Kampung apa?” “Ya, kampung Pasirkolotok.” “Ouh…” Dirga mendesah. Keringat membasahi tengkuknya. Kakinya pegal sudah jauh berjalan semenjak dari belokan Cibeureum. Malah sedari motor Ray mogok dan didorong menuju pertigaan. “Kita belum menemukan rumah warga,” “Nanti setelah belokan Pasirkolotok.” “Akan ada rumah warga?” Ray meliriknya. “Ya… tapi sebelum menemukan rumah yang satu itu, atau rumah pertama yang akan kita lewati, kita harus melewati kebun bambu yang luas tapi gelap.” “Hemmm… kalau bilang yang jelas.” “Abis kebun bambu nanti... nah, baru menemukan rumah warga. Terus dari situ, kebun lagi, ada rumah lagi, dua apa tiga, ya lupa… setelah itu kebun lagi, baru rumah saudaraku,” jelas Dirga. Ray jadi malas menanggapi ucapan Dirga yang menurutnya, terkadang susah dimengerti. Berbelat-belit. Tiba dekat belokan Pasirkolotok, langkah Ray dan Dirga agak diperlambat. Matanya melihat seorang laki-laki separuh baya tengah duduk di bangku panjang yang ada di depan sebuah warung yang tertutup. Laki-laki itu tampak menundukkan wajahnya. Tak jelas bagaimana raut mukanya karena gelap. Kepalanya bertopi laken, seperti topi koboy-koboy dalam film laga. “Siapa dia, Dir?” Ray penasaran. “Nggak tahu.” “Maksudku… kira-kira lagi ngapain?” tanya Ray lagi. Ia menghentikan langkah sesaat. Begitu pun dengan Dirga. Lalu bersama-sama mengamati laki-laki itu. “Kayaknya… dia lagi menunggu saluran air karena di kampung sekitar sini, saluran air kurang lancar dan malam-malam terkadang orang-orang memeriksanya,” jelas Dirga. “Saluran air ke rumah-rumah?” “Bukan. Saluran air khusus untuk pengairan ke sawah-sawahnya.” “Ouh…” Ray baru tahu. Mereka berdua melangkahkan kaki lagi, lalu lewat warung itu. Tepat depan laki-laki itu. Ray berucap pelan, permisi numpang lewat. Sebagai bentuk etika. Namun, laki-laki itu tak menyahut. Kepalanya tetap menunduk. Ray berpikir, mungkin laki-laki itu tertidur makanya tak mendengar ucapan Ray. Ia pun mengajak Dirga melanjutkan perjalanan. Namun, entah kenapa, baru saja beberapa langkah menjauh dari belokan itu, Ray merasa penasaran. Langkahnya sesaat terhenti. Kepalanya menoleh. Dadanya sontak terperanjat. Laki-laki yang duduk di situ, sudah tak ada. Mungkinkah pergi? pikirnya meski hanya menduga-duga. Namun, ia tak begitu yakin karena tak mungkin laki-laki itu berlalu dalam hitungan detik. Terlalu cepat. Dirga merasakan ada sesuatu pada diri Ray. Ia pun berhenti. Lalu Ia pun menolehkan kepalanya. Matanya dengan saksama mengawasi bangku depan warung itu. Dan, ia tak melihat laki-laki tadi. Dadanya berdegup tak karuan. Rasa takut langsung menggulungnya. Dengan kecepatan ekstra, kaki-kakinya melangkah cepat. Tak memedulikan Ray yang masih berjalan dengan normal di belakangnya. Ia tinggalkan Ray begitu saja. Ray merasa heran dengan tingkah Dirga yang mendadak aneh. Lalu Ray memanggilnya. Dirga tak menyahut. Kakinya terus melangkah cepat. Kepalanya pun enggan menoleh. Ray mengejarnya hingga akhirnya mereka berjalan beriringan setelah dirasa jauh dari belokan Pasirkolotok. “Alhamdulillah, kita sudah sampai depan rumah pertama di kampung ini,” ucap Dirga seraya mengatur napasnya yang sebelumnya terasa sesak lantaran keletihan akibat berjalan cepat. Di depan rumah bercat putih itu, mereka berdua berhenti. Lumayan terang karena sinar lampu neon yang tergantung di atap beranda yang tampak nyaman. “Alhamdulillah…” ucap Ray juga. Tubuhnya berkeringat dingin. Ia melepas letih. Merasakan angin yang ditiupkan dari daun-daun pepohonan di sekitar situ. Terasa segar. Tubuh yang sebelumnya berkeringat, terasa jadi sejuk. “Ray, laki-laki tadi…” ucapan Dirga menggantung. “Yang duduk di bangku itu?” Ray menatapnya. “Ya, depan warung yang tutup itu,” jawab Dirga sembari menganggukkan kepalanya. Ray tak berucap lagi. “Tiba-tiba menghilang,” ucap Dirga pelan. “Mungkin dia langsung beranjak ketika kita habis melintasinya. Tak jauh dari waktu kita lewat.” “Impossible!” cetus Dirga. “Bisa saja, Dir... kamu jangan banyak berhalusinasi. Ini hampir tengah malam. Nggak baik bahas yang aneh-aneh. Pamali. Apalagi kita lagi di kampung orang. Sepiiii… lagi.” “Belum tengah malam.” “Hampiiiir!” “Ray… apa kamu pikir, dia itu manusia?” “Ya, dia manusia!” ucap Ray kendati ia membenarkan dugaan Dirga. Namun, ia tak mau memperburuk suasana hingga menjadikan malam kian mencekam. Ia pun sudah mengabaikan kapan akan segara kembali ke rumahnya di pusat kecamatan. Tragedi ban motor kempes membuatnya harus tetap menemani Dirga berjalan jauh, melintasi kebun demi kebun, pemakaman umum yang angker, belokan mengerikan, dan melihat laki-laki misterius tadi. “Dia bukan manusia, Ray! Aku yakin!” ucap Dirga bersikukuh dengan dugaannya. Ray geleng-geleng kepala. Ia tak mau menanggapinya. “Waktu kamu lewat dan bilang permisi padanya, dia jawab tidak?” Dirga menatap Ray seolah menyudutkan. Ray menggeleng. “Tuh, kan!” “Kupikir, dia tengah tertidur… atau terkantuk-kantuk! Jadi… dia nggak dengar!” Dirga menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Ah, kupikir… tidak begitu. Dia itu bukan manusia. Dia hantu, Ray! Dia hantu yang menjelma menjadi laki-laki yang duduk di bangku depan warung… dengan raut muka tak jelas… dengan kepala bertopi koboy! Semua jelas… dia itu hantu! Siluman! Atau sejenis itu! Pokoknya, makhluk selain manusia! Bangsa jin!” “Dirgaaaa!” suara Ray dipelankan. “Apaan? Emang benar kan?” “Sudah, percuma kita berdebat yang tak berguna di tempat sepi begini! Ayo, kita percepat menuju rumah saudaramu! Aku tak sabar ingin melepas lelah di sana! Dan ketemu segelas minuman putih yang bisa kuteguk dengan nikmat!” tubuh Ray bergerak. Lalu berjalan cepat. Dirga mendecak. Diikutinya langkah kaki Ray. Hingga akhirnya, mereka berdua pun tiba depan sebuah rumah berpapan. Dirga mengetuk pintu rumah itu. Tak berapa lama, terdengar suara kaki mendekat dari dalam. Pintu terkuak. Perempuan separuh baya mengenakan baju daster panjang. Tersenyum melihat Dirga. Lalu memersilakan Dirga dan Ray masuk. Suaminya keluar kamar. Mereka pasangan yang ramah. Ray pun langsung simpati. Ray disuguhi segelas kopi hitam yang kental. Juga ubi rebus dan singkong rebus. Namun, Ray ingin minum air putih terlebih dahulu. Dirga menyeruput teh manis. Usai saudaranya menyerahkan uang untuk ibunya Dirga, Ray pun berbisik pada Dirga agar bersiap-siap untuk pulang. Namun, pemilik rumah melarangnya. Terlebih setelah mengetahui motor Ray mogok dan disimpan di belakang warung. Ray berpikir sejenak. Ia pun tak yakin akan bisa pulang dengan motornya karena selain sudah sangat malam, juga bengkel motor tetap tak akan ada yang mau buka. “Tadinya aku mau kita naik angkot dari belokan Cibeureum, biar besok sore kita ke tempat motorku disimpan,” uca Ray meski ragu dengan keinginannya. Terbayang jika tiba-tiba motor tak ada. Marak curanmor sampai ke kampung-kampung. “Ray, mana ada angkot malam-malam gini sih,” Dirga meliriknya. “Mamang bisa saja mengantarkan kalian dengan motor ke belokan Cibeureum… tapi benar kata Dirga, tak akan ada angkot. Kalian akan sengsara. Jadi, sebaiknya menginap saja di sini…” ucap paman Dirga dengan senyum simpatik. “Mamang benar, Ray…” ucap Dirga. “Tapi Mama pasti khawatir,” Ray menatap Dirga. “Kan bisa ditelepon dulu,” ucap pamannya Dirga. Ray pun akhirnya mengiyakan setelah berpikir bolak-balik. Ia menelepon ibunya. Beres. Begitu pun dengan Dirga, menelepon ayahnya. “Selepas solat Subuh, Mamang antar kalian ke belokan Cibeureum. Mamang kenal pemilik bengkel di situ, nanti motor Ray… Mamang bawa dulu ke bengkel, kalau cuma tambal ban… nggak akan lama. Jadi, kalian bisa cepat pulang ke rumah. Dan tetap bisa sekolah tanpa kesiangan,” jelas pamannya Dirga dengan panjang lebar. “Lagian… aku nggak mau lewat pemakaman umum kalau sekarang kita maksain pulang.” “Hemmm, kan naik motor Mamangmu,” Ray membalas bisikan Dirga ketika pamannya Dirga itu pergi ke dapur untuk mengambil kacang rebus. “Tetap saja, aku nggak mau. Tatuuuuut… bisa-bisa ketemu lagi laki-laki misterius di depan warung kosong di belokan Pasirkolotok, hiiiiiii…” ucap Dirga seraya menahan rasa takut yang mulai menjalarinya lagi, teringat pengalaman sebelum tiba di rumah saudaranya.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN