Tragedi di Pasar Selasa

1978 Kata
Tragedi di Pasar Selasa “ADA temanmu di luar,” ucap Ratna pada Ray yang baru saja selesai makan malam bersama kedua adiknya. Tangan Ray mengambil gelas berisi air putih hangat, lalu meneguknya hingga tandas. Mengalirkan makanan yang sudah dikunyahnya. Lalu kembali gelas itu ditaruh di samping piring kotor bekas makannya barusan. Kedua adiknya belum selesai makan. Malah menambah nasi. Ayahnya sudah tiba di rumah beberapa menit tapi belum mau makan. Dan Ratna pun, mau makan bersama suaminya. Hingga acara makan malam hanya Ray dan kedua adiknya. Tanpa kedua orang tuanya. “Siapa, Ma?” tanya Ray sembari mengerutkan kening heran. “Fian?” Ratna menggeleng. “Bukan. Dirga.” Ray mendesah. Ada apa tiba-tiba Dirga datang ke rumahnya di malam Senin? pikirnya. Tak seperti biasanya. Dirga pun tak ada menelepon semenjak siang hingga Ray sempat bertanya-tanya dengan kedatangan Dirga yang tiba-tiba. Padahal tadi hari Minggu, libur sekolah. Dan hanya berkegiatan di rumah saja. “Ayo, temui dulu temanmu. Kasihan dia menunggumu dari tadi.” “Kenapa nggak Mama suruh masuk?” tanya Ray. “Mama bilang kamu lagi makan dan Mama juga sempat tawarin dia makan malam bersamamu. Namun, dia menolak dan nggak mau masuk,” jelas Ratna. “Kamu ko malah diam? Ayo ke depan dan suruh temanmu itu masuk!” Tubuh Ray beranjak dari kursi makan. Lalu melangkahkan kaki ke beranda. Dilihatnya Dirga tengah duduk di kursi rotan sendirian. Ray menepuk bahu Dirga dari belakang dengan pelan. “Motormu disimpan di mana?” “Aku nggak bawa motor. Dari rumah bareng tetangga yang kebetulan mau ke arah sini,” jawab Dirga sembari menoleh pada Ray. “Kamu sengaja ke sini?” Ray menatapnya. Dirga mengangguk. “Ya, Ray.” “Ko nggak menelepon dulu?” “Pulsaku habis. Jadi nggak bisa menelepon. Terus internet lagi abis paket kuota juga, jadinya nggak bisa juga kirim wapri sama kamu atau yang lain,” jelas Dirga. “Masuk, yu?” ajak Ray. Namun, Dirga menolak. Ray heran. Ia pun duduk di samping Dirga. Di kursi rotan satunya lagi. “Aku disuruh ayahku ke Panarubun, Ray,” ucap Dirga. “Panaruban itu di mana?” Ray heran. “Aku baru dengar nama tempat itu.” “Sebuah kampung, masih satu kecamatan dengan desa kita. Cuma memang jauh dari pusat keramaian. Aku juga baru tiga ke sana. Di situ ada saudara ayahku. Nah, makanya aku ke sini... ingin minta kamu mengantarku ke sana.” “Ke Panaruban itu?” tanya Ray. “Ya... aku tahu letaknya, ko. Kamu hanya menemaniku. Bukan petunjuk jalan. Aku nggak ada motor, Ray. Dipakai ayahku mengojek. Motor ayahku di bengkel jadi otomatis dia jalan pakai motorku. Ya, aku pinjamin, ketimbang dia nggak bisa narik muatan, kan nggak bakalan dapat uang,” jelas Dirga. Ray merasa terenyuh hatinya saban Dirga yang terdengar berbagi keluh. Kehidupan keluarganya dari segi ekonomi memang acap mengalami kesulitan. “Hemmm, kapan aku harus mengantar atau lebih tepatnya... menemanimu?” tanya Ray. “Sekarang, Ray.” “Malam ini?” “Iya, Ray,” tegas Dirga. “Ayahku nyuruh aku ambil uang di saudara. Saudara Ayah pernah pinjam uang lima ratus ribu... tiga bulan lalu, waktu ibuku dapat arisan dua juta rupiah. Ya, ibuku tak tega sama saudara ayahku yang ke rumah untuk pinjam uang buat bayar sekolah anaknya. Karena Ibu merasakan juga ketika lagi mendapat kesulitan membayar uang sekolahku.” “Kalau kamu nagih utang saudaramu,.. kamu yakin, saudaramu itu akan membayar?” Ray ingin meyakinkan Dirga tersebab khawatir jika jauh-jauh menyusul ke kampung itu. Namun, tak berhasil mendapat uang. Yang ada, malah sebaliknya. Capai. Terlebih malam. Itu yang terpikir di benaknya. “Tadi pagi, ibuku sempat menelepon saudara Ayah dan dia janji mau membayarnya karena uangnya sudah ada. Tapi dia tak bisa mengantarkan uang ke rumahku karena tak ada motor. Naik ojek dan angkutan umum ongkosnya mahal.” “Kenapa ibumu tak minta saudara ayahmu itu transfer saja? Biar praktis!” Ray memberi solusi. Dirga mendecak. “Di kampung itu jarang yang punya nomor rekening bank apalagi ATM. Gimana Ray, takut keburu malam... bisa ‘kan?” Ray menghela napas. Ia pun bingung karena besok Senin dan hari pertama di minggu ini. Ia tak mau sampai kesiangan gara-gara terlambat pulang atau kemalaman jika mengantar Dirga. Namun, bila ia tak menemani Dirga, siapa lagi yang akan menemaninya? Dani tak mungkin mau lantaran rumahnya agak jauh dan Dani pun tengah tak berada di rumah neneknya. Fian beda alasan. Ia tak punya motor. Akhirnya, Ray menemui dulu kedua orangtuanya dan mengatakan mengenai keadaan Dirga yang meminta tolong. Ayah dan ibunya Ray menyarankan Ray mengantar Dirga. Sebagai bentuk kepedulian seorang teman baik. “Papa tahu daerah itu, kalau naik motor... dan lancar... cepat, satu jam bisa, ko Ray. Asal jalannya bagus. Tapi kalau jalanannya jelek, bisa dua jam. Papa pernah ke situ mengantar teman dari Bandung,” ucap ayahnya Ray. “Teman yang mana?” Ratna melirik suaminya. “Yang orang Ledeng itu. Pak Yudi.” “Ngapain dia ke daerah itu?” “Cari orang pintar, Ma.” “Hari gini masih ada juga yang percaya keberadaan orang pintar,” Ratna berkomentar begitu. “Banyak yang masih pecaya, ko... Pa. Buktinya, Wak Dulah banyak yang mencari,” jelas ayahnya Ray sembari sedikit tertawa. “Biar saja, Ma. Hak orang mau percaya atau tidak... yang penting kita, keluarga kita... jangan sampai terpengaruh dan ingin menggantungkan harapan dengan bertanya-tanya pada orang pintar.” “Baiklah, Pa... Ma... Ray pamit dulu, ya?” Ray beranjak. Lalu masuk kamar. Berganti pakaian. Atasan kaos hitam denga bawahan celana jins hitam. Sweeter abu-abu lengkap penutup kepalanya, segera dilapiskan pada atasan kaos hitam.Tak lupa, gawainya dimasukkan ke dalam saku sweeter dan ditutup ristluiting sakunya dengan rapat. Menghindari kalau-kalau jatuh di jalan lantaran beberapa teman sekelasnya pernah mengalami jatuh gawai dari saku jaket ketika dalam perjalanan naik motor. Pukul dua puluh tepat, usai solat Isya berjamaah dengan Dirga terlebih dahulu, motor Ray yang keluar dari pekarangan rumahnya. Ketika lewat alun-alun, Ray memperlambat motornya. “Dir, kamu mau makan malam dulu?” “Udah, Ray. Abis magrib, sebelum pergi ke rumahmu, aku makan dulu.” “Atau mau aku belikan martabak manis yang bertabur kelapa parut atau keju?” Dirga menggeleng. “Nggak usah, Ray. Aku udah kenyang.” “Oke kalau begitu, tapi kalau di jalan kamu lapar atau ingin makanan apa... bilang ya, biar kita cari makanan dulu mumpung masih banyak yang jualan kalau sebelum jam sembilan.” “Siap.” “Jalan lagi, ya?” Ray melajukan lagi motornya. Ke arah barat. Menembus gelap. Lalu-lalang kendaraan sepanjang jalan. Hingga tiba di belokan Rancapanggung, jalanan mulai sepi. Sedikit kendaraan yang berseliweran. Kampung yang dilintasinya pun sepi. Terkadang melintasi kebun dan sawah. Sudah jarang pemukiman. “Ray, bentar lagi lewat Pasar Selasa.” “Kenapa gitu? Kamu mau kita berhenti dulu dan cari makanan?” tanya Ray seraya mulai memperlambat laju motornya agar bisa berbincang dengan Dirga. Udara dingin menyelusup tubuh. Angin meniup wajah mereka. Berkolaborasi dengan debu jalanan yang tak tampak lantaran terhalang gelap. “Bukaaaan...” “Lalu?” “Masa kamu nggak dengar?” “Dengar apa?” “Beberapa hari lalu, di Pasar Selasa ada perisitiwa yang menegangkan.” “Apa tuh? Aku ketinggalan info nih.” “Ada perempuan tua, pemilik toko mebel yang paling besar dan laris di situ, tokonya ada dua di pinggir jalan besar dekat pasar...” “Terus?” “Pada tengah malam, ada yang menggedor pintu rumahnya.” “Hantu?” tebak Ray. “Bukan.” “Lalu siapa?” “Komplotan maling!” “Wiiihh, ngeri banget. Si nenek tengah sendirian di rumahnya itu?” “Ya, padahal tak biasanya dia sendirian. Keluarganya tidur di rumah satunya lagi yang besar. Si nenek tidur di rumah yang bersatu dengan salah satu toko mebelnya. Nah, ketika si nenek membuka pintu, para maling itu masuk dan mengancam si nenek agar tak berteriak. Si nenek dipaksa menyerahkan uang dan emas yang sangat banyak. Namun, si nenek sempat berontak. Malah, salah satu maling yang membekapnya, kan pakai topeng seperti dalam film-film itu... sejenis kupluk yang hanya kelihatan matanya.” “Tegang bangeeet. Si nenek bisa juga melawan, ya berarti dia tipe perempuan tua yang tangguh!” komentar Ray. Motor tetap melaju pelan demi mengahalau sepi. “Nah, pas penutup wajah salah satu si maling kebuka sama si nenek... si nenek kaget lantaran dia mengenali wajah itu yang tak lain tetangganya sendiri!” “Teruuuusss?” Ray begitu penasaran dengan cerita Dirga. Ia memang tak sempat mendengar berita itu. Bahkan, ibunya pun tak cerita. Sementara Dirga tahu lantaran, saudaranya tinggal sekitar Panaruban. Tentu saja, berita itu cepat hinggap padanya. “Ketika si maling sadar jika si nenek tahu siapa dirinya, dia langsung menghantamkan kapak sama si nenek itu dan...” “Ya Allah, Dirga! Maling itu bawa kapak juga, ya! Kamu cerita ko pinter bikin tubuhku gemetaran gini!” “Hati-hati bawa motornya, Ray!” Dirga mengingatkan. “Terus apa yang terjadi? Si nenek selamatkah?” Rak tak menghiraukan ucapan Dirga. “Sayangnya, si nenek tewas.” “Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un,” ucap Ray lemas. Tak bisa dibayangkan, begitu ngerinya kejadian itu dan tentu menghebohkan warga sekitarnya. Kata Dirga, masuk berita di televisi. “Syukurlah jika pelakunya sudah ditangkap,” Ray memuji syukur pada Tuhan. Kejahatan harus mendapat balasan dan tak harus menunggu di akhirat, pikirnya. Keheningan mewarnai mereka ketika motor hendak melintasi Pasar Selasa yang sangat sepi. Tubuh Dirga sedikit gemetaran. Kuduknya pun merinding seketika. Ray menancap gas. Motor melaju dalam kecepatan yang tinggi. Tak ada satu pun kendaraan lain baik mobil maupun motor yang berpapasan atau jalan searah. Di sekitar pasar tadi, tak ada seorang pun manusia yang berani menampakkan diri di luar. Sepertinya, mereka masih merasakan ketakutan pasca kejadian pembunuhan sadis itu. Beberapa menit setelah meninggalkan kawasan pasar, mendadak motor Ray lamban melaju. Hingga akhirnya tak dapat berjalan. Ray meminta Dirga turun. Ray memeriksa motor dengan bantuan penerangan dari lampu senter gawai yang disorotkan oleh Dirga. Setelah tahu apa yang menyebabkan motornya mogok, Ray mengeluh pelan. Tak ada bengkel sekitar sana. “Ada bengkel sebelum belokan Cibeureum, Ray. Biasanya buka sampai malam, itu pun cerita dari Ayah. Tapi sekarang entah buka atau nggak,” Dirga ragu teringat kasus pembunuhan yang sempat menggegerkan warga dan bukan tak mungkin bengkel yang hendak ditujunya itu pun tak buka lantaran masih didekap rasa takut. Benar saja, ketika mereka berdua sudah lelah mendorong motor, pintu bengkel itu tertutup rapat. Mereka pun segan hendak mengetuknya. Akhirnya, Ray pasrah. Motor diamankan di belakang sebuah warung kecil yang tutup, dekat rerimbunan pohon. Ia percaya tak akan ada orang yang tahu motornya tersimpan di situ. “Entah jam berapa kita sampai di rumah saudaramu, Dir,” Ray resah sembari melihat jam di gawainya. Tak ada ojek satu pun padahal menurut cerita ayahnya Dirga, di belokan Cibeureum suka banyak ojeg yang berjejer hingga malam hari lantaran ongkos ojeg di malam hari bisa berlipat-lipat. Namun, dampak kejadian tragis di pasar Selasa, membuat para pengemudi ojek urung keluar rumah mencari rezeki. Mereka rela tak mendapat uang ketimbang melewati malam-malam yang mencekam. “Berarti kita terpaksa harus berjalan kaki,” ucap Dirga. Mereka sudah memasuki belokan Cibeureum. Ray mengiyakan. Keduanya melangkahkan kaki menuju timur. Melintasi beberapa rumah besar dan bagus. Konon, rumah-rumah yang bagus itu hasil dari bekerja di negeri jiran sebagai pembantu rumah tangga. Rumah-rumah itu habis terlintasi oleh Ray dan Dirga. Lalu mereka melintasi kebun singkong yang luas. Kemudian melintasi bangunan gedung sekolah dasar yang sepi. Bulu kuduk Dirga merinding. Ia sudah membayangkan perjalanan selanjutnya yang akan melintasi apa saja. Tersebab ia tahu. Meski sebelumnya, ia biasa melintasi dengan mengendarai motor juga pada siang hari. Bukan seperti sekarang. Berjalan kaki. Tanpa motor. Malam malam. Beberapa jam lagi akan menuju tengah malam. Dirga merasakan kengerian yang sangat ketika kebun demi kebun yang dilintasi. Hingga keduanya berhenti sejenak di sebuah pertigaan. Di depan matanya memandang, terhampar sebuah pemakaman umum yang sangat besar.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN