Di Kamar Tengah

2233 Kata
Di Kamar Tengah GAWAI Dani berdering. Telepon dari Bunda Dewi. Ia baru saja hendak merebahkan tubuhnya. Diambil gawainya yang tergeletak di dekat laptop barunya. Terdengar suara Bunda Dewi memecah sunyi. “Dani, besok bisa ke rumah Bunda Dewi?” tanya Bunda Dewi dengan ramah. “Jam berapa, Bun? Besok pulang sekolah pukul tiga.” “Ya, pulang sekolahmu saja. Sama Ray, ya?” “Baik, Bun. Ray sudah dikabarin?” “Belum, sama kamu saja, ya?” “Ya, Bun… eh, Bun, ada apa, ya?” Dani balik bertanya. Merasa penasaran karena Bunda Dewi tiba-tiba menghubunginya lagi. Dani sudah tak menjadi pelatih marching band di sekolah dasar dimana Bunda Dewi menjadi guru dan wakil kepala sekolah di sana. Tersebab, sekolah itu menurut Bunda Dewi, hanya perlu pelatih marching band jika hendak merayakan hari-hari besar nasional saja atau ketika menghadapi festival. Maka dari itu, ia pun sudah beberapa bulan tak komunikasi dengan Bunda Dewi. Bahkan, berkunjung ke sekolah itu pun tak pernah lagi meski berada dekat sekolahnya. Berdampingan. Terlebih, Dani teringat kejadian malam-malam saat menginap di rumah dinas sekolah dasar itu. Pengalaman malam mencekam yang tak bisa dilupakan begitu saja. “Ada deh, hehehe…” Bunda Dewi malah tertawa kecil. “Pokoknya, datang dulu ke rumah Bunda, ya… jangan lupa besok sepulang sekolah. Kalau bisa, bawa salin pakaian.” “Lho, untuk apa, Bun?” Dani heran. “Kamu dan Ray atau bisa juga ajak teman-temanmu itu, menginap di rumah Bunda.” “Menginap? Dalam rangka apa, Bun?” “Nggak usah banyak tanya dulu, Dan!” “Oke, Bun! Sama teman-teman Dani… boleh ya diajak?” Dani ingin meyakinkan keseriusan ucapan Bunda Dewi. “Iya! Ajak saja!” ucap Bunda Dewi tegas. “Besok kan hari Kamis. Jadi, pas kalau kalian menginap di rumah Bunda Dewi… tepat malam Jumat.” “Hah?” Dani mendadak kaget. Baru sadar, jika besok itu malam Jumat. Terbayang posisi rumah Bunda Dewi yang konon berada di lingkungan yang sepi. Banyak rumor masuk ke telinga mengenai rumah-rumah di sekitar itu. Terutama rumah-rumah tak berpenghuni. Ray pun sempat cerita meski tak detail. “Ko kedengarannya kayak yang kaget?” tanya Bunda Dewi. “Kenapa, Dan?” “Mmmm… nggak apa-apa, Bun,” Dani bingung. Ia pun tak mungkin menolak keinginan perempuan separuh baya yang sangat baik padanya. Pernah memberinya honor ketika dirinya menjadi pelatih di sekolah dasar itu. Meski, uang itu bukan uang pribadi Bunda Dewi melainkan uang dari sekolah, tapi Dani tetap berterimakasih pada Bunda Dewi. Lantaran, karena Bunda Dewi, ia sempat menjadi pelatih marching band di sana sekaligus bisa mendapat uang honor selama beberapa bulan. “Kalau begitu, sudah dulu, ya Bunda teleponnya. Besok, Bunda tunggu. Bunda akan siapin makanan yang enak buatmu, Ray juga teman-temanmu,” ucap Bunda Dewi lalu terdengar menutup gawainya setelah mengucapkan selamat tidur pada Dani. Dani termangu sesaat di atas tempat tidur. Besok, ia akan menginap di rumah Bunda Dewi. Ya, harus. Apapun tujuan Bunda Dewi, yang pasti perempuan separuh baya itu telah berbaik hati padanya, mengundangnya bahkan sekaligus mengajak teman-temannya. Terbayang Fian dan Dirga akan menyambut dengan suka cita ajakannya. Beberapa menit kemudian, Dani pun memejamkan mata. Lalu tertidur dengan pulas. *** Sepulang sekolah, Dani, Ray, Dirga, dan Fian ikut kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, membimbing adik kelasnya meski bukan hari Sabtu. Selesai pukul lima lebih, hingga mereka berempat baru bisa meluncur ke rumah Bunda Dewi ketika hari hampir gelap. Begitu kedua motor memasuki tanah seluas lapangan, milik keluarga suami Bunda Dewi, suara burung gagak hitam menyambut mereka dengan suaranya yang membuat bulu kuduk siapa saja merinding. Kepala Fian menoleh. Pada rumah depan. Tampak gelap. Tanpa cahaya lampu sedikit pun. Mata Dani mengarah pada rumah sebelah timur. Besar tapi tampak angker. Gelap. Sementara tatapan Dirga mengamati rumah Bunda Dewi. Di teras rumahnya, tak begitu gelap tapi tidak terang. Lampunya redup. Ia merasakan aura lain. Dan suara burung gagak hitam itu kembali terdengar. Bahkan saling bersahutan dengan sesamanya. Hingga suara-suara itu berbaur lebih menyerupai orkestra yang menyeramkan. Ray membuka pintu pagar rumah Bunda Dewi yang tak terkunci. Mereka berempat beriringan berjalan di teras rumah yang memanjang ke timur. Lalu berhenti depan pintu depan. Tangan Ray memijit bel. Tak berapa lama, terdengar suara langkah mendekat. Bunda Dewi tersenyum dan tampak senang dengan kedatangan Ray dan ketiga temannya. “Ayo masuk!” ucapnya ramah. Lalu dibukanya pintu lebar-lebar. Ray dan ketiga temannya melepas sepatunya. Lalu mereka masuk dan duduk di sofa. “Kalian masih berseragam? Berarti… kalian belum pada mandi, ya?” ucap Bunda Dewi. Ia berdiri dekat mereka sembari mengamati pakaian yang melekat di tubuh empat remaja itu. Terbayang seragam putih abu-abu yang berkeringat seharian di sekolahnya. “Yaaa, kan dari sekolah langsung ke sini,” ucap Ray. “Tadi kami mau mandi dulu di sekolah, tapiiii…” Fian melirik Dirga. “Tapi kenapa?” tanya Bunda Dewi. “Mmmm…” Fian tak berani mengatakan yang sebenarnya. “Hemmmm… pasti, karena kamu takut, kan?” Ray meliriknya. “Siapa yang berniat mandi di sekolah? Kamu kali, ya? Aku nggak merasa kamu ajak.” “Aku juga…” timpal Dani. “Kalau aku diajak sih, tapi yaaa… hehehe…” Dirga melirik Dani. “Takut juga kalau sore-sore mandi di sekolah.” “Takut apa?” Bunda Dewi setengah mencandainya. Secara—ia suka sekali jika ngobrol dengan remaja sebaya Ray. Dirga balas tersenyum simpul. “Takut ada yang mengintipnya, Bun,” Dani yang menjawabnya. “Suka ada yang mengintip gitu? Kan sudah pada pulang kalau sore di sekolah,” Bunda Dewi menatap Dani. “Yang mengintipnya bukan anak sekolahan, Bun… tapi…” “Tapi siapa?” desak Bunda Dewi pada Dani. “Pokoknya bukan anak sekolahan,” jelas Dani. “Bukan manusia pula.” Ray mendecak. “Ini kalian ke sini… mau bahas yang aneh-aneh?” Bunda Dewi tersenyum bijak. “Baiklah, kalau menurut Bunda… biar tubuh kalian segar dan bisa nyenyak tidur, gimana kalau mandi dulu di sini? Terus… baru solat Magrib berjamaah. Azan magrib kan baru beberapa menit saja, pasti keburu. Ayo!” Ray mengiyakan. Diikuti teman-temannya. Satu per satu, mereka giliran mandi. Setelah itu, mengganti pakaian karena mereka sengaja membawa salin. Semenjak pagi sebelum tiba di sekolah, Dani sudah menelepon ketiga temannya itu dan mengingatkan agar membawa salin karena mereka semua diundang Bunda Dewi untuk menginap di rumahnya. Tentu saja, Dirga dan Fian girang. Apalagi tahu kalau di rumah Bunda Dewi suka banyak makanan, begitu menurut cerita Ray tempo hari. “Sekarang, kalian makan malam…” Bunda Dewi mengajak ke ruang makan. “Sama Bunda, dong,” ucap Dani. “Ya, sama Bunda,” jawab Bunda Dewi. “Ayo Dirga, Fian… jangan malu-malu, anggap di rumah sendiri!” “Kalau Dirga dan Fian nomor satu, Bun…. Untuk urusan makanan gratis, hihi…” ucap Dani diakhiri tawa. Fian cuek saja. Begitu pun dengan Dirga. Mereka berdua langsung mengambil tempat duduk berdampingan. Makanan di meja tergelar. Dirga dan Fian sampai bingung hendak memilih yang mana dulu. “Bun, ini makanan ko banyak begini?” Ray heran. “Bunda masak? Tapi Ray nggak percaya deh.” Bunda Dewi tertawa renyah. “Nggak percaya Bunda Dewi jago masak ‘kan? Karena… anak dari nenekmu… hanya ibumu yang jago masak.” “Bukan begitu!” sergah Ray. “Tapi karena makanannya terlalu banyak jadi Ray nggak percaya Bunda masak sebanyak ini…” “Ya, Ray. Kebetulan, ada orang tua murid hajatan tadi siang. Anaknya kan Bunda wali kelasnya. Siang tadi juga Bunda dan guru-guru ke sana. Prasmanan. Nah, seblum kalian datang, sekitar Asar, ada salah satu keluarganya ke sini naik motor dan bawain makanan ini.” “Wiiih, bener-bener rezeki nomplok!” cetus Fian. “Tadinya memang Bunda mengundang kalian… tapi rencananya Bunda mau beli makanan jadi saja dari rumah makan Malela, tapi alhamdulillah… malah dapat makanan gratis. Ini benar-benar rezeki yang tak terduga. Yaaa… rezeki kalian juga, ‘kan? Besok Bunda kasih buat oleh-oleh kalian ke rumah kalian, ya?” “Alhamdulillah,” ucap Ray dan teman-temannya hampir bersamaan. Lalu mereka pun menikmati makan malam yang lezat serta banyak pilihan. Daging sapi bistik, ayam merah, pepes ikan, stik ayam, acar campur sosis dan baso, kentang balado, ikan asin, lalap, dan sambal. Semua hangat karena Bunda Dewi menghangatkan terlebih dahulu. Lidah Ray dan teman-temannya serasa dimanja dan mereka pun merasa diperlakukan khusus oleh Bunda Dewi. “Makasih banget atas makan malamnya yang nikmat, Bun, alhamdulillah…” ucap Dani. “Ya, Bunda. Makasih, ya?” Dirga pun berucap. Perutnya terasa kenyang. “Semoga Bunda dilimpahi rezeki yang banyak, amiiiin…” Fian tak mau kalah. “Semoga Bunda senantiasa sehat…” Ray menatap perempuan yang menjadi kakak ibunya. “Amiiin ya rabbal’alamiiin… terima kasih, kalian semua juga semoga dilimpahi banyak rezeki, diberi kesehatan, menjadi remaja yang berguna, pintar, cerdas, soleh dan tercapai apa yang kalian cita-citakan. Sebentar lagi ujian akhir, kaaaan?” Bunda Dewi menatap satu per satu pada remaja yang tengah bersamanya. Mereka pun kembali ke ruangan lain. Kini, berkumpul di ruang keluarga. “Bunda senang kalian bersedia datang ke sini dan mau menginap. Jujur saja, Bunda kepikiran dari kemarin… ingin melewati malam Jumat ini tidak sendirian. Ingin kalian temani. Ya, kebetulan juga Bunda ada perlu sama Dani. Kalau bicara di telepon, suka kurang jelas. Kalau Bunda undang Dani ke sekolah, tak akan santai ngobrolnya. Jadi, mendingan di sini saja… bisa santai berbincang,” ucap Bunda Dewi. Ray menatap layar televisi. Menonton acara yang mengarah pada pengalaman mistis seseorang. “Ray… pindahin dong salurannya,” bisik Fian yang duduk di dekatnya. “Malam Jumat lho sekarang…” “Siapa bilang sekarang malam Minggu?” Ray melirik sepintas. “Gini lho, Dan…” Bunda Dewi menatap Dani. “Sebulan lagi ada kegiatan festival marching band di Padalarang. Rencananya, sekolah Bunda mau mengirimkan tim, anak-anak kelas lima saja, karena kalau kelas enam mereka tengah sibuk mempersiapkan ujian akhir.” “Oh ya, Bun… Dani mau jadi pelatih lagi?” Dani mendadak senang meski dugaannya belum dijelaskan oleh Bunda Dewi. “Iya, Dan. Gimana... apa kamu sanggup? Soalnya, kamu pun pasti lagi banyak kegiatan… kamu kan mau ujian akhir juga…” “Bunda yang baik, Dani kan bisa bagi waktu,” Dani tersenyum. Melintas di benaknya, uang honor yang akan diterimanya dari Bunda Dewi jika ia melatih lagi anak-sanak sekolah dasar itu. Apalagi jika sampai juara atau minimalnya masuk tiga besar, Bunda Dewi akan memberinya uang tambahan sebagai bentuk kepuasan karena Dani telah melatih hingga tim sekolah dasar itu jadi juara. Dani pernah merasakan itu ketika tempo hari murid-murid Bunda Dewi berhasil menjadi juara suatu festival marcing band untuk beragam katagori. “Baiklah, kalau setuju… berarti deal, ya Dan?” “Deal, Bund. Kapan mulai latihannya?” Dani tampak antusias sekali. “Kalau bisa minggu ini, Dan. Tapi besok hari Jumat, ya? Kalau mulai lusa gimana? Sabtu kan kamu nggak ada kegiatan ke sekolahmu?” “Hemmm, besok juga bisa ko, Bun. Kalu Jumat kan pulangnya lebih cepat. Abis solat Jumat, belajar satu mapel, langsung pulang. Jadi Dani bisa langsung ke sekolah Bunda.” “Sip, kalau begitu,” Bunda Dewi tersenyum senang. Lalu melirik Ray. “Ray… bisa kan temanin Dani?” “Siap, Bun,” jawab Ray tanpa mengalihkan tatapannya dari layar kaca. “Mmmmm… Bun, kalau Fian dan Dirga, nggak dibolehin menemani Dani melatih, ya?” ucap Fian malu-malu. “Ouh, boleh banget, ko…” Bunda Dewi tersenyum pada Fian. “Malah, kalau mau bantu melatih, ya itu lebih bagus.” Pukul sebelas, mereka masuk ke kamar tengah. Kamarnya luas. Ada dua tempat tidur ukuran sedang. Kamar itu lama tak terpakai. Jikapun anak-anak Bunda Dewi berkunjung ke rumah ini, tapi tidak tidur di kamar tengah. Aura mistis menerpa perasaan Ray dan ketiga temannya. Lampu kamar dimatikan. Ray tidur bersama Dani. Dirga bersama Fian. Di antara kedua tempat tidur dibatasi meja kecil dan lemari pakaian yang menempel di dinding. Kedua kasur dilapisi seprei berwarna putih. Bantal dan gulingnya pun bersarung putih. Terkecuali selimut yang berwarna cokelat. “Ko perasaanku lain di kamar ini,” ucap Dirga pada Fian. “Sama, Dir. Aku pun merasakan hawa yang berbeda.” “Jangan-jangan…” “Ya, jangan-jangan…” “Tidur, yu? Takut besok kesiangan.” “Yu, Ray dan Dani pun kayaknya sudah tidur. Nggak terdengar suaranya,” kata Fian lalu memejamkan matanya. Dani mendengar perbincangan kedua temannya itu meski serupa bisikan. Ia belum bisa memejamkan mata. Rasa kantuk tak juga menghinggapinya. Sementara dengkur halus Ray sudah terdengar. Beraturan. Malah, tubuh Ray membelakanginya. Suara burung gagak hitam terdengar bersahutan di luar rumah. Mendadak bulu kuduk Dani terangkat. Suara itu begitu menakutkannya. Keringat dingin mengucur di tubuh tanpa dapat ditahan. Ia merasakan ketakutan yang sangat. Suara gagak hitam kembali terdengar. Menambah suasana malam kian mencekam. Rumah Bunda Dewi ini sering ditinggalkan pemiliknya. Bunda Dewi pun tak saban malam menginap di sini. Dani pun tahu. Ray pernah cerita. Rumah kosong. Berada di lingkungan rumah-rumah yang kosong pula. Dani yakin, di rumah ini pun ada penghuni lain. Penghuni selain manusia. Namun, bangsa hantu. Ah, tetiba ia gelisah sangat. Matanya masih sulit dipejamkan. Akhirnya, hanya bisa menatap ruangan yang gelap. Beberapa menit kemudian, matanya menangkap bayangan putih yang melayang di sekitar tempat tidur dimana ada Fian dan Dirga terbaring. Ia sangat terkejut. Bayangan itu serupa guling.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN