LOKER

1830 Kata
LOKER SEMENJAK bel tanda pulang berbunyi, Fajar tak langsung pulang ke rumahnya. Usai solat zuhur di mushola, ia masuk ke ruang guru. Lalu duduk di kursi depan mejanya yang terletak paling ujung deretan selatan. Fajar, guru olahraga di sekolah dasar ini. Usianya dua puluh sembilan tahun. Ia sudah beristri dan belum punya anak. Istrinya seorang ibu rumah tangga. Sudah lima tahun, Fajar mengajar di sekolah ini. Ia adik laki-laki dari Bunda Dewi. Fajar, anak bungsu dari kedua orang tuanya. Baru saja beberapa menit duduk, tenggorakannya terasa haus. Tubuhnya beranjak, lalu pergi ke dapur mengambil gelas. Setelah itu, menuju ruang pojok. Mengambil air dari dispenser. Diteguknya air dalam gelas. Terasa segar membasahi kerongkongannya yang kering. Hari Rabu, ia cukup sibuk di sekolah lantaran dari pagi hingga siang, tak ada jeda istirahat. Mengajar kelas bawah, lalu kelas atas. Waktu istirahat pun digunakan untuk melatih beberapa muridnya yang hendak mengikuti pertandingan tenis meja. Malah, ia makan terburu-buru pada jam istirahat tadi. Usai meneguk minuman hingga satu gelas tandas, gelasnya ditaruh di atas meja. Lalu, tubuhnya yang tinggi dan berisi kembali menuju kursinya. Duduk. Kedua tangannya di atas meja. Meja guru dan sudah diberi papan nama, dengan namanya. Muhammad Fajar Yanuar. Ia baru teringat laptopnya. Merasa suntuk. Untuk pulang ke rumah, ia masih malas. Ingin sejenak berada di sekolah kalau bisa sampai sore. Ia pun berharap Ray datang menemani Dani untuk melatih anak-anak kelas lima dalam persiapan festival marching band. Laptopnya dikeluarkan dari dalam loker kayu di bawah meja. Lalu ditaruh di atas meja. Dinyalakannya setelah kabel disambungkan. Laptop pun menyala. Ia pun menyambungkan ke saluran internet. Mumpung jaringan sedang lancar-lancarnya. Lantaran keberadaan internet yang melimpah, yang membuatnya betah di sekolah dan tak terburu-buru pulang ke rumah. Istrinya tadi sesaat meneleponnya. Meminta suaminya segera pulang. Namun. Fajar berdalih hendak membuat tugas adminsitrasi guru di sekolah, biar mendapat izin dari istrinya. Fajar berselancar di dunia maya. Lalu membuka beberapa sitos yang dibutuhkannya. Membaca konten-konten menarik. Kalau tengah asyik dengan internet, maka Fajar suka lupa waktu. Ia tak memedulikan waktu terus bergerak. Di luar, di halaman sekolah, sepi. Tak seperti biasanya. Terkadang, banyak anak yang sudah pulang ke rumahnya masing-masing, melepas pakaian seragan lalu berganti pakaian dengan baju bebas, kemudian datang ke sekolah hanya untuk bermain di halaman. Main kucing-kucingan, main sepak bola, galah, atau main kelereng. Sebagian anak perempuan di teras sekolah bermain congklak atu beklen. Jika Fajar menghabiskan waktu hingga sore, ia pun tak pernah melarang anak-anak itu. Dibiarkannya mereka bermain sepuasnya. Fajar akan merasa ditemani ketimbang di halaman sepi. Namun, siang ini, entah mengapa, Fajar pun heran, anak-anak yang biasa bermain sekitar pukul dua, tapi tidak ada yang muncul. Padahal hari sangat cerah kendati cenderung terik mentari membakar kulit. Tak ada hujan. Meski sekadar mendung. Anak-anak itu tak datang. Mungkinkah sudah bosan? pikirnya. Malah, minggu lalu, di halaman tampak lebih ramai dari biasanya setelah tim marching band lagi diaktifkan. Kehadiran Ray, Dani, dan dua temannya itu membuat Fajar senang. Ia pun acap menunggu-nunggu termasuk siang ini. Matanya melirik gawai yang berada di dekat jemari kirinya. Sebelah laptop. Pukul empat belas lebih tiga puluh dua menit. Hampir sore. Matanya kembali menatap layar laptop. Tubuhnya terasa gerah. Di luar, sangat panas. Mungkinkah anak-anak tak ada yang datang karena hari ini terlalu panas? Dan mereka lebih memilih berada di rumah masing-masing ketimbang berpanas-panasan? pikirnya. Mungkin benar, bibirnya mengulas senyum. Sebenarnya, ia ingin anak-anak itu datang. Ia merindukannya kendati anak-anak itu murid-murid di sekolah ini. Murid-muridnya juga. Saban hari kecuali Minggu suka bersua. Malah murid-murid terlebih yang laki-laki terkesan lebih akrab jika pada guru olahraga karena acap berkegiatan di lapangan. Fajar menghela napas. Gawainya berdering. Nada panggilan. Diangkatnya lalu ditempelkan di telinga kirinya. Suara Bunda Dewi, kakak sulungnya. “Fajaaaar… kamu di mana?” “Di sekolah, Bun.” “Kalau kamu tak lagi mengerjakan tugas administrasi guru, sebaiknya kamu pulang!” Fajar mendecak. “Buat apa pulang, Bun? Di rumah, nggak bebas pakai internet! Nadya terlalu cerewet!” “Ini sudah sore, Fajar! Cepat pulang!” seru Bunda Dewi yang terkadang terusik dengan istri Fajar yang dikit-dikit mengadu jika Fajar lebih betah di sekolahnya. Kendati semua guru sudah pulang. “Ya, bentar lagi, Bun. Tanggung.” “Awas kalau sampai sore kayak kemarin!” “Kemarin kan menamni Ray dan Dani!” “Cuma menemani tapi kamu tak mau terjun melatih!” Fajar tertawa kecil. Tak dihiraukan kakaknya yang sering cerewet padanya. “Besok Bunda mau pulang dulu ke Cibiru. Rumah Bunda kosong pastinya. Bunda minta kamu menginap di rumah Bunda semalam saja. Jagain rumah Bunda.” “Mmmm… duh!” keluh Fajar. Ia ingin menolak tapi bingung. “Bawa istrimu! Nanti Bunda kasih kamu uang!” putus Bunda lalu menutup gawainya. Fajar mendesah. Tatapannya kembali ke layar laptop. Tubuhnya terasa gerah. Di luar sepi. Hanya suara angin yang berdesir. Meniup daun-daun. Sebagian menerbangkan debu-debu hingga bertebaran dan tertiup serta memenuhi teras-teras kelas. Mata Fajar melirik ke samping kiri. Ke sudut ruangan. Tak jauh dari kursi yang didudukinya. Sebuah loker berwarna abu-abu terbuat dari baja. Empat tahap. Di dalamnya berisi berkas-berkas sekolah. Yang paling atas, ada benda-benada kecil seperti alat tulis, lem, guting, dan stempel sekolah. Fajar jarang sekali membuka loker itu meski untuk mencari benda yang diperlukannya. Ketika kepalanya kembali mengarah pada apa yang berada di hadapannya, sebuah layar laptop yang menyala, tiba-tiba telinganya dikejutkan oleh suara dari sebalah kiri. Bunyi loker baja itu. Matanya sontak melirik lagi. Rak kedua, terkuak sedikit. Seperti ada yang membukanya. Dadanya berdegup keras. Keringat mengucur deras di leher. Jemarinya kembali menari-nari di atas keyboard. Berusaha tenang. Ia tak menganggap ada sesuatu hal aneh telah terjadi. Namun, ia pun penasaran. Siapa yang membuka rak kedua? Matanya melirik dan tangan kirinya refleks menutupnya dengan cepat. Rak kedua itu pun bergeser dan menutup lagi. Kembali menatapi layar laptop. Kembali jemarinya bermain-main di atas keyboard. Ditenangkan pikirannya. Namun, dadanya bergemuruh ketika telinganya kembali menangkap bunyi loker. Diliriknya dengan rasa penasaran yang tinggi. Kini, giliran rak ketiga yang terkuak. Seolah-olah ada yang sudah menggeserkannya. Namun siapa? Ia bingung juga dicekam rasa takut. Sementara di ruangan ini, ruangan enam kali enam ini, tak ada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Semua guru sudah pulang dua jam lalu. Selama Fajar menjadi guru di sekolah dasar ini, selama ia acap menyendiri di ruangan ini, ruang khusus berkumpul para guru, ia sama sekali tak pernah mendengar loker berbunyi dan terkuak sendiri. Bahkan, posisi loker paling dekat dengannya. Berada di sebelah mejanya. Agak di pojok. Ia sama sekali tak lupa. Sekali pun tak pernah mengalami kejadian seperti barusan. Dua kali loker terbuka sendiri. Ia berpikir keras. Di luar masih sepi. Menjelang sore. Dani dan Ray dipastikan tak akan datang. Fajar pun tak tahu pasti jadwal Dani melatih tim marching band. Ia hanya menduga-duga Dani dan Ray akan tiba. Namun buktinya, hingga pukul tiga sore, mereka tak menampakkan batang hidungnya. Bahkan, tak ada satu pun murid tim pasukan marching band datang, berarti memang hari ini tak ada jadwal latihan. Tubuh Fajar bangkit setelah mematikan dan menutup laptop. Lalu memasukkan ke dalam tas berwarna hitam. Terburu-buru, ia meninggalkan ruangan. Tanpa menutup pintu terlebih dahulu. Lalu menghampiri motor matic merah di bawah pohon sukun, menghidupkannya kemudian melajukan motor keluar pekarangan sekolah. *** Pagi di hari Jumat. Sekitar pukul tujuh lebih beberapa menit. Bu Lilis baru turun dari motor diantar suaminya. Ia sengaja turun di depan pinu gerbang sekolah agar tak mengusik orang-orang yang tengah melaksanakan solat dluha di ruang dluha. Langkahnya sedikit tergesa-gesa melintas ruangan itu, ruang seni, kantin, rumah dinas, hingga depan teras ruang guru. Langkahnya terhenti tanpa berani menginjak teras karena dilihatnya di dalam ruang guru, ada Fajar tengah berdiri depan meja Bu Ida. Tubuhnya menghadap dinding bagian utara. “Pak Fajar tak ikut solat dluha,” pikirnya. Ia pun mengurungkan niatnya masuk ke ruang guru untuk sekadar menyimpan tas cokelatnya. Tubuhnya berbalik dengan sebelah tangan memegang tas, sebelah lagi menjinjing tas kain berisi mukena dan sajadah. Ia melangkah cepat ke arah ruang dluha. Lalu masuk dan berbaur dengan yang lain. Solat dluha hingga tuntas meski yang lain semua sudah selesai. Setelah itu, mendengar ceramah. Usai semua murid yang ikut solat berkeliling untuk menyalami semua guru, Bu Lilis dan beberapa rekan gurunya menuju ke ruang guru. Di situ, tak ada siapa-siapa karena dipastikan semua guru solat dluha kecuali yang guru yang kesiangan atau yang sengaja datang terlambat karena tak akan ikut solat rutin di pagi Jumat. Sebagai bentuk pembiasaan. “Ke mana Pak Fajar, ya?” Bu Lilis menatap ke kursi Fajar yang kosong. “Belum datang,” Bu Ning yang menjawab. “Tadi dia sudah ada di ruang ini. Saya melihatnya. Tapi kami tak saling menyapa. Dia pun tak melihat saya karena saya tak masuk dan langsung ke ruang dluha,” jelas Bu Lilis panjang lebar. Bu Ida memandang ke pintu. Ke arah luar. Ia melihat Fajar tengah berjalan dari arah pintu gerbang sekolah hendak menuju ruang guru. “Lho, itu Pak Fajar!” Fajar mengucap salam. Semua yang berada di dalam, membalasnya. “Pak Fajar dari mana?” tanya Bu Lilis. “Saya baru datang, Bu. Nggak bawa motor karena dipakai keponakan saya yang motornya diservis di bengkel dari kemarin,” jawab Fajar sembari menuju mejanya. Lalu duduk di kursi. Bu Lilis kaget. “Masa sih baru datang?” Fajar mengangguk. “Benar, Bu. Saban Jumat kan saya juga suka kesiangan.” Fajar tampak sedikit malu karena ia jarang sekali ikut solat dluha karena alasan kesiangan. Lalu Bu Lilis menceritakan ulang jika tadi melihat Fajar di dalam ruang guru. Tengah berdiri depan meja Bu Ida. Bu Lilis yang tak jadi masuk dan balik ke solat dluha. “Saya baru datang, Bu,” tegas Fajar lagi. Bu Lilis bingung. “Terus, yang saya lihat tadi pagi itu… siapa? Masa sih saya salah lihat? Mata saya masih normal.” Fajar tersenyum. “Saya tidak tahu, Bu. Yang pasti, saya baru tiba di sekolah ya sekarang. Bukannya tadi.” Bu Ida tersenyum. “Sudahlah, Bu Lilis. Di sekolah ini, terkadang… pagi-pagi juga kita bisa melihat sosok yang kita kenal, padahal sebenarnya… itu bukan sosok yang kita kenal melainkan…” Tubuh Bu Lilis agak gemetaran. Untunglah, guru-guru yang ada menenangkannya. Bu Lilis belum lama berada di sekolah ini. Jadi, ia tak tahu jika banyak kejadian aneh di sekolah ini terutama yang pernah diusik dengan makhluk tak kasat mata. Ketika di dalam kelas, Bu Lilis tak begitu konsentrasi mengajar. Hatinya terus memikirkan kejadian tadi pagi. Beberapa muridnya sempat menatapnya heran dengan sikap gurunya yang tak ceria seperti biasa. Bu Lilis ingin segera pulang ke rumahnya. Pikirannya masih tak tenang, Ia teringat tas cokelatnya yang dibiarkan di dalam ruang guru. Di atas mejanya. Ia lupa tak membawa ke dalam kelas. Lalu, ia segera keluar kelas. Berjalan melintasi kelas demi kelas. Lalu masuk ke dalam ruang guru. Menuju mejanya yang berada di pojok paling timur. Diambilnya tas itu. Lalu hendak dijinjingnya. Tubuhnya belum berbalik tapi telinganya menangkap bunyi dari pojok barat selatan. Dari dekat meja Fajar. Tepatnya dari arah loker. Bunyi rak keempat yang seperti ada yang sudah menggeserkannya. Hingga terkuak.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN