“Katakan, kenapa kau bisa jadi buronan seperti ini?” tanya Kanaya dengan mimik wajahnya terlihat sangat serius.
Alih-alih menjawab pertanyaan Kanaya, Noel malah memelototi wanita itu dengan tatapan yang sangat menusuk. Bahkan, bisa dibilang kalau Noel seperti ingin menelan Kanaya hidup-hidup karena sudah mengotak-atik barang miliknya ketika dia tidak sadarkan diri. Karena itu, ketika Kanaya masih mengibas-ibaskan lencana kepolisian milik Noel, pria ini langsung bangkit dari posisinya dan berjalan mendekati Kanaya masih dengan wajah yang masih terlihat sama, meski dia tahu kalau rasa sakit di bahunya terasa sangat mengganggu.
Takut dengan apa yang mungkin dilakukan oleh Noel, Kanaya mundur beberapa langkah, diikuti oleh Sandra yang juga menarik-narik tangan Kanaya agar sahabatnya itu segera menghentikan tingkahnya dan meminta maaf. Tapi, percuma. Noel sudah semakin dekat dan saat jarak mereka semakin dekat, Noel langsung merebut lencana miliknya dari Kanaya tanpa mengatakan apa pun.
“Berhenti mengulik sesuatu yang bukan jadi urusanmu.” Ucap Noel dengan nada yang jika siapa pun mendengarnya maka akan menyimpulkan kalau hal itu adalah sesuatu yang sangat dingin dan menusuk hingga membuat siapa pun akan menelan ludah karenanya.
Namun, tidak dengan Kanaya. Wanita ini malah menarik napasnya dalam-dalam dan membalas melotot ke arah Noel. “K—kau sekarang ada di rumahku! Jadi, setidaknya ikuti aturanku!”
“Aturanmu tidak berlaku padaku.”
Kanaya semakin melotot mendengar jawaban Noel. Pria itu bertingkah seolah seluruh dunia adalah miliknya, sementara sekarang dirinya hanya seorang buronan polisi. Ya. “Kalau kau tetap bertingkah seperti ini, maka aku akan melaporkanmu pada polisi!” ancam Kanaya. Tapi, itu adalah kesalahan luar biasa untuk wanita ini, karena setelah dia mengatakan hal tersebut, Noel langsung menarik sebelah tangan Kanaya, membalik telapak tangannya, seperti memelintir dan kapan pun Noel mau, dia bisa dengan mudah mematahkan pergelangan tangan wanita itu.
“Berani melakukan itu, maka kupatahkan tanganmu.” ancam Noel masih melotot ke arah Kanaya, mengabaikan bagaimana kesakitannya wanita itu.
Kanaya menelan ludah karena hal itu. Selain Noel mengatakan ancaman barusan dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain datar, nada yang digunakan oleh pria ini juga terdengar sangat dingin hingga siapa pun yang mendengarnya akan bergidik ngeri dan memilih untuk diam seribu bahasa, tentu saja hal itu juga yang dilakukan oleh Kanaya. Dia ketakutan dan karena ketakutan, Kanaya bahkan tidak bisa membalas kalimat Noel seperti bagaimana dia mencoba mengancam pria itu tadi, sekarang.
Sadar kalau posisi mereka tidak aman sekarang, Sandra mencoba untuk menengahi kedua orang itu agar tidak terjadi pertikaian yang tidak perlu mengingat kalau saat ini posisi mereka juga berada di tempat yang tidak tepat. “Te—tenang, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” ucap Sandra sambil mencoba melepaskan tangan Noel dari Kanaya tapi percuma, Noel masih mencengkeram tangan Kanaya dengan sangat erat.
“Katakan itu pada temanmu ini.” baru saja Sandra bicara, Noel sudah kembali menusuk dengan kalimatnya yang tajam.
Sandra melirik Kanaya yang mulai berkeringat dingin, dengan pergelangan tangan yang kapan saja bisa dipatahkan oleh Noel. “Baiklah, Kanaya...minta maaf sekarang.” Sandra memerintah. Spontan saja Kanaya melirik sahabatnya itu dan melotot.
“A—aku? Kenapa harus aku?!"
“Kubilang minta maaf!”
“Baik! Baik! Baik! Aku minta maaf, maafkan aku! Aku tidak akan melaporkan ini pada polisi tapi katakan padaku kenapa kau bisa dikejar-kejar polisi seperti kau adalah buronan, padahal kau adalah polisi juga seperti mereka?! Atau...,” nada bicara Kanaya mulai terdengar pelan, “kau memang seorang buronan polisi?”
Mendengar pertanyaan itu, Noel lantas melepaskan cengkeramannya dari Kanaya dan memutuskan untuk kembali ke sofa di mana dia melihat ada pakaiannya di sana. meski bahu kirinya masih terasa sangat sakit tapi, Noel terus mencoba untuk memakai kembali pakaian yang terlihat kotor oleh noda darah miliknya sendiri.
“Kau tidak bisa memakai benda itu lagi! Hei!” tahan Kanaya sambil meneriaki Noel. Namun, pria ini sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Kanaya dan masih saja terus mencoba memakai kemeja miliknya yang kotor itu.
Geram dengan tingkah Noel, Kanaya langsung berjalan mendekati pria itu dan menarik kemeja yang terus coba dipakai oleh Noel, padahal, mengangkat tangan kirinya saja sudah sangat sulit untuk pria ini, apalagi memakai sebuah kemeja yang sudah sekotor itu.
“Berikan padaku.” Noel menadahkan tangannya, berharap Kanaya mau memberikan lagi kemeja miliknya. Namun, Kanaya malah balik melotot kenarah Noel.
“Memangnya kalau aku berikan, kau mau apa dengan pakaian penuh darah seperti ini, hah?!”
“Berikan padaku.”
“Heh! Kau itu tamuku, kau ada di rumahku jadi, ikuti aturanku kalau kau masih mau di sini.” ujar Kanaya lantang. Sementara Sandra, hanya bisa melotot mendengar bagaimana Kanaya bicara seolah dia membiarkan pria bernama Noel Erden itu untuk menetap di sana.
“Hei, Kanaya...,” panggil Sandra sambil berbisik dan ketika suaranya tidak didengar, Sandra memutuskan untuk menarik sahabatnya itu agar sedikit menjauh dari Noel, kemudian bicara.
“Apa?” tanya Kanaya keheranan, setengah marah. Padahal, seharusnya Sandra yang marah sekarang.
“Kenapa kau bilang kalau dia harus mengikuti aturanmu?!”
“Karena dia di rumahku, sudah jelas.”
“Kau lupa kalau dia ini siapa?”
“Polisi.” jawab Kanaya, seolah itu adalah sikap polos yang terlihat wajar. Namun tidak dengan Sandra. Pemilik pet shop sekaligus klinik hewan ini menepuk jidatnya untuk tigkah menyebalkan Kanaya sekarang.
“Polisi? Kau lihat, dia ini buronan!” ucap Sandra gregetan.
“Kita belum tahu sampai beritanya dimuat di berita besok pagi.”
“Kau tidak bisa memutuskan itu begitu saja! Kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau kau membiarkannya tinggal!"
“Bagus! Kita biarkan dia tinggal sampai besok.”
“Kau sudah gila?!”
“Aku gila kalau aku tidak menemukan ini dari saku celananya.” Kanaya mengangkat lencana polisi milik Noel yang tidak dia berikan pada pria itu lagi.
“Apa?” Sandra keheranan. Tapi, Kanaya malah tersenyum sambil menepuk bahu Sandra sambil kembali mendekat ke Noel yang masih memandang ke arah mereka dengan tatapan yang sama, dingin dan menusuk. Sementara Sandra, hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkah sahabatnya itu.
"Jangan khawatir. Aku pernah di situasi seperti ini." Bisik Kanaya. Tapi, Sandra tentu tidak sependapat.
Selesai dengan percakapannya dengan Sandra, Kanaya pun kembali dan duduk tepat di hadapan Noel, lalu sekarang mereka berdua saling berhadapan tanpa suara selama beberapa menit. Sandra yang tidak paham dengan isi kepala Kanaya, memutuskan untuk menaruh tas berisi peralatan medis miliknya di meja dapur dan mengambil sebotol mineral dari dalam lemari es untuk kemudian dia minum habis dalam beberapa kali tenggakan, sebelum akhirnya, Kanaya memulai sesi tanya jawabnya dengan Noel.
“Dengar, sebagai pemilik rumah ini, aku mengizinkanmu untuk tinggal sampai aku tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu.” ucap Kanaya seperti sedang membuat kesepakatan dengan Noel. Hanya saja, Noel yang memang adalah seorang satuan polisi, bisa mengerti apa yang diinginkan oleh Kanaya dengan membiarkan dirinya untuk tetap tinggal dan bersembunyi di sana.
“Kau bisa bertanya padaku apa pun yang kau mau.”
Kanaya melirik Sandra yang hanya diam di dapur yang tanpa sekat dan berhubungan langsung dengan ruang tengah di rumah itu tapi, Kanaya tidak bisa menemukan jawaban dari Sandra kecuali gelengan dari sahabatnya tersebut.
“Baiklah...,” Kanaya mulai berdamai dengan dirinya, “jadi, kau benar-benar seorang polisi?”
“Hanya sampai malam ini, besok tidak lagi.” jawab Noel singkat seolah kehilangan jabatan dan pekerjaan yang dia dapatkan susah payah itu bukanlah sesuatu yang besar untuknya. Sialnya, itu membuat Kanaya kesal.
“Kenapa?”
“Kau percaya kan, kalau aku sudah membunuh?”
Kanaya tidak bisa membalas tuduhan itu, bahkan, menutup mulutnya pun wanita ini sama sekali tidak bisa, saking terkejutnya dengan pertanyaan tersebut. Bahkan, melirik Sandra pun rasanya percuma karena pasti hanya sebuah gelengan lagi yang akan diberikan oleh sahabatnya itu. Jadi, wanita ini hanya bisa mengurut dahinya untuk pertanyaan yang mungkin tidak bisa dia jawab tersebut.
“Jangankan kau, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan itu.” ucap Noel seolah tahu kalau Kanaya memang tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.
“Apa?”
“Aku mendapat telepon aneh beberapa waktu ke belakang dan ketika aku mendatangi rumah orang itu, mereka sudah mati tapi tiba-tiba aku malah berakhir seperti ini. Dikejar-kejar, ditembak, dituduh sebagai pembunuh dan hampir mati." Jelas Noel tanpa menatap wajah Kanaya.
“Tunggu! Tunggu! Tunggu! Apa maksud semua ini? Kau dijebak?"
"Dengan lencana dan revolver yang kubawa, apa kau benar-benar berpikir kalau aku ini penjahat?"
Kanaya memutar bola matanya. "Jika diingat dengan kau yang datang ke dalam rumahku diam-diam, dengan senjata dan menyandera tuan rumah, rasanya tidak heran kalau aku berpikir kalau kau adalah penjahatnya di sini."
Noel melirik Kanaya dengan tatapan yang sangat tajam dan terasa menusuk ketika wanita itu bicara demikian. Melihat bagaimana Noel melotot padanya seperti seekor singa lapar, sontak Kanaya menggeser posisi duduknya karena ketakutan.
"A—apa?" Kanaya mulai ketakutan.
"Apa pekerjaanmu?"
"Ke—kenapa malah bertanya pekerjaanku?" Lagi-lagi Noel diam, membuat Kanaya hanya bisa menelan ludah.
"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu."
Sebelah alis Kanaya naik. Sekali lagi dia melirik ke arah Sandra yang masih berdiri di dapur. "Kesepakatan macam apa itu?"
"Kalau kau bisa membantuku keluar dari masalah ini, aku akan memastikan kalau kau bisa mendapatkan jabatan palig tinggi di tempatmu bekerja."
Mendengar hal tersebu tentu saja Kanaya tergiur. Akan tetapi, membantu seorang buronan ke luar dari masalahnya, apa itu bisa membuat Kanaya mendapatkan pekerjaannya kembali?