⌘ Bab 02 ⌘

1816 Kata
“Kau kenal siapa dia?” “Kalau aku kenal, aku pasti membawanya ke rumah sakit, bukan padamu seperti ini.” “Lalu, kenapa kau membawanya padaku?” “Karena kau punya peralatan bedah.” “Kau benar-benar memalukan.” “Benar. Aku memang tidak tahu malu.” “Kalau sesuatu terjadi pada lukanya dan dia mati, jangan libatkan aku.” “Tenang saja, melihat bagaimana dia masuk ke dalam rumahku, aku akan bilang saja kalau dia ini rampok dan aku membela diriku lalu tidak sengaja membunuhnya, selesai.” “Kau memberikan laporan palsu dan itu bisa membuatmu dipenjara delapan tahun.” “Tidak masalah, karena yang kutakutkan sekarang adalah tidak mendapatkan lagi pekerjaanku.” Jawabnya sambil menggidikkan bahu. Seolah memang benar-benar tidak peduli dengan apa yang akan terjadi. “Kau benar-benar menjijikkan.” “Ya, terima kasih banyak untuk pujiannya.” Kanaya tersenyum sangat manis. Bahkan sepasang matanya pun tertutup ketika dia memperlihatkan senyum itu. Jelas hal tersebut membuat Sandra hanya bisa mendengkus sambil menggeleng. “Kenapa kau tidak menelepon pacarmu itu untuk menanyakan tentang siapa orang ini?” tanya Sandra sambil kembali fokus pada luka 'pasiennya'. “Kami sudah lama putus.” “Woah~kupikir, kau tidak akan pernah berani memutuskan dia.” “Sudahlah, aku tidak ingin membahas tentang orang itu, bagaimana dengan jahitannya?” “Sudah selesai sejak tadi. Sekarang, kita hanya tinggal menunggu dia bangun saja.” jawab wanita berusia dua puluh delapan tahun itu sambil melepas sarung tangan lateks yang terdapat beberapa noda darah, kemudian membuangnya bersama satu bungkusan plastik lain yang berisi jarum bekas dan sedikit benang yang dia gunakan untuk menjahit luka seorang pasien yang tengah tertidur pulas di bawah pengaruh obat bius yang dia berikan. Usai membuang beberapa peralatan medis bekas pakai itu ke dalam kantung plastik, Sandra, kembali menatap Kanaya Daniza, wanita yang sudah meneleponnya dengan nada panik, membuatnya yang tengah tertidur pulas saat itu harus buru-buru datang dan ketika dirinya tiba di rumah sahabatnya tersebut, betapa terkejutnya dia ketika dia melihat ada seorang pria tengah pingsan dengan bersimbah darah di kamar mandi. Awalnya, Sandra mengira kalau Kanaya lah yang sudah membuat pria itu hingga terluka. Namun, setelah mendengar penjelasan Kanaya yang mengatakan kalau pria itu tiba-tiba berada di kamar mandi miliknya, membekapnya, menjadikannya tawanan hingga kemudian pingsan tanpa mengatakan apa pun lagi dan ketika Kanaya melihat dengan jeli keadaan pria itu, ternyata ada luka tembak di bahu kirinya, jelas bukan Kanaya yang melakukan hal tersebut. Karena dilihat dari sisi mana pun, Sandra tahu kalau sahabatnya itu sama sekali tidak menyimpan senjata jenis apa pun di rumahnya. Bahkan, ketika Sandra berhasil mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuh pria itu, wanita ini tahu persis kalau itu adalah jenis peluru yang sering digunakan oleh kepolisian. Dengan kepala penuh pertanyaan, Sandra meraih tray berisi sebutir peluru yang tadi dia keluarkan, menatapnya seksama sebelum akhirnya memberikan peluru itu pada Kanaya. “Mau kau apakan benda ini?” tanyanya dengan wajah datar. “Kau pikir apa? Buang saja benda itu, aku tidak mengoleksi benda-benda aneh.” “Ini kaliber tiga puluh dua mili meter. Peluru dari jenis kaliber yang sering digunakan oleh kepolisian.” Kanaya menaikkan sebelah alisnya. “Lalu?” “Kau tidak berpikir kalau sebenarnya dia ini adalah buronan kepolisian?" Kanaya menggeleng. “Aku tidak peduli dia ini buronan atau bukan. Yang jelas, kalau dia masih bisa hidup, itu sudah lumayan. Setelah sadar, baru tanyai dia, mau apa dia di rumahku.” Jawab Kanaya sambil berjalan ke arah dapur dan mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari es, sementara Sandra, hanya bisa menggeleng dan kembali menaruh tray berisi peluru yang dia tunjukkan pada Kanaya tadi, kembali ke meja, membiarkannya untuk nanti dia gunakan sebagai bahan 'introgasi'. Sambil menenggak sebotol air mineral miliknya, Kanaya melihat ke arah pria yang baru saja selesai diperasi oleh sahabatnya, Sandra. Pria itu sengaja dibaringkan di sofa dan dioperasi darurat di tempat, mengingat pria itu membawa revolver dan tertembak hingga bermandi darah. Pertanyaan Kanaya sekarang, adalah tentang siapa pria itu, bagaimana bisa dia memiliki revolver milik kepolisian dan shoulder strap yang biasa digunakan oleh orang-orang yang terlatih menggunakan senjjata. “Padahal aku hanya punya bius untuk hewan, kuharap dia tidak akan terkena rabies atau sejenisnya ketika dia sadar nanti.” Gumam Sandra sambil membenahi peralatan medis yang dia miliki ke dalam tas kecil yang memang biasa dia gunakan untuk menyimpan semua perlengkapan kerjanya. “Setelah dia lebih baik, kau harus membawanya ke klinik manusia. Pastikan dia tidak apa-apa atau klinik hewan milikku akan ditutup permanen oleh dinas kesehatan pemerintah karena sudah melakukan mal praktek pada manusia.” “Baik, baik, akan aku pastikan kalau nama baikmu tidak akan kenapa-napa setelah ini.” Kanaya menjanjikan. Padahal, dia sendiri tidak yakin kalau apa yang dia katakan memang benar-benar terjadi. Masih segar di ingatannya, kalau tadi malam dia baru saja pulang dari SPBU tempatnya bekerja, pulang ke rumah dan berharap bisa mandi kemudian tidur pulas, tapi dia malah mendapatkan hal yang sangat tidak mengenakkan. Ada seorang penyusup tengah bersembunyi di kamar mandinya dengan luka tembak yang terus mengucurkan darah segar, karena panik, Kanaya langsung menelepon sahabatnya yang membuka praktek klinik hewan, meski tidak sesuai dengan lisensi yang dimiliki oleh Sandra, Kanaya memaksa sahabatnya itu untuk mengoperasi pria yang menyusup ke dalam rumahnya melalui jendela kamar mandi yang terbuka. Salahkan dia yang tidak mengunci rapat seluruh celah rumahnya sebelum dia pergi bekerja hingga seseorang tiba-tiba berada di dalam sana dan berusaha membunuhnya. “Kau tidak mau memeriksa dia?” tanya Sandra usai berbenah. Kanaya menggeleng. “Coba periksa saku celananya, mungkin ada dompet dan kartu identitas.” “Lakukan sendiri.” balas Sandra sambil berjalan menuju ke arah wastafel, mencuci tangannya pasca operasi barusan. “Hei, aku ini wanita baik-baik.” protes Kanaya. “Jadi kau pikir aku ini kriminil, begitu?” balas Sandra marah dengan mata melotot. Mendengar sahabatnya menggerutu, Kanaya hanya tertawa sambil berjalan mendekat ke arah pria yang masih terlelap di bawah pengaruh obat bius, meski sebenarnya itu obat bius yang biasa digunakan Sandra untuk membius anjing-anjing yang akan melakukan operasi ringan di klinik hewan miliknya. Seperti tidak takut kalau-kalau pria itu bangun tiba-tiba, Kanaya terus saja menggeledah saku celana depan dan belakang pria itu, dan ketika dia berhasil menemukan dompet miliknya, Kanaya langsung memeriksa isi dompet pria itu dan menemukan beberapa puluh lembar uang seratus dolar, beberapa kartu kredit, juga ATM, namun yang Kanaya coba cari sebenarnya adalah kartu identitas. Hanya saja, ketika Kanaya tengah mencari kartu identitas dan betapa terkejutnya dia ketika ada sebuah lencana kepolisian yang terjatuh dari saku depan sebelah kanan. Buru-buru Kanaya memungut lencana itu dan keterkejutannya bertambah ketika Kanaya dan Sandra menemukan kenyataan kalau sebenarnya ‘buronan’ yang baru saja menjalani operasi pengangkatan peluru di bahu kirinya itu adalah seorang polisi, hanya eh seorang dokter di klinik hewan. “Lalu kenapa dia jadi seperti buronan?” tanya Sandra penasaran. Namun, Kanaya hanya bisa menggeleng tidak paham. “Kita tanyakan setelah dia sadar nanti.” Jawab Kanaya sambil mengamankan semua bukti yang dimiliki oleh pria itu. “Sekarang, kita biarkan saja dia tidur.” “Tidak sadarkan diri.” Sandra menginterupsi. “Ya, tidak sadarkan diri karena obat bius.” “Obat bius untuk anjing.” Kanaya tidak tahu harus berkomentar seperti apa lagi untuk kalimat itu. Tapi, wanita itu mencoba mengangguk dan setuju meski ia merasa kalau hal ini memang salah. “Ya, obat bius untuk anjing.” "Aku harus pergi. Sampaikan salamku kalau dia bangun." "Kau tidak boleh pergi ke mana pun!" Tahan Kanaya. "Aku tidak suka menginap." "Tidak ada yang menyuruhmu menginap! Temani aku setelah dia bangun dan aku menelepon polisi." "Lama." "Dosis untuk membius seekor anjing memangnya sebesar itu sampai dia tidak bisa bangun dalam satu jam?" "Dosis yang digunakan untuk membius seekor anjing cukup untuk membuatmu tidur seharian penuh." Jawab Sandra sambil menggeleng, dia seperti kehabisan pikir kalau sahabatnya benar-benar tidak memikirkan tentang resiko tersebut. "Tapi kau tidak menghabiskan satu botol obat bius itu, kan?" Tunjuk Kanaya pada tas berisi peralatan medis yang dipegang oleh Sandra. "Kau ingin aku membunuhnya?" "Ti—tidak juga, sih." "Kalau begitu aku pulang." Melihat Sandra yang terus berjalan menuju pintu depan, Kanaya merengek sambil menahan tangan Sandra, menariknya dan memaksa agar wanita pemilik pet shop itu berhenti pergi dan tetap di sana. Hanya saja, rengekan Kanaya harus berhenti karena tiba-tiba saja pria itu bangun dan melenguh dengan suara bariton khas miliknya. Melihat orang yang dibius mengunakan obat bius untuk anjing itu bangun sebelum waktunya, jelas Sandra kaget. Wanita itu langsung berbalik, menggunakan tubuh Kanaya untuk bersembunyi. "Tunggu, kau meggunakanku sebagai tameng?" Tanya Kanaya tidak percaya. "Dia tamumu, kau harus layani dia dengan baik." Desis Sandra ketakutan. Karena sehebat apa pun dia mengoperasi tadi, tetap saja pria asing itu adalah orang berbahaya dengan revolver. "Kau bercanda? Dia itu penyusup!" Tunjuk Kanaya pada pria yang masih mencoba bangun dari posisi tidurnya. "Ta—" "Bisakah kalia berdua diam?!" Bentak pria itu sambil memegangi belakang kepalanya, karena saat sadar pria itu merasakan pusing luar biasa di kepalanya. "Apa kau bilang?! Kau pikir ini di mana, hah?!" Bentak Kanaya, seolah dia tidak takut sama sekali soal pria itu yang kedapatan membawa revolver bersamanya. "Harusnya kau yang bersikap sopan padaku! Kau pikir aku takut padamu?! Heh! Lihat dirimu, kalau bukan karena aku, kau sudah mati kehabisan darah!" Tunjuk Kanaya sambil mencak-mencak. Sementara Sandra, hanya bisa menggeleng tidak paham dengan sikap berani yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu. Sejenak, pria ini diam dan melihat dirinya seperti yang dikatakan oleh Kanaya. Pria ini cukup terkejut karena dirinya melihat pakaiannya sudah dilucuti dan bahu kirinya sudah diperban dengan sangat rapi. "Siapa yang melakukan ini?" "Dia!" Tunjuk Kanaya pada Sandra yang masih berdiri di belakang tubuhnya. Spontan saja Sandra memprotes, karena secara tidak langsung, Kanaya sedang mengumpankan dirinya untuk 'seekor hiu' yang entah berasal dari laut mana. "Kau harus berterima kasih padanya!" Tambah Kanaya. Tapi, Sandra malah memukul kepala sahabatnya itu sangat keras. "Bisa kah kau diam, nona muda?!" Bentak Sandra, benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Kanaya. "Tapi, kan, memang benar kau yang melakukannya." "Terima kasih karena sudah menegaska—" "Terima kasih banyak." Potong pria itu. "Ha?!" "Aku bilang terima kasih, aku harus pergi. Di mana pakaian dan revol—" kalimat pria itu terhenti ketika dia tidak menemukan dompet, lencana, bahkan revolver miliknya ada padanya. "Mencari ini?" Tunjuk Kanaya pada dompet dan lencana milik pria itu yang baru saja dia ambil. Sambil tersenyum, Kanaya mula membuka lencana milik pria itu dan membacanya, "Noel Erden. Anggota kepolisian Metropolitan. Anggota satuan reserse kriminalitas." "D—dia dari reserse kriminal?" Sandra tidak percaya. Tapi, Kanaya malah mengangguk sambil tersenyum. "Dia anggota kepolisian khusus yang menangani kriminalitas tapi, sekarang dia yang jadi seorang kriminal." Ujar Kanaya dan hal itu sukses membuat pria bernama Noel Erden ini menatap Kanaya dengan tatapan dingin bercampur marah. "Jadi, sebelum aku telepon polisi ke tempat ini, bisakah kau jelaskan padaku, kenapa kau bisa jadi seperti ini, masuk ke rumah orang tanpa izin lalu berlagak seperti b******n?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN