Lidah dapat mengatakan yang sebaliknya, tapi tatapan dan bahasa tubuh tidak dapat berbohong.
*****
Nara mengajak Sehan ke Everland, tempat kencan favorit mereka sejak dulu. Sebelum pergi, Nara terlebih dahulu menyuruh Sehan untuk berdandan seperti pemuda yang masih berusia dua puluhan, sama seperti dirinya yang juga berdandan ala mahasiswi. Itu semua harus dilakukan agar mereka tidak ketahuan memiliki jarak usia yang cukup jauh. Sang Gadis Kim juga sudah menyiapkan masker dan topi supaya tidak ada yang mengenali keduanya.
Sebagai pihak yang diajak kencan, Sehan hanya bisa menurut. Lagi pula, ide Nara memang bagus. Mereka tidak boleh ketahuan berkencan karena itu berbahaya bagi masa depan Nara. Ya, alih-alih mengkhawatirkan posisinya sebagai guru, Sehan lebih merasa khawatir akan nasib Nara nantinya.
Sejak tiba di Everland, Nara tidak henti-hentinya menggenggam tangan Sehan. Gadis itu sudah tampak ceria lagi setelah merajuk cukup lama karena pertanyaan soal Jaeyoon tadi. Tanpa sadar keceriaan Nara pun menular pada Sehan. Pria yang usinya dua kali umur Nara itu menikmati setiap momen yang tercipta. Sehan seperti kembali ke usia tujuh belas tahun, usia di mana dia merasa paling bahagia sebelum akhirnya terpuruk karena kematian Dain.
"Terima kasih," ujar Nara ketika Sehan kembali dari membelikannya permen kapas. Gadis Kim menerima permen kapas berbentu panda dengan tatapan penuh suka cita.
"Lucu sekali! Aku jadi tidak tega memakannya," kata Nara. Wajahnya tampak gemas melihat permen kapan besar berbentuk panda berwarna merah muda dalam genggaman.
Sehan terkekeh. "Lalu kau akan membiarkannya saja sampai menciut, hm?"
"Tentu saja tidak!" balas Nara cepat. "Aku akan memakannya." Gadis itu mulai menjumput sedikit permen kapas tersebut di bagian telinga panda. Bukannya memasukkan permen ke dalam mulut, Nara justru menjulurkan tangan ke Sehan. Memberikan instruksi agar si Pria Oh membuka mulutnya.
Sehan menggeleng. Namun, Nara tetap memaksa. Sehan menahan tangan Nara yang terus maju untuk menyuapkan permen ke dalam mulutnya. Setelah beberapa saat mengelak, Sehan putuskan untuk mengalah. Dia membuka mulutnya dan langsung menuai sorak gembira dari sang gadis. Sehan tertawa karenanya.
"Enak, kan?" Nara bertanya di sela makan permennya. Sehan hanya mengangguk sambil menyeruput soda. Mereka masih berjalan mengitari area Everland.
"Setelah ini naik bianglala, yuk!" ajak Nara. Permen kapasnya tinggal seperempat bagian.
Alis Sehan terangkat tinggi. Dain takut ketinggian, itu sebabnya kalau berkencan mereka tidak pernah naik bianglala. "Kau tidak takut ketinggian?" tanya Sehan yang membuat Nara langsung tertawa.
"Aku memang reinkarnasi Dain, tapi tidak semua tentang dirinya menurun padaku. Sama seperti kecerdasan kami yang berbeda, fobia kami pun berbeda. Kalau dia takut ketinggian, maka aku tidak. Dan aku cukup merasa menyesal karena belum pernah naik bianglala denganmu selama masih hidup sebagai dirinya."
Sehan mengangguk-angguk. Yang dijelaskan Nara memang benar. Dalam banyak aspek Nara dan Dain memang mirip, tapi bukan berarti mereka tidak memiliki perbedaan sama sekali. Perbedaan inilah yang masih menyadarkan Sehan kalau keduanya orang yang berbeda.
"Baiklah, ayo!" Ajakan Sehan membuat Nara mengangguk dan tersenyum riang. Tanpa perlu banyak basa-basi keduanya berjalan sambil bergandengan tangan ke bianglala.
Mereka harus mengantre saat akan naik. Sambil menunggu keduanya pun mengobrol dan saling melemparkan candaan. Sampai pada akhirnya tatapan Nara terantuk kepada sepasang suami-istri yang sedang bercengkerama dengan anak mereka. Sehan yang tahu ke mana arah tatapan Nara tertuju pun hanya bisa menghela napas lesu.
"Pasti kita sudah seperti mereka ya kalau kecelakaan itu tidak terjadi," lirih Nara. Sedikit banyak itu juga yang sejak tadi Sehan pikirkan, tapi dia sengaja tidak menyuarakan. Ironisnya, kalimat itu justru keluar dari bibir Nara.
"Mungkin," jawab Sehan sekenanya. Tidak ada yang pasti di dunia ini. Semua orang bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Begitulah cara kerja takdir. Kalau dulu Dain tidak mengalami kecelakaan, belum tentu juga mereka akan menikah dan membentuk keluarga bahagia. Itu sebabnya Sehan menjawab 'mungkin' alih-alih 'ya'.
Nara tampak ingin kembali bersuara, tapi urung karena giliran mereka naik sudah tiba. Gadis itu memilih untuk melupakan percakapan mereka barusan dan kembali bersikap ceria. Hal yang sama dilakukan oleh Sehan yang berubah antusias.
"Akhirnya aku naik bianglala juga!" Nara berujar senang saat bianglala mulai berputar pelan. Sehan tersenyum menanggapi. Mereka duduk berhadap-hadapan.
"Memang kau sejak kecil tidak pernah naik ini?" Sehan bertanya. Nara menggeleng.
"Sebelum aku ingat soal masa laluku sebagai Dain, aku tidak pernah naik bianglala. Setelah ingatanku kembali, aku bertekad tidak ingin naik bianglala jika itu bukan denganmu."
Sehan mengernyit heran dan ingin menanyakan alasannya, tapi Nara sudah lebih dulu melanjutkan, "Ada mitos kalau dua orang yang berciuman di atas bianglala maka cintanya akan abadi. Dan aku ingin membuktikan mitos itu."
Sehan belum sepenuhnya mencerna maksud perkataan Nara saat tiba-tiba gadis itu merangsek maju dan mendaratkan ciuman lembut di bibirnya. Ciuman singkat yang penuh ketulusan. Saat Sehan masih linglung, Nara justru menarik diri dan tersenyum manis. Entah mendapat bisikan dari mana, kini justru giliran Sehan yang maju. Mengambil tempat di sebelah Nara dan melakukan apa yang gadis itu lakukan beberapa saat lalu. Mencium Nara dengan penuh perasaan. Ada rasa rindu dan putus asa yang berpadu menjadi satu. Sisa putaran bianglala pun mereka lewati dengan berbagi rasa manis dari bibir satu sama lain.
*****
7 April 2002.
Ciuman yang awalnya penuh ketulusan itu kini semakin intens. Bibir yang awalnya hanya menempel, kini saling memagut mesra. Tangan Sehan meraih tengkuk Dain, seolah menahan kepala sang gadis agar tidak menjauh darinya. Kehabisan napas, keduanya pun mengambil sedikit jarak. Dua sejoli itu bertatapan intens dalam diam. Si pemuda pun menjadi orang pertama yang kembali mendekat, menekan candunya dengan kuat dan terkesan tidak sabaran. Sang gadis pun membalas tidak kalah tergesa. Keduanya tidak hanya berciuman kali ini, tapi juga saling meraba punggung satu sama lain.
Sehan pun membaringkan tubuh Dain di sofa tanpa melepas tautan mereka. Tangannya sudah bergerak jauh ke dalam kaos rumahan yang dipakai oleh kekasihnya, meraba perut ratanya. Membuat Dain melenguh karena kegelian dan sensasi menggeltik yang ditimbulkan oleh sentuhan s*****l itu. Keduanya sama-sama berdebar saat ini. Hasrat ingin memiliki satu sama lain kian kuat terasa. Mereka tidak ingin berhenti sampai di sini.
Puas dengan bibir, Sehan pun beralih ke rahang kemudian leher gadisnya. Dia tidak membuat tanda apa pun, hanya meninggalkan kecupan ringan di sana. Ya, kecupan itu memang begitu lembut, tapi jejak panas yang tertinggal di sana tetap begitu terasa.
Kegiatan panas itu sudah hampir berlanjut ketika tiba-tiba saja alarm di otak Sehan berbunyi dan membuat pemuda itu mengurungkan niat menarik lepas kaos Dain. Seolah seperti melihat hantu, Sehan segera menjauh dari tubuh Dain sambil menggeleng kuat. “Tidak-tidak. Aku tidak boleh melakukannya,” Sehan menggumam lalu mengusap wajahnya. Dain tampak bingung melihatnya.
“Ke-Kenapa, Oh?” Dain bertanya sambil menyentuh bahu Sehan pelan-pelan. Sehan kembali menggeleng.
“Kita tidak boleh melakukannya. Ini salah. Maafkan aku, Kim.”
“Kenapa tidak boleh? Aku mengizinkanmu, Oh. A-Aku juga … menginginkannya.”
Lagi-lagi gelengan pelan Sehan berikan. Dia menatap Dain lembut sambil tersenyum canggung. “Ini bukan soal kau mengizinkanku atau tidak, kau menginginkannya atau tidak.” Perlahan, tangan Sehan pun meraih tangan Dain, menggenggamnya erat. “Aku sangat mencintaimu dan aku ingin menjagamu sampai nanti kita benar-benar berjodoh di mata Tuhan.”
Kerutan di dahi Dain menandakan kalau dia sedikit tidak mengerti dengan apa yang Sehan bicarakan. Sehan pun terkekeh karenanya.
“Maksudku, aku ingin menjagamu sampai hari pernikahan tiba, Kim.” Sehan mengakhiri kata-katanya dengan menjawil hidung bangir Dain. Dain terkejut lalu berakhir tersipu.
“Me-Menikah? Kau ingin menikah denganku?”
Sehan mengangguk antusias. “Tentu saja aku ingin menikahi gadis yang kucintai. Memang kau tidak mau menikah denganku?”
“Bukan begitu!” Dain menyergah. Rona merah masih menghiasi kedua pipinya. Sambil tersenyum malu-malu, gadis itu berujar, “Tentu saja aku mau menikah denganmu, tapi itu kan masih lama sekali. Usia kita saja masih tujuh belas tahun.”
Sehan tertawa. “Ya, memang benar. Tapi, tidak ada salahnya kan jika kita menjadikan pernikahan sebagai salah satu impian masa depan kita?”
Dain tampak berpikir kemudian mengangguk perlahan. Senyum manis merekah di bibirnya. “Kurasa kau ada benarnya.”
“Tentu saja. Kapan aku pernah salah?”
Dain hanya berdecak. Sehan tertawa.
“Dain.”
“Hm?”
Raut Sehan tampak serius saat berkata, “Lain kali kalau aku hampir melewati batas seperti tadi, kau harus menghindariku, ya. Kau harus menolakku karena kalau itu berlanjut sampai akhir, aku akan merasa gagal menjagamu. Aku akan terus merasa bersalah padamu.”
Dain tersenyum dan mengangguk perlahan. “Iya, aku akan mendorong dan memukulimu kalau sampai kau melakukan itu padaku.”
Sehan tertawa yang disusul oleh Dain. Sang Gadis Kim pun beringsut memeluk pujaan hatinya.
“Terima kasih telah menjagaku, Oh Sehan. Di kehidupan selanjutnya aku berharap akan menjadi milikmu lagi.”
“Aku juga. Aku berharap kita akan bersama lagi di kehidupan-kehidupan selanjutnya. Selamanya.”