Kadang lebih baik tidak tahu apa pun daripada mengetahui segalanya karena semakin banyak yang kau tahu akan semakin banyak pula yang membuatmu terluka.
*****
"Kau kenal dia?" Pertanyaan Nara mengalun paska mobil Chanyoung melaju kencang meninggalkan kediamannya. Nara merasa aneh karena sikap Chanyoung yang buru-buru pergi ketika melihat Jeongin. Itu sebabnya dia mengira mereka berdua saling kenal.
Jeongin menggeleng sebagai jawaban, tapi dia tampak tidak begitu yakin. "Aku tidak kenal dia, tapi aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Di mana, ya?"
"Mungkin kau melihatnya di surat kabar atau berita televisi? Dia pewaris CY Hotel."
Mendadak wajah Jeongin berubah. Bola matanya melebar. "CY Hotel?"
Nara mengangguk cepat sambil menjawab, "Iya, dia Park Chanyoung. Adiknya adalah sahabatku di sekolah, itu sebabnya aku bisa diantar pulang olehnya."
Jeongin mengangguk paham. Seulas senyum terlukis di wajahnya, tapi terkesan begitu sendu. Hal ini tidak luput dari perhatian Nara.
"Kau kenapa? Wajahmu mendadak muram."
Jeongin terkesiap dan menggeleng pelan. Kali ini wajahnya menampakkan senyum menenangkan. "Aku tidak apa-apa kok. Oh ya, kemarin kau ingin melihat video tariku sejak dulu sampai sekarang, kan? Nah, kebetulan aku masih menyimpan file-filenya. Semuanya sudah aku copy ke dalam flashdisk itu."
Dengan wajah berbinar Nara pun menatap flashdisk dalam genggamannya. "Wah, ini hebat! Terima kasih. Aku tidak menyangka kau sampai meluangkan waktu hanya untuk memberiku ini."
"Sama-sama. Aku hanya merasa senang saja bisa berbagi kegemaranku dengan orang lain, apalagi jika orang itu mengaku sebagai pengemar beratku. Aku seperti mempunyai seorang penyemangat hidup." Jeongin menatap Nara cukup lama sebelum kembali berujar, "Entah kenapa aku merasa sudah mengenalmu jauh sebelum ini. Padahal kita baru saja saling kenal dan aku bukan tipe orang mudah menerima orang baru."
Nara menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. "Aku memang ahli membuat orang lain merasa nyaman dekat denganku, bukan?"
Jeongin terkekeh sambil mengangguk. "Kalau begitu, kau tidak keberatan kan jika aku menganggapmu sebagai adik perempuanku?"
Senyum bangga yang Nara tunjukkan perlahan berubah. Ada kesan haru yang terlukis di raut jelita itu ketika menjawab, "Tentu saja boleh. Bahkan jauh sebelum kita kenal seperti ini aku sudah menganggapmu sebagai kakak kandungku." Karena faktanya kita memang bersaudara, tambah Nara dalam hati.
Jeongin tersenyum lebar, pertanda kalau dia merasa senang mendengar jawaban Nara. "Kalau begitu mulai sekarang panggil aku 'Kakak', oke?"
"Siap, Kak!" Nara memasang pose hormat. Kedua orang bermarga Kim itu kompak tertawa. Jeongin mengacak rambut Nara gemas.
"Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu—"
"Lho, kenapa Kakak tidak mampir dulu saja?"
Jeongin menggeleng. "Sudah malam. Aku juga harus mencari materi untuk esok hari."
Nara mengangguk mengerti.
"Sana masuk! Kasihan orang tuamu pasti sudah menunggu."
Nara kembali mengangguk. "Hati-hati!" Gadis itu melambaikan tangannya, begitu pula dengan Jeongin yang mulai berjalan menjauh.
*****
"Apa yang kau lakukan di sini?" Sehan terkejut paska menemukan Nara sudah duduk manis di sofa apartemennya. Kehadiran gadis itu berhasil membuat rasa kantuk yang masih dirasakannya sehabis bangun tidur hilang dalam sekejap.
Yang ditanya malah tersenyum lebar dan menepuk-nepuk sofa di sebelah dia duduk, seolah tidak terpengaruh dengan keterkejutan sang empunya apartemen. "Duduklah! Aku sudah membawakanmu roti dan kopi."
Jawaban Nara yang sama sekali tidak sinkron dengan pertanyaannya membuat Sehan mendengus kasar. "Bukan itu pertanyaanku, Kim Nara."
Seketika wajah Nara berubah jengkel. Dia memalingkan wajah dan bersedekap. "Kau ini lupa atau pura-pura lupa?" ketusnya sambil melesakkan punggung ke sofa.
"Lupa soal apa?" Sehan tidak mengerti.
"Sekarang akhir pekan dan kemarin adalah hari terakhir ujian."
Wajah Sehan semakin tampak tidak mengerti. Otak pintarnya mulai berpikir mengenai maksud di balik perkataan gadis yang duduk di sofa apartemennya itu. Ah, benar! Ini pasti soal janjinya kepada Nara minggu lalu, tepat sebelum masa ujian dimulai.
Sehan meminta Nara untuk rehat sejenak dari misi membuat dirinya jatuh cinta agar fokus menjalani ujian. Namun, waktu tiga puluh hari yang mereka sepakati telah berjalan selama seminggu dan Nara tidak ingin kehilangan satu hari pun untuk tetap bertemu Sehan. Itu sebabnya Sehan bilang bahwa hari-hari ujian itu tidak masuk hitungan dan dia mengiyakan ajakan kencan di akhir pekan sehari penuh agar gadis mau menurut. Sekarang, Nara datang untuk menagih janjinya.
Sehan menghela napas berat. Nara tersenyum miring. "Sudah ingat?"
Mau tak mau Sehan pun mengangguk. Dia tampak menyesali janji yang telah diikrarkannya seminggu lalu pada sang Gadis Kim. Mau bagaimana lagi? Hanya itu yang membuat Nara mau menuruti perkataannya. Sehan tidak mau menjadi alasan Nara malas belajar kendati dia juga yakin bahwa gadis itu sudah cukup cerdas bahkan tanpa belajar dengan keras.
"Nah, kalau begitu kita sarapan dulu. Setelah itu, kau mandi dan bersiap."
Tanpa banyak bicara Sehan duduk di samping Nara dan melahap makanan yang sudah gadis itu siapkan untuknya. Nara juga melahap makanannya sendiri. Dia tampak bahagia.
Sebenarnya Sehan masih merasa tidak nyaman berdekatan dengan Nara. Bahkan rasanya dia menyesal telah mengiyakan tantangan dari gadis itu. Status mereka sebagai guru dan murid masih menghantui benak si Pria Oh. Selama ini Sehan hanya pasrah menerima segala upaya Nara untuk dekat dengan dirinya sebagai bentuk tanggung jawab atas kesepakatan mereka. Namun, Sehan juga tidak menampik bahwa semua yang gadis itu lakukan mengingatkannya kepada mendiang Dain. Itulah yang membuatnya semakin tidak nyaman karena dia takut. Takut kalau perasaannya berubah.
"Bagaimana ujianmu?" Sehan bertanya di sela kegiatan mereka. Sengaja mendistraksi pikirannya dari kemungkinan terburuk akan jatuh cinta kepada sang murid. Ya. Bagaimanapun, Sehan tetap guru Nara, jadi dia ingin tahu bagaimana gadis itu menghadapi ujiannya.
Senyum lebar yang sarat akan kesan bangga terlukis di wajah cantik Nara. "Tentu saja semuanya lancar. Aku kan jenius. Bahkan aku hanya butuh waktu sejam untuk menyelesaikannya."
Sehan ikut tersenyum mendengar celotehan Nara. Dia mengangguk-angguk. "Baguslah kalau begitu. Aku yakin kau pasti akan jadi juara umum lagi."
Sehan jadi teringat dulu saat masih sekolah. Kim Dain pasti akan mengeluh setiap kali habis ujian dan Sehan hanya mampu mendengarkan sambil terus menangkan sang kekasih. Dain akan mengeluh soal betapa beruntungnya Sehan karena punya otak jenius. Kini, sosok Dain yang hidup dalam tubuh Nara justru menjadi orang yang jenius, sama seperti dirinya dulu.
"Dan membuat Jaeyoon jengkel setengah mati karena tidak pernah berhasil mengalahkanku," imbuh Nara sambil tertawa. Entah kenapa gadis itu semakin terlihat ceria setiap harinya. Membuat wajahnya terlihat berkali-kali lipat lebih cantik.
Oh, tidak. Sehan mulai melantur sepertinya. Kenapa dia malah memuji kecantikan Nara? Sehan menggeleng keras untuk mengembalikan kewarasannya.
"Kau begitu dekat dengan Jaeyoon," Sehan mulai bersuara setelah sekian lama diam. Mendadak teringat saat Nara bercerita soal kedekatan keluarganya dengan keluarga Jaeyoon. Dia penasaran akan satu hal. "Kenapa kau tidak pacaran dengannya saja?"
Yang langsung menuai decakan sebal dari mulut Nara. Gadis itu menatap Sehan galak. "Memangnya kalau dekat harus pacaran? Dulu saja kita awalnya juga tidak berteman dulu kan sebelum akhirnya berkencan?"
"Itu ...."
"Aku paling tidak suka jika ditanyai hal semacam itu," dengus Nara sambil mengalihkan pandangan. "Aku punya berjuta alasan kenapa tidak bisa berkencan dengan Jaeyoon. Salah satu alasan terbesarku adalah kau. Hanya kau yang kupandang sebagai lawan jenis. Hanya kau yang aku cintai dari dulu sejak aku masih hidup sebagai Kim Dain sampai sekarang. Jadi jangan tanyai aku lagi soal siapa yang kukencani karena jawabannya adalah dirimu. Akan selalu dirimu." Nara tidak lagi melahap rotinya. Gadis Kim itu meletakkan roti dalam genggaman dengan sedikit kasar ke meja. "Nafsu makanku hilang. Kalau kau sudah selesai cepat mandi dan bersiap."
Sehan yang merasa bersalah buru-buru menyelesaikan sarapannya. Bergegas ke kamar untuk mandi dan bersiap kencan dengan Nara. Begitulah sarapan mereka berakhir pagi ini.