bc

Me & Her Memories

book_age16+
284
IKUTI
1K
BACA
reincarnation/transmigration
teacherxstudent
age gap
drama
sweet
straight
campus
city
highschool
first love
like
intro-logo
Uraian

Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba saja pada usia sepuluh tahun Kim Nara dapat mengingat masa lalunya. Bukan masa lalu biasa, melainkan kehidupan sebelum dia bereinkarnasi sebagai dirinya saat ini. Dulu namanya adalah Kim Dain, gadis berusia tujuh belas tahun yang meninggal karena tabrak lari.

Sejak berhasil mengingat masa lalunya, Kim Nara terus dihantui mimpi buruk soal kejadian naas yang menimpanya, tapi di sisi lain, harapannya untuk bertemu dengan orang-orang yang dicintainya semakin besar pula. Salah satunya adalah Oh Sehan, sang kekasih. Sayangnya, pertemuan dengan sang kekasih tidak seindah bayangannya. Reinkarnasi dan ingatan soal masa lalunya bak kutukan yang membuat mereka terancam tidak dapat bersama. Lantas, bagaimanakah akhir dari kisah cinta penuh liku ini?

Beautiful cover by : @dimagraphic_

chap-preview
Pratinjau gratis
Nightmare
“Setiap malam, aku disadarkan bahwa ujian terbesar cinta itu bukanlah kehilangan, melainkan kerinduan akan kenangan yang takkan pernah terulang.”   -          Anonim   *****   Seorang gadis berjalan sendirian di tengah kegelapan. Well, ini belum tengah malam, tapi suasana sekitarnya sudah sepi sekali. Tidak ada kendaraan yang lewat lagi, atau orang-orang yang berkeliaran di luar rumah—kecuali gadis itu, tentunya. Kalau saja bukan karena sang adik yang sedang sakit merengek minta dibelikan jus jambu dalam kemasan, ia juga tak akan sudi menerobos dinginnya udara malam untuk pergi ke minimarket seperti ini.   "Ugh, sial! Kenapa semakin dingin saja sih?!" omel gadis itu pelan sambil menggosok-gosok lengannya. Perjalanannya menuju rumah hanya tinggal beberapa beberapa ratus meter lagi, tapi ia sudah tidak sabar ingin segera meringkuk di atas ranjang sambil mendengarkan lagu favoritnya sebelum tidur, yaitu I'm Your Girl, dari grup S.E.S.   Mengingat lagu itu membuat sang gadis tersenyum malu-malu. Tidak hanya hanya karena lirik dan melodinya yang catchy, lagu lawas tersebut memiliki tempat tersendiri di hatinya. Lagu itu bagaikan gambaran perasaannya kepada sang pujaan hati.   Dia sedang apa, ya? Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya-tanya.   Sambil tersenyum memikirkan sang kekasih, sang gadis menoleh ke kanan-kiri guna menyeberang jalan. Namun, ...   Brukkk!   ... tiba-tiba saja sebuah mobil sudah menghantam tubuh kurusnya.   *****   Kim Nara tersentak dari tidurnya. Netra yang awalnya terpejam sempurna, kini terbuka lebar seketika. Jantungnya berdebar-debar, efek yang kerap dirasakan sehabis mengalami mimpi buruk yang sama. Ya, ini memang bukan kali pertama ia mengalaminya, tapi tetap saja ia tidak bisa terbiasa.   Bagaimana bisa kau terbiasa dengan hal yang buruk? Mengalami hal buruk berulang kali hanya akan meninggalkan trauma.   "Wow! Tidak biasanya kau bangun sepagi ini?" Sambutan itu menyapa rungu Nara begitu ia memasuki dapur. Jihyun, ibunya, sedang sibuk menyiapkan sarapan untuknya dan sang ayah, Junhwan dibantu oleh Bibi Ahn. Biasanya Nara baru bangun jika dibangunkan oleh Bibi Ahn atau ibunya. Tapi kali ini, gadis itu sudah tampak cantik dengan seragam sekolahnya.   Nara tidak menjawab. Dia langsung duduk di kursi meja makan sambil menghela napas pelan. Dengan tidak bersemangat mengambil dua helai roti tawar dan selai cokelat kesukaannya.   Melihat Nara tampak lesu membuat Jihyun merasa aneh sekaligus khawatir. Satu praduga muncul di benaknya mengenai penyebab sikap tidak biasa sang putri. Hanya ada satu hal yang membuat Nara bisa bangun sepagi ini. "Another bad dream?" tanya Jihyun langsung. Wanita itu bahkan sampai mendudukkan pantatnya di kursi sebelah Nara duduk.   Nara menghentikan kegiatannya yang sedang mengoleskan selai pada salah satu helai rotinya. Tawa miris terurai ke udara begitu saja dari bibir gadis itu. Dia tidak menjawab dan hanya membalas pertanyaan sang ibu dengan tatapan yang menyiratkan rasa lelah.   Tanpa perlu banyak bertukar kata, Jihyun langsung memeluk Nara. Berusaha membuat anak gadisnya lebih tenang lewat usapan pada punggung.   "Aku lelah, Bu. Sampai kapan mimpi itu akan terus menghantuiku?" lirih Nara sendu.   "Bersabarlah, Sayang. Ibu tahu ini begitu menyiksamu, tapi percayalah kalau suatu saat nanti mimpi buruk itu tidak akan datang lagi."   "Kurasa mimpi buruk itu tidak akan datang lagi jika aku bertemu dengannya, Bu," Nara berujar sembari menarik diri. Tatapan sendunya berubah menjadi tatapan penuh harap. "Aku harus bertemu dengannya. Dia satu-satunya yang bisa menyembuhkanku, Bu. Dialah penawar luka batinku."   Jihyun mengangguk cepat. "Iya, Sayang. Ibu tahu. Suatu hari nanti kau pasti akan bertemu dengannya. Kau hanya perlu bersabar sedikit lagi—"   "Tapi aku tidak bisa menahannya lagi, Bu. Aku sudah terlalu merindukannya."   "Tapi kita bahkan tidak tahu di mana dia sekarang, Sayang."   "Kalau begitu aku akan mencari tahu." Tekad Nara sudah bulat. Senyum penuh keyakinan muncul di wajah cantiknya. "Bagaimanapun caranya aku harus menemukan keberadaannya. Kami harus kembali bersama."   *****   “Kenapa mahal sekali?!”   Nara langsung berdecak begitu mendengar keterkejutan Lee Taejoon paska ia menyebutkan nominal yang harus dibayarkan untuk jasanya. Saat ini keduanya berada di atap sekolah, menjalankan transaksi jual-beli kunci jawaban ujian Sejarah Korea.   Hilang kesabaran, Nara segera angkat bicara, “Jadi kau mau jawabannya atau tidak? Kalau tidak, aku bisa—“   “Baiklah, aku mau!” Sambil menggerutu Taejoon mengeluarkan dompetnya dari saku celana, mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya kepada Kim Nara yang tampak menyeringai senang. “Ini!”   Nara berdecak senang dan segera menyambar segepok uang itu dari sang empunya. Kunci jawaban yang tersimpan rapi di saku jas sekolah ia berikan kepada pemuda di hadapannya.   “Kunci jawabannya seratus persen sama, kan?”   “Percayalah, semua pertanyaannya sama, mungkin hanya nomernya saja yang berbeda. Kalau sampai tidak seratus persen sama, aku berani memberikanmu cashback lima puluh persen, bagaimana?”   Taejoon tampak sangsi, namun tidak lama kemudian ia mengangguk. “Baiklah, aku pegang kata-katamu.” Lantas, si tampan itu pergi dari atap, meninggalkan Nara yang rupanya masih betah berdiri di sana.   Tidak lama setelah kepergian Taejoon, bel tanda masuk pun berbunyi. Bukannya segera pergi ke kelas, Nara justru tertegun menatap sesuatu di pinggiran atap. Perlahan, tungkainya membawa tubuh Nara mendekat ke sana. Senyum tipis menghiasi wajahnya ketika menemukan dua ukiran inisial nama yang dihubungkan dengan tanda hati, yang jika dibaca menjadi ‘K love O’.   “Dasar bodoh dan kekanakan!” bisiknya sambil tertawa kecil. Tapi justru inilah yang kurindukan darinya, imbuhnya dalam hati.   *****   Pernahkah kau merasa bosan melakukan sesuatu berulang kali? Jika ya, maka itu adalah hal yang wajar, terutama kalau apa yang harus kau lewati merupakan hal yang kau benci. Kadang itu juga berlaku untuk hal yang sebenarnya kau sukai, tapi kau dipaksa untuk melakukannya padahal kau sedang tidak ingin. Oh, atau lebih tepatnya keadaan memaksamu untuk menjalaninya seolah kau belum pernah sebelumnya.   Kim Nara berada di posisi itu dan ia sangat membenci situasinya saat ini. Itu sebabnya sejak kelas Bahasa Korea dimulai ia sama sekali tidak mendengarkan. Biasanya ia bahkan tidak hadir di kelas karena bosan. Ia selalu pergi ke atap untuk sekedar menikmati sepoi angin, atau ke klinik sekolah untuk tidur dengan alasan tidak enak badan. Masalahnya, kali ini ia tidak bisa mangkir lagi karena sudah ketahuan. Kemarin kedua orang tuanya dipanggil oleh Kepsek Jung dan ia mendapatkan peringatan keras.   Well, sebenarnya Nara adalah anak yang cerdas dan selalu mendapat juara umum sejak kelas 1 sekolah dasar. Namun, prestasinya sangat tidak sejalan dengan kelakuannya di sekolah yang bisa dibilang badung dan hobi membuat masalah. Bahkan akhir-akhir ini ia menyalahgunakan kecerdasannya untuk membuat kunci jawaban ujian yang kemudian ia jual ke teman-temannya.   “Kenapa kau harus menjualnya? Padahal kau kan bisa menyimpannya untuk dirimu sendiri? Apa kau tidak takut peringkatmu diambil orang lain?” Park Chaeyoung bertanya. Gadis bersurai panjang itu adalah sahabat Nara sedari hari pertama masuk SMA Hawon. Sekarang mereka sedang berada di kafetaria. “Lagi pula, kau kan berasal dari keluarga yang berkecukupan? Ayahmu seorang profesor dan ibumu seorang penulis, lalu kenapa kau harus mencari uang dengan cara begitu?”   “Ini bukan soal uang, Chae,” Nara menukas sambil mendengus. Ia mengangkat kedua bahunya lalu melanjutkan, “Aku melakukannya karena aku bosan dan ingin saja.”   “Termasuk dengan sering membolos dan tidur di kelas?”   Nara meringis dan mengangguk perlahan.   “Yang benar saja!” Chaeyoung menatap Nara tidak habis pikir. “Apa semua orang jenius itu sepertimu? Kau tahu? Kau itu aneh sekali.”   Tawa renyah Nara langsung terlempar ke udara mendengar perkataan sang sahabat. “Sejauh yang kutahu orang jenius memang suka melakukan hal-hal yang aneh, Chae.”   “Ya, kau benar. Dan kau tahu? Aku sungguh iri denganmu karena kau tidak pernah mendengarkan penjelasan guru, tapi selalu mendapatkan nilai sempurna. Kau terlalu cerdas untuk ukuran anak SMA, harusnya kau langsung kuliah saja. Aku sering mendengar soal anak-anak jenius yang bahkan sudah mendapat gelar sarjana di usia belia. Kurasa kau juga bisa seperti mereka.”   Nara tersenyum tipis sambil menggeleng yang membuat Chaeyoung menatapnya heran.   “Kenapa tidak? Bukannya kau sendiri yang selalu bilang kalau kau bosan harus selalu mendengarkan materi yang sudah kau pahami?” Chaeyoung bertanya.   “Ya, memang.” Nara menjeda cukup lama. Tatapan dan raut wajahnya perlahan berubah. Ia tampak seolah sedang menerawang. Tak lama kemudian, senyum tipis kembali terlukis di wajahnya sembari melanjutkan, “Tapi, aku juga tidak ingin melewatkan hal-hal yang belum pernah kurasakan sebelumnya, Chae. Aku ingin menikmati masa SMA-ku sebagaimana mestinya.”   Tidak ada balasan dari Chaeyoung. Gadis itu masih setia menatap Nara seakan meminta penjelasan.   Nara menghela napas dan berusaha menjelaskan, “Banyak orang yang percaya kalau masa SMA adalah fase terbaik di dalam hidup kita. Pada masa inilah kita menemukan banyak pengalaman yang tidak akan terlupakan dan tergantikan seumur hidup. Aku ingin mengalami semua itu, Chae. Itu sebabnya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku tidak mau melewatkan masa SMA terlalu cepat.”   Pada akhirnya penuturan Nara membuat rasa penasaran Chaeyoung terpuaskan juga. Gadis cantik itu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. “Termasuk menemukan cinta pertama, ya?” Chaeyoung memicing menggoda.   Sambil mengulum senyum Nara menjawab, “Itu salah satunya.”   Mendadak Chaeyoung jadi antusias. “Lalu apa kau sudah menemukannya?”   “Hmm ….” Nara seolah berpikir. “Aku sudah menemukannya sejak lama, tapi aku masih mencari sosok yang merupakan cinta pertamaku itu.”   “Hah? Maksudnya?”   “Ck! Sudahlah! Percuma bicara denganmu. Kau masih terlalu polos. Anak kecil sepertimu mana bisa mengerti?”   Chaeyoung tidak terima. “Nara! Aku kan bukan anak kecil lagi.” Wajah gadis itu tampak ditekuk. Alih-alih meminta maaf, Nara justru semakin menjahilinya.   “Eh, tapi orang itu bukan Lukas Hwang, kan?” Pertanyaan polos Chaeyoung kembali terlontar di tengah usahanya mengelak dari usaha Nara untuk menjahilinya.   Yang tentu saja langsung berbuah gelak tawa mengejek dari sang pemilik jawaban. “Tentu saja bukan! Mana mungkin dia? Seleraku jauh lebih tinggi daripada bocah tengik itu!” sungutnya.   Sungguh, Nara paling sebal jika harus berurusan dengan siswa bernama Lukas Hwang tersebut. Pemuda itu bagaikan penguntit yang tidak pernah bosan menganggu dirinya. Lukas begitu menyukai Nara, bahkan saking sukanya sikapnya seperti seorang maniak.   Sebenarnya Lukas itu termasuk dalam deretan siswa tampan dan populer yang tentunya digilai para siswi, tapi Nara sama sekali tidak pernah tertarik padanya. Bagi Nara Lukas itu menyebalkan dan sikapnya sok sekali. Tidak peduli seberapa banyak usaha pemuda itu untuk menaklukkan hatinya, Nara tetap tidak akan terpengaruh.   Kali ini giliran Chaeyoung yang tampak memicing menggoda Nara. “Hmm, kau yakin bukan dia?”   “Seribu persen bukan dia, Chae! Sudahlah, tidak perlu membahasnya! Aku jadi ingin muntah.” Setengah marah Nara bangkit dari kursi yang ia duduki. Meninggalkan Chaeyoung yang masih belum paham dengan apa yang terjadi dan baru sadar ketika sang sahabat sudah berada di ambang pintu kafetaria.   “Nara! Tunggu aku!”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.5K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
297.9K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.6K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
148.4K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
164.2K
bc

See Me!!

read
88.2K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook