Roller Coaster

1787 Kata
Tahukah kau apa hal tercepat di dunia? Saat kau jatuh cinta.   -          Kim Do Yeon, Alice (Korean Drama)   *****   Nara tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Dengan malu-malu melirik ke arah Sehan yang masih fokus mengemudi. Kencan mereka ditutup dengan makan malam di restoran dekat Everland dan kini Sehan mengantarkan Nara pulang.   Berbeda dengan Nara tampak begitu bahagia, Sehan justru banyak diam. Nara berpikir kalau pria itu merasa malu dan canggung atas apa yang mereka lakukan di atas bianglala tadi. Bahkan usai kejadian itu, Sehan justru meminta maaf. Padahal Nara yang jelas-jelas memulai lebih dahulu tidak merasa bersalah sama sekali. Baginya, reaksi Sehan sangat menggemaskan.   "Kau tidak perlu mengantarkanku sampai rumah. Nanti berhenti di depan minimarket saja," Nara berujar, memecah sepi yang melanda keduanya. Gadis itu masih melebarkan senyum di wajah.   Raut Sehan tampak sangsi saat merespons, "Memang jarak minimarket dan rumahmu dekat?"   Nara meringis. "Tidak juga. Tapi aku ingin beli sesuatu dan aku tidak mau ketahuan orang tuaku kalau berkencan denganmu."   Sehan menyadari sesuatu kemudian mengangguk paham. Dia berdeham pelan dan kembali tampak canggung. Membuat Nara tertawa dan Sehan mengernyit heran karenanya.   "Kenapa tertawa?"   "Habisnya kau ini menggemaskan sih! Kau sudah 34 tahun, tapi tingkahmu masih seperti remaja yang baru pertama kali berkencan."   Sehan hendak bersuara, tapi urung. Sepertinya pria itu terlalu malu untuk menimpali perkataan Nara yang dirasanya akurat.   "Dulu kita juga sering berciuman, bahkan hampir melakukan yang lebih daripada itu. Saat itu kau juga tampak canggung dan merasa bersalah padaku. Aku bisa mengerti karena kita memang belum pantas melakukan hal semacam itu. Tapi kalau sekarang kau merasa begitu juga, itu pasti karena status kita, bukan?"   Lagi-lagi Sehan hanya diam.   Nara kembali bersuara, "Andai saja kita bertemu lagi bukan sebagai guru dan murid, pasti kita tidak perlu canggung dan kucing-kucingan seperti ini, kan?"   "Belum tentu."   Sanggahan Sehan membuat Nara menatapnya meminta penjelasan. Sehan yang mengerti langsung menepikan mobilnya.   "Tidak ada jaminan bahwa aku akan langsung percaya padamu," ungkap Sehan dengan nada serius. "Belum tentu aku mau menerima kehadiranmu di sisiku untuk membuktikan kalau kau adalah reinkarnasi Dain. Tidak ada yang pasti di dunia ini. Kita tidak akan tahu hasilnya kalau belum terjadi, jadi kita tidak bisa hanya berandai-andai untuk mengetahui jawabannya."   Nara masih setia terdiam. Dia merasa Sehan masih ingin mengungkapkan beberapa hal lagi dan asumsinya terbukti ketika Pria Oh melanjutkan, "Sejujurnya statusmu sebagai muridku-lah yang akhirnya membuatku lebih mudah bersimpati padamu, termasuk soal menerima tantangan itu. Padahal aku juga tahu, semakin sering aku bersamamu, semakin aku sadar kalau kau memang mirip dengan Dain. Aku takut jatuh cinta padamu. Lebih daripada itu, aku takut menyakitimu dengan masih menganggapmu sebagai dia."   "Jadi itu sebabnya kau meminta maaf dan tampak canggung sehabis menciumku," Nara mencoba menarik kesimpulan dari apa yang Sehan paparkan. "Kau merasa kalau kau hanya terbawa suasana karena teringat Dain. Kau melihat dirinya dalam diriku."   Sehan hanya menunduk, tidak menjawab. Tanpa dijawab pun Nara sudah tahu jawabannya, jadi dia hanya tersenyum melihat sikap Sehan.   "Tidak apa-apa. Kau tidak perlu merasa tidak enak begitu."   Setelah mendengar respons Nara, Sehan baru berani menatap gadis itu.   Nara tersenyum menenangkan. "Aku masih punya tiga minggu lagi untuk membuatmu jatuh cinta padaku. Dari awal aku juga tidak masalah kok kalau kau masih melihatku sebagai Dain, bukannya Nara. Karena itu artinya, kau sudah menerima kenyataan bahwa aku dan Dain adalah satu jiwa. Yang penting kau harus mengaku kalau perasaanmu berubah padaku, seperti kesepakatan awal kita."   Mendadak raut Nara berubah usai berujar demikian. Dia memicing menatap Sehan. "Berarti yang tadi itu bukan tanda kalau perasaanmu padaku sudah berubah, ya? Kau belum jatuh cinta padaku."   Sambil mengusap tengkuk Sehan menjawab, "Kalau itu aku juga belum tahu. Masih sulit bagiku untuk membedakan mana perasaan untukmu dan mana untuk Dain."   Nara berdecak.   "Ya sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Lanjutkan saja perjalanannya."   Nara mengalihkan pandangan keluar mobil, tampak cemberut. Dia bahkan tidak menghiraukan Sehan yang masih sempat mengucapkan maaf sebelum menancap gas. Nara baru bisa tersenyum usai mendengar Sehan berkata, "Kalau aku sudah yakin dengan perasaanku padamu, aku janji akan mengakuinya."   *****   Minggu pagi yang cerah. Nara mengiyakan ajakan Jeongin untuk jogging bersama di taman kompleks. Sebenarnya Nara malas kalau harus bangun pagi, tapi karena yang mengajak adalah Jeongin dan masih agak kesal karena kejadian semalam, dia pun setuju. Hitung-hitung menghibur diri, pikirnya.   "Kau tidak biasa jogging, ya?" Jeongin berkomentar setelah putaran ketiga mengelilingi taman. Nara sudah tampak seperti akan mati kehabisan napas. Gadis itu menyengir sebagai jawaban.   "Aku memang tidak suka jogging."   Jawaban Nara membuat Jeongin terkejut. "Lalu kenapa kau iyakan ajakanku?"   "Karena yang mengajakku itu kau, jadi aku tidak ingin menolak. Lagi pula, aku pikir menghabiskan waktu bersamamu bisa membuatku melupakan rasa kesal pada ...." Hampir saja Nara kelepasan menyebut nama Sehan. Bingung harus bicara apa, gadis itu membiarkan kalimatnya rumpang.   "Pada siapa?" Jeongin bertanya. Nara mengibaskan tangannya.   "Bukan siapa-siapa kok. Hm, ayo kita cari minum!"   Jeongin tampak belum puas dengan jawaban Nara, tapi pria itu menurut saja ketika sang gadis menarik tangannya untuk pergi ke minimarket.   Sesampainya di minimarket, keduanya langsung menuju ke tempat minuman. Nara tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih minuman, berbeda dengan Jeongin yang tampak kebingungan. Melihat jus jambu, Nara pun mengambilkannya untuk Jeongin.   "Ini untukmu! Aku tahu, kau suka jus jambu, kan?"   Tidak seperti dugaannya, Jeongin justru menolak jus jambu pemberian Nara. Pria itu bahkan tampak begitu benci saat melihatnya.   "Tidak. Aku tidak suka jus jambu lagi." Kemudian, Jeongin mengambil minuman lain dan beranjak pergi dari hadapan Nara, membuat gadis itu dilanda kebingungan.   "Kakak!" seru Nara sambil mengekori Jeongin yang berjalan ke kasir. Tanpa banyak bicara Jeongin mengambil minuman Nara, sekalian membayarkannya ke kasir. Nara menahan diri untuk tidak mencecar Jeongin dengan pertanyaan yang bersemayam di benaknya.   Usai membayar, Jeongin melangkah keluar minimarket. Langkah kakinya yang panjang harus terhenti karena Nara menarik tangannya. Jeongin sudah hampir memrotes ketika Nara lebih dulu mencecarnya dengan pertanyaan, "Kau kenapa sih? Kenapa kau semarah itu saat aku ingin memberikanmu jus jambu?"   Jeongin sudah akan membuka mulut untuk menjawab, tapi pria itu lebih dahulu mengatur napasnya yang sempat memburu. Sepertinya dia tidak ingin melampiaskan amarah pada Nara yang sedang menuntut jawaban atas sikap anehnya.   "Jus jambu adalah penyebab tidak langsung kembaranku meninggal."   Jawaban Jeongin yang mengejutkan serta suara sendu pria itu saat mengatakannya membuat Nara terpaku. Dengan susah payah Nara meneguk saliva sebelum kembali melancarkan pertanyaan. Namun, suara sendu Jeongin yang mengalun membuat Gadis Kim urung bicara.   "Karena membelikanku jus jambu saat aku sakit, kakakku Dain menjadi korban tabrak lari. Dia meninggal sesampainya di rumah sakit." Nara bisa mendengar Jeongin mulai terisak saat mengutarakan itu semua. Namun, Nara tidak sanggup menatap wajahnya karena dia takut akan ikut menangis bersama pria itu.   "Andai saja waktu itu aku tidak rewel minta dibelikan jus jambu, dia pasti tidak akan mengalami kecelakaan itu. Dia pasti masih hidup sampai sekarang dan bisa mewujudkan mimpinya menjadi seorang penyanyi."   Tidak kuat lagi menahan diri, Nara pun beringsut memeluk Jeongin. Jeongin tampak terkejut, terbukti dari isakannya yang terhenti untuk beberapa saat. Namun, Nara memilih untuk abai. Dia hanya ingin memberikan Jeongin dan dirinya sendiri ketenangan.   Sambil menepuk-nepuk punggung Jeongin Nara katakan, "Kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri. Itu semua bukan salahmu, tapi si penabrak itu. Dialah yang telah merenggut kebahagiaan kalian."   "CY Hotel."   Kata-kata Jeongin membuat Nara mengernyit heran. Dilepaskannya dekapan pada Jeongin. Rautnya bertanya-tanya menatap pria itu.   "Si penabrak itu ada hubungannya dengan CY Hotel," jelas Jeongin dengan nada getir. "Sopir keluarga mereka adalah si penabrak kakakku. Bahkan saat pemakaman Dain Park Chanyoung juga datang."   "Dia datang? Kenapa? Maksudku, apa mereka saling kenal?" Sungguh, ini pertama kalinya Nara mendengar soal ini. Selama ini dia hanya fokus mencari keberadaan keluarganya dan Sehan. Dia tidak pernah mencari tahu soal sang penabrak dirinya.   Jeongin menggeleng. "Aku juga tidak tahu apakah kakakku dan Chanyoung saling kenal atau tidak, tapi saat itu Chanyoung tampak terpukul."   Ini aneh, Nara membatin. Seingatnya, Dain sama sekali tidak mengenal Park Chanyoung. Jangankan pria itu, CY Hotel saja Nara baru tahu karena berteman dengan Chaeyoung. Lantas, kenapa Chanyoung merasa seperti itu?   "Mungkin karena saat itu kami seumuran dan sopir pribadinya penyebab kematian Dain, makanya dia ikut merasa bersalah."   Asumsi Jeongin terdengar masuk akal bagi Nara, tapi entah kenapa gadis itu belum merasa puas.   Haruskah aku mencari tahu?   "Lalu, bagaimana dengan si penabrak?" Suara Nara akhirnya mengalun di tengah rasa penasarannya terhadap Chanyoung. Ya, si penabrak itu lebih penting sekarang. Dia ingin tahu bagaimana nasib orang yang telah merenggut kehidupannya.   "Dia ditangkap tidak lama setelah peristiwa itu terjadi dan dihukum 20 puluh tahun penjara."   Tidak ada yang bisa Nara lakukan selain mengangguk mengerti. Satu sudut dalam hatinya masih merasa marah kepada orang itu, apalagi setelah mendengar lama hukumannya. Bagi Nara ini semua masih belum adil. Pria itu harusnya mendekam seumur hidup di penjara atas apa yang dia lakukan, tapi Nara juga tidak bisa memrotes para penegak hukum. Mendengar bahwa si penabrak sudah dihukum saja itu sudah bagus daripada tidak sama sekali.   "Maaf ya, aku jadi cengeng begini," Jeongin berujar sambil menyeka pipinya yang basah. Dia meloloskan tawa malu. Nara tersenyum maklum dan menggeleng.   "Itu sama sekali tidak cengeng kok. Wajar kalau manusia menangis saat sedih, apalagi peristiwa yang dialami oleh kakakmu itu juga sangat menyakitkan."   Jeongin mengangguk. "Paling tidak sekarang dia sudah bahagia di alam sana dan pembunuhnya juga sudah mendapatkan ganjaran."   Nara mengangguk setuju.   Kebisuan melanda keduanya. Tiba-tiba terlintas di benak Nara untuk menyampaikan sesuatu kepada si Pria Kim. Awalnya tampak ragu, tapi pada akhirnya dia berani angkat bicara. "Sebenarnya ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu, tapi aku takut melihat reaksimu," ujar Nara pelan.   Jeongin mengernyit. "Memang kau mau bilang apa?"   Drrt! Drrt!   Percakapan Nara dan Jeongin terdistraksi oleh getaran di saku celana sang gadis. Nara segera mengeluarkan ponsel dan mendapati nama Jaeyoon tertera di layar.   "Tidak biasanya dia menghubungiku," gumam Nara aneh sambil menggeser ikon berwarna hijau di layar. "Ya, Jaeyoon?"   "Chae-Chaeyoung, Nara. Tolong ... Aku tidak tahu harus menghubungi siapa." Suara Jaeyoon terdengar panik dan bergetar karena tangis. Hal ini membuat Nara dilanda khawatir sekaligus bingung.    "Jae, kau kenapa? Katakan yang jelas! Chaeyoung kenapa?" Nara bertanya dengan nada panik. Jeongin menatap Nara bertanya-tanya perihal apa yang terjadi, tapi gadis itu hanya menggeleng.   "Chaeyoung mengalami tabrak lari dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit."   Jawaban Jaeyoon membuat bola mata Nara membulat seketika. "Rumah sakit mana?"   "St. Mary."   "Oke, aku ke sana sekarang juga."   Nara memutuskan sambungan dan menatap Jeongin dengan mata berkaca-kaca. "Sahabatku Chaeyoung mengalami tabrak lari dan sedang dibawa ke rumah sakit," jelasnya tanpa Jeongin minta.   Jeongin terkesiap. "Kalau begitu biar aku antar kau ke rumah sakit. Kau tunggu di sini saja, aku akan ke rumah untuk mengambil mobil. Mengerti?"   Nara hanya bisa mengangguk. Jeongin pun berlari ke rumahnya yang letaknya tidak begitu jauh dari minimarket. Meninggalkan Nara yang berteman dengan kekalutan dan kekhawatiran terhadap sahabatnya. Hanya satu yang Nara minta; semoga Chaeyoung masih diberi keselamatan, tidak seperti Dain dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN