Bagian 5. Maafkan Ayah, Nak

963 Kata
Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh. "Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam. Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar. "Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta. "Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah. Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri dan buah cinta mereka sedang tidak baik-baik saja, dan doa adalah salah satu cara untuk mengubah takdir itu. Sepanjang kaki menapak mencari tempat yang dituju, air mata terus menguntai di pipinya. Tak sedikitpun ia berniat untuk mengeringkan. Isak yang menjadi pusat perhatian orang sekitar, ia biarkan begitu adanya. Safwan membasuh wajah, juga organ tubuh yang lain. Sedikit sejuk dan tentram ia dapatkan. Setelahnya, ia khusyuk dalam sujud panjang, menyampaikan hajat pada Sang Pemilik jiwa. "Selamatkan Arlina, Ya Allah." Sesenggukan ia meminta. Tidak banyak kata yang sanggup laki-laki itu luahkan. Namun, dia percaya Allah tahu maunya. Safwan menghentikan munajatnya ketika ponsel jadul yang dia letakkan di samping kakinya bergetar. Nama Kak Arni muncul di layar, kakak pertama Arlina yang sedang menunggu di depan ruang operasi bersama Mak Yati. Gegas, dengan jantung berdetak kencang karena khawatir terjadi sesuatu, Safwan meraih benda itu dan menekan tombol hijau. "Safwan, anakmu telah lahir." Suara dari seberang bergetar. "Alhamdulillah," lirihnya menyambut, "Bagaimana Arlina, Kak?" "Arlina masih di dalam. Dokter ingin bicara tentang anakmu," sahut Arni. Jantung Safwan kembali berdegup kencang. Perasaannya kacau. Cemas segera merajai hati. Gegas ia beranjak dan setengah berlari kembali ke ruang operasi. Sepanjang perjalanan, beribu pikiran buruk melintas. "Jangan, Ya Robb. Jangan terjadi," lirihnya menepis ketakutan yang membayangi. Di depan ruang operasi, Arni berdiri tegang menyambut. Sedangkan Mak Yati luruh bersandar di kursi dengan air mata yang membanjir. Safwan menatap dengan rasa tak karuan. Ia panik. "Ada apa, Kak?" tanyanya cemas. Antara tak sabar dan takut untuk mengetahui apa yang terjadi. Arni menyusut sudut netra, "Dokter ingin bicara," ucapnya. "Anak saya mana, Kak?" tanyanya di luar apa yang disampaikan Arni. "Sudah dibawa bidan." Safwan menatap curiga, tetapi enggan menelisik lebih jauh. Ia melangkah takut menuju ruang di mana tadi ia bicara dengan dokter. Di tempat yang sama, tetapi dokter berbeda yang menyambut. "Suami Bu Arlina?" Dokter ini menyapa tak kalah ramah. Safwan mengangguk. Cemas masih bertahan di hatinya. Entah apa yang akan disampaikan dokter, hal itu benar-benar membuatnya takut. Bagaimana jika kabar buruk? Ia tak sanggup menerima. "Mohon maaf, Pak. Kami telah berusaha, tetapi putri Bapak terlalu banyak meminum air ketuban sehingga menghambat saluran pernapasan. Dia telah tiada beberapa saat sebelum lahir." Safwan terhenyak. Sendi-sendinya lemas. "Istri saya bagaimana, Dok?" "Istri Bapak masih dalam penanganan. Secara umum, hasil analisa kondisinya baik. Entah mengapa keadaannya lemah. Saya tidak tahu apakah ada beban psikologis yang mengganggu pikiran beliau. Apalagi dengan melihat kondisi janin yang diduga stres dalam kandungan. Yang pasti Ibu sangat butuh dukungan." "Tapi istri saya akan baik-baik saja 'kan, Dok?" "Insya Allah. Mohon bantu dengan doa. Tim dokter akan berusaha yang terbaik." Safwan mengusap wajah kasar. Tentu Arlina stres memikirkan persalinannya. Arlina tipe wanita yang tidak bisa melupakan suatu masalah. Sekecil apapun akan dipikirkannya dalam-dalam. Apalagi sejak gagal menagih utang untuk pertama kali, wanita itu memporsir tenaga dengan berjualan kue lebih banyak. Tidak hanya dititipkan ke warung atau diposting di sosial media, tetapi juga dijajakan berkeliling. Akan tetapi, dewi fortuna belum berpihak. Jajanan itu banyak yang kembali. Sedangkan penghasilan Safwan, sering kali dibawah lima puluh ribu. Sebab itu, BPJS menunggak dan Arlina tidak pernah bisa memeriksakan kehamilan ke dokter. Dia masih mengikuti posyandu, tetapi hanya sebatas pemeriksaan biasa. Tidak melakukan USG. Penghasilan Safwan hanya cukup makan secara sederhana. Yang penting kenyang. Tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi dengan baik. Pun beberapa uang yang ada, habis untuk modal kue yang tidak laku. "Anak saya ...." "Perawat sudah membawanya. Silakan Bapak urus di ruang jenazah untuk kepulangannya." "Innalilahi wa innailaihi rojiun." Safwan bersandar lemah di kursi. Allahu. Hatinya remuk. Bagaimana dia akan menyampaikan hal ini kepada Arlina? Bagaimana jika Arlina tidak mampu menerima, padahal kondisinya masih lemah? "Maafkan ayah, Nak. Maafkan Abang, Dek." Laki-laki itu sesenggukan. "Sabar, Pak." Dokter menepuk simpati pundak Safwan. Laki-laki itu mengangguk lemah. "Terima kasih, Dokter. Saya permisi," ucapnya lalu beranjak keluar. Kakinya bagai tak bertenaga menopang tubuh. Berpaut sebentar pada dinding, ia menumpahkan sedih dan sesal yang tak berkesudahan. "Maafkan ayah, Nak ...." ucapnya kembali seraya terisak pilu. *** "Pa, kok, mama lemas, ya?" Lesti mengurut dahi, meredakan sedikit pusing yang tiba-tiba mendera. Mereka baru saja tiba dari perayaan anniversary yang mengesankan. "Habis makan enak, kok, lemes?" goda Yusuf sambil tertawa kecil. Ia membuka pintu mobil. Kemudian berlalu begitu saja masuk ke rumah, tidak peduli pada Lesti yang tersandar lemas di kursi sampingnya. Lesti mengekor lemah di belakang, demikian juga Alif. Merasakan kondisinya baik-baik saja, perempuan itu justru meminta gawai Yusuf. Tidak sabar memilah foto yang tadi mereka ambil untuk di upload di sosial media. "Nanti saja papa kirim," elak Yusuf ketika tangannya hendak meraih benda persegi panjang itu. "Jangan kirim semua, ram hp mama gak cukup. Sini mama pilih saja." "Nanti saja, belum juga masuk rumah. Tidak sabaran sekali. Buat apa, sih?" "Iiih, papa kenapa, sih? Aneh." Lesti mendengkus. "Hp papa lowbat, dicas dulu." "Itu nyala?" "Iya. Tapi baterainya lemah. Nanti cepat rusak kalau tidak segera dicas." Dahi Lesti berkerut. Alisnya bertaut mendapati reaksi Yusuf yang tak biasa. Kemarin-kemarin tidak masalah dia memakai gawai suaminya itu kapan saja, bahkan saat baterainya hanya tersisa lima persen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN