Bagian 6. Safna Mehrunisa

1241 Kata
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra. Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu. "Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja." Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa. Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu. Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu terangkat. Bayi perempuan. Parasnya cantik. Ia tampak seolah sedang tersenyum dalam tidur. "Allahu Akbar," lirih Safwan kembali. Tergugu ia menatap wajah mungil itu. Tangannya menekan d**a yang seketika terasa nyeri. Jika dia seperih ini, lalu bagaimana reaksi Arlina nanti? Dia tidak sanggup membayangkan. "Bangun, Nak. Kalau kamu tidak bangun, kasian Bunda. Nanti dia mencari. Bunda pasti sedih kalau kamu tidak ada," ratapnya pilu. Mengusap pelan air mata yang menjejak basah, Safwan menghela napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri sejenak, memastikan cairan bening itu tidak mengalir untuk sesaat. Laki-laki itu mendekatkan wajah pada putri mungil mereka. Menahan segala pilu, ia mencium dahi dan pipi yang tak lagi hangat. "Astagfirullahal'azim," lirihnya. Safwan kembali terisak, cairan bening meluncur lagi dari sudut netra ketika kulitnya menyentuh tubuh mungil itu dan terasa dingin. Tubuh itu benar-benar telah beku. Hati pria itu tersaruk-saruk. Pedih kehilangan benih yang sangat ia tunggu, begitu menghunjam. Gemetar, Safwan meraih bayi yang seharusnya masih merah itu ke dalam gendongan, membawanya keluar dari ruangan duka itu setelah tadi administrasi ia selesaikan. Bayi itu harus segera dikebumikan. Bagai lunglai, Safwan tertatih menuju pintu keluar kamar jenazah. Lututnya terasa lemas tak bertenaga. Langkahnya berat mengarah pada ambulans yang telah siap membawa putrinya pulang. Di samping ambulans itu, Mak Yati dan Arni telah menunggu. "Cucu nenek." Mak Yati meraih tubuh beku itu dari Safwan. Lalu mendekap erat dengan tubuh berguncang. Cucu dari putri bungsu yang sangat dia sayang. "Arni saja yang pulang dengan Safwan. Umak menunggu sampai Arlina sadar," ucap Arni di sela deraian air mata, "Setelah pemakaman, Safwan segera ke sini lagi, mengurus Arlina di sini. Untuk urusan setelah pemakaman, selanjutnya biar Arni yang mengurus." "Kalau Umak sendiri menjaga Arlina, bagaimana jika ada yang perlu di urus, Umak tidak paham seluk beluk rumah sakit," ujar perempuan senja itu bingung. Dia buta dengan seluruh urusan administrasi. "Safwan akan segera kembali setelah pemakaman. Arni sudah menghubungi bapaknya anak-anak untuk persiapan pemakaman. Insya Allah menjelang sore semua akan selesai," tutur Arni. "Ya, sudah kalau begitu," lirih Mak Yati pasrah. Dia segera menyerahkan bayi mungil itu kepada Safwan, tetapi cepat di raih Arni. "Kamu pakai motor ikut di belakang ya, Wan. Biar Kak Arni yang di ambulans. Kalau kamu ikut di ambulans, nanti kembali ke sini lagi bagaimana?" "Iya, Kak." Safwan menurut. Ia bahkan sudah tidak bisa berpikir lagi tentang langkah apa yang seharusnya diambil. Benaknya linglung. Membiarkan ambulans melaju lebih dulu, Ia berjalan gontai menuju tempat di mana tadi memarkirkan kuda besinya. Segera setelah sampai, ia menghidupkan mesin, lalu melesat mengejar ambulans yang membawa jasad putrinya. Menarik kencang tuas gas, tak sedikitpun pikiran Safwan bisa lepas dari lingkaran kejadian ini. Wajah beku putrinya hadir bersama bayangan kepedihan Arlina. Seperti apa kepedihan istrinya kelak saat mengetahui putri yang sangat di damba tiada sebelum lahir, ia bahkan tidak mampu memperkirakan. Masih terngiang tawa ceria Arlina ketika kabar bahagia itu diterima sembilan bulan lalu. "Abang mau anak laki-laki atau perempuan? Aku mau perempuan," ucapnya dengan senyum ceria. Sudut bibirnya tertarik sempurna sehingga gigi ginsulnya terlihat nyata. "Memangnya kenapa mau anak perempuan?" "Ya, mau saja. Gemas." "Kalau abang mau keduanya," sahut Safwan tidak kalah ceria, "Kalau yang pertama perempuan, mungkin yang kedua laki-laki, kalau yang kedua tetap perempuan, mungkin yang ketiga laki-laki, kalau yang ketiga perempuan lagi, mungkin yang keempat ...." "Stop." Wanita cantik yang ia kenal semasa SMA, lalu sama-sama melanjutkan kuliah di kota khatulistiwa itu mengangkat telapak tangan. "Memangnya Abang mau anak berapa?" "Yang banyak pokoknya. Biar rame." Kemudian mereka tertawa bersama. "Kalau anak yang pertama ini perempuan, kamu mau kasih nama siapa?" tanya Safwan sambil mengusap perut Arlina yang saat itu masih rata. "Mmm ... Safna Mehrunisa." "Wow. Nama yang bagus, artinya apa?" "Safna, aku ambil dari Safwan dan Arlina. Kalau Mehrunisa itu artinya perempuan yang cantik." "Secantik mamanya tentunya," ucap Safwan menggoda. Ia menjawil nakal dagu Arlina. Wanita itu merengut manja. Begitu saja kilasan kejadian masa lalu itu mencipta kabut di netra Safwan. Gusar, ia mengusap wajah, membuang kabut yang mengaburkan pandangan itu. Seketika laki-laki itu berteriak seiring tangan yang menarik full tuas gas, "Aaa ...." Dia tidak peduli dengan pengendara lain yang memperhatikan. Dia hanya ingin menumpahkan segala sedih, juga sesal yang menggumpal di d**a, menciptakan sesak yang bagaikan tak berujung. Akan tetapi, gumpalan itu tetap saja ada. Lalu sisi terdalam hatinya merutuk Lesti, saudara yang sangat disayanginya, meskipun tahu perempuan itu selalu benci padanya. Dia sangat percaya bahwa Lesti pasti akan mengembalikan uang yang dipinjam tepat waktu. Namun, kenyataannya tidak sesuai harapan. Safwan menerima kalau ini adalah takdir, tetapi pangkal penyebab kejadian ini adalah ulah Lesti. Sikap Lesti yang menyebabkan Arlina merajuk, marah padanya, hingga bertindak egois tidak mau diajak ke rumah sakit sejak awal. *** Rumah sederhana Safwan sudah ramai dengan tetangga yang melayat. Segala keperluan pemakaman sudah disiapkan. Rumah yang merupakan peninggalan orangtua kandung Safwan, dirawat oleh Paman yang sekaligus ayah angkatnya, kemudian diserahkan ketika Safwan akan menikah. Jasad Safna sudah dibaringkan di ruang tamu, berselubung kain batik. Safwan yang baru saja tiba langsung luruh ke lantai, di samping putrinya. Bukan hanya kepergian bayi mungil itu yang membuatnya sedih mendalam. Akan tetapi, penyebab dari rangkaian peristiwa yang terjadi itu lebih-lebih menggores hatinya. "Bersihkan diri, Wan. Kita segerakan fardu kifayah Safna. Kata Arni kamu akan kembali ke rumah sakit lagi," ujar Regi, suami Arni. Dia yang sejak awal sibuk mengurusi segala persiapan pemakaman. "Iya, Bang," sahut Safwan lemah. Ia melangkah menuju kamar, mengambil handuk dan pakaian ganti, lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah bersih dan suci, ia kembali ke ruang tamu, menuju jasad putrinya. "Safwan ...!" Satu suara memanggil serak dari mulut pintu. Wanita paruh baya datang menghambur. Memeluk tubuh lunglai Safwan dengan linangan air mata. Dia Nurherita, bibinya sekaligus ibu angkatnya. Di belakangnya menyusul Muchtar, pamannya sekaligus ayah angkatnya. "Sabar ya, Nak," ucap perempuan itu menenangkan. Namun, cairan bening di pipinya sendiri menguntai lebih panjang. "Maaf ibu terlambat. Tadi ke rumah kakakmu Lesti dulu." "Iya, Bu. Tidak apa-apa," balas Safwan pelan. Mendengar nama Lesti, laki-laki itu mencelos. Hatinya dongkol. "Kakakmu tidak bisa datang. Tadi tiba-tiba pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Ibu juga turut mengantar tadi," tuturnya serak sambil menyusut air mata. "Iya, tidak apa, Bu," sahut Safwan lagi, masih dengan suara pelan. Mungkin memang sebaiknya Lesti tidak datang daripada hatinya jengkel melihat perempuan itu saat prosesi pemakaman putrinya, "Memangnya Kak Lesti sakit apa?" Ia tidak bisa menahan rasa ingin tahu. "Belum tahu. Dokter belum menyampaikan hasil pemeriksaan. Tapi kakakmu benar-benar tampak lemah. Kata Alif, sebelum pingsan kakakmu bertengkar sama suaminya," terang Nurherita, "Sudah, tidak usah pikirkan kakakmu. Ada suaminya yang mengurus. Kamu yang sabar. Banyak istighfar. Dampingi istrimu dengan baik. Pasti dia sangat terpukul." Safwan mengangguk takzim. Ya, untuk apa memikirkan Lesti. Kakaknya itu tidak pernah memikirkan dirinya, tidak menganggapnya ada kecuali jika hanya ada maunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN