Bagian 4. Kebahagiaan Lesti

1221 Kata
“Ma ..., sudah siap belum?” Di sudut bumi yang lain, Lesti sedang mematut dirinya di depan cermin, mengaplikasikan kuas dan spons make up pada wajah, fitting beberapa stel baju. Lalu memutuskan mengenakan model terbaru yang sedang trend. “Sebentar lagi, Pa ...!” serunya dari dalam kamar. Sementara Yusuf dan Alif sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu. “Lama sekali!” seru laki-laki itu tidak sabar. “Mama ‘kan harus tampil cantik, Pa,” ucap Lesti. Wanita itu sudah berdiri di depan yusuf. “Gimana?” tanyanya sambil bergaya memutar badan, memamerkan outfit yang dia kenakan. Gaun panjang yang pres di badan. Meskipun bawahan dan lengan panjang, tetapi model baju sempurna menunjukkan bentuk indah tubuhnya. Ditambah lagi, jilbab yang dia kenakan hanya pasmina yang melilit di leher. “Cantik, Ma. Kayak Syahrini,” puji Alif cepat. Lesti mengangkat bibir lebar. Ia bahagia. Terlebih ketika Yusuf pun turut melemparkan pujian yang membuat hatinya berbunga-bunga. “Mama pakai apapun selalu cantik,” ucap laki-laki itu sambil mengacungkan jempol. Pakaian indah nan mahal. Penuh bling-bling mirip gaun artis Syahrini. Tentu saja mempercantik siapa saja yang memakainya. “Terima kasih.” Senyum gigi geligi menghias bibir perempuan itu. Menceritakan sebahagia apa dirinya. “Ayo berangkat, nanti terlambat. Gak enaklah, kita yang ngundang, kita yang terlambat.” Yusuf yang tampak gagah dengan celana jeans dan kemeja hitam pas body, melangkah keluar. Diikuti Alif, remaja laki-laki mereka yang akan masuk sekolah menengah pertama tahun ini. “Papa tambahi uangku yang tadi terpakai lima ratus ribu,” ucap Lesti manja sambil mengunci pintu. “Iya. Gampanglah, itu. Ayo,” sahut Yusuf enteng mengiringi langkahnya menuju mobil. Bertiga, penuh senyum dan tawa bahagia mereka mengisi hari libur itu sesuai agenda yang telah direncanakan. Mobil yang dikendarai Yusuf membelah kota kecil Ngabang, menuju sebuah tempat makan yang cukup terkenal di kota itu. Rumah makan yang menyediakan menu dengan cita rasa sangat memanjakan lidah. Sebanding dengan harga yang ditawarkan. “Ini dia bos-nya. Baru datang,” ucap seseorang yang sudah menunggu di sana. Disambung beberapa yang lain dengan ucapan basa basi. “Tuan rumah malah baru datang,” sindir salah satu dengan nada berkelakar. “Maaf, sudah lama menunggu?” tanya Yusuf sambil menyalami satu persatu yang hadir. Tampak ada lima keluarga yang hadir, duduk di kursi dan meja memanjang yang sengaja di pesan dalam formasi demikian. Lesti dan Alif juga turut menyalami, kemudian duduk pada kursi yang kosong. Semringah mereka tak henti saling bicara dan melempar tawa. “Lumayan.” “Sory ... sory. Maklumlah nunggu bidadari bersiap, lama,” tawa Yusuf menggema, disambut semua yang hadir. “Makin cantik saja, Kak Lesti,” sanjung salah seorang istri yang hadir. “Ah, bisa saja, Jeng.” Lesti menepis tangan di udara. Senyum lebar tetap bertengger di bibirnya, enggan padam. Hatinya riang bahagia. “Happy anniversary. Semoga langgeng hingga kakek nenek. Semakin sukses,” ucap yang lainnya. “Aamiin ... Aamiin. Terima kasih.” Yusuf dan Lesti menyahut hampir berbarengan. “Ya pasti sukseslah, lihat penampilannya. Itu mobil baru lagi?” Pandangan mereka mengarah pada mobil Kijang Innova silver yang terparkir di luar. Warnanya cling menunjukkan bahwa mobil itu masih baru. Cengengesan, cukup bagi Yusuf menjawab tanya teman-temannya. Menunjukkan sikap yang terkesan merendah, tetapi sejatinya ia ingin pamer. Humble bragging. “Ayo-ayo dipesan. Terserah mau pesan apa. Jangan sungkan,” ucapnya. “Iya. Ayo silakan. Hari ini kita happy, merayakan hari bahagia,” sambung Lesti. Kemudian disambut riuh ungkapan riang dari semua yang hadir. Mereka memuji keroyalan pasangan itu. “Alif masuk SMP tahun ini ‘kan?” Sambil menunggu pesanan, mereka mengobrol tentang apa saja. “Iya.” “Daftar di mana?” “Yang pastinya sekolah terbaik, dong.” “Wow. Bukannya di situ mahal?” “Demi anak, apapun diusahakan untuk memberikan yang terbaik. Apalagi masalah pendidikan. Harus yang nomor satu.” “Berapa uang pangkalnya di situ?” “Lima juta. Belum seragam dan t***k bengeknya.” “Ya, sebanding, sih, dengan kualitas yang ditawarkan.” “Betul. Lulusannya selalu bersaing. Prestasinya siswanya banyak.” Hingga akhirnya sedikit norak, mereka semua berseru antusias ketika makanan yang dipesan datang. “Selfi dulu!” seru Lesti sambil sigap mengambil kamera, mengabadikan moment yang membahagiakan serta membanggakan untuknya. Tidak peduli di satu ruangan full AC, satu keluarga tengah berlinang air mata. Dia turut andil dalam menciptakan aliran air mata itu. “Ridhai Arlina ya, Wan.” Suara serak ibu mertua menyadarkan laki-laki itu. Segera langkahnya turut mengiringi brankar yang didorong tergesa. Arlina tampak memejam. Wajahnya pucat. “Sayang,” lirihnya memanggil. Namun, sosok itu bergeming. Safwan meraih tangan Arlina yang terbebas infus, terasa dingin dan terkulai. Hatinya tersaruk. Kembali butiran kristal melesak dari sudut netranya. “Kuat ya, Dek. Abang mohon,” pintanya. Memasuki ruang Bedah Central, hati Safwan menciut. Berbagai bayangan buruk menyapa seketika. “Astagfirullahal’azim,” ucapnya menepis pikiran yang dikendalikan setan barusan. “Hasbunallah wanikmal wakil,” lirihnya menentramkan hati. Perawat yang tadi mengantar, meninggalkan mereka di ruang yang diperkirakan Safwan sebagai ruang tunggu, lalu masuk ke ruangan lain. Tidak berapa lama muncul perawat lain dengan seragam berbeda, tidak putih-putih melainkan hijau-hijau dan menggunakan masker. Lengkap dengan kepala yang dilindungi semacam shower cap. Setelah itu, perawat yang mengantar itu pamit dan keluar ruangan. “Kita antri ya, Pak. Di dalam masih ada tindakan,” ucap perawat baru ramah menyapa. “Masih lama?” Antara tegang, takut, dan cemas, Safwan bertanya. Ia ingin Arlina segera ditangani, tetapi juga takut membayangkan perut sang istri akan dibelah. Terlebih dengan kondisi yang lemah seperti itu. “Tidak lama lagi, Pak,” jawab perawat itu dengan suara yang terdengar menenangkan. Kemudian kembali masuk ke ruang sebelumnya. Safwan menunggu penuh harap cemas. Ditatapnya wajah Arlina yang tampak masih memejam. Diusapnya lembut pucuk kepala perempuan itu, kemudian mengecupnya dalam. “Kuat ya, Sayang. Abang minta maaf atas semua kesalahan abang, atas keteledoran abang. Semua ini akan abang jadikan pelajaran berharga. Abang ridha atasmu. Berjuanglah,” ucapnya bergetar. Satu-satu air mata yang menguntai, ia biarkan semakin panjang. “Kuat ya, Sayang.” Kali ini laki-laki itu mengusap bagian perut yang membukit. “Berjuanglah bersama, Bunda. Ayah yakin kamu anak kuat. Kita akan bertemu sebentar lagi,” bisiknya. Perawat yang tadi datang menghampiri, “Dokter ingin bicara dulu, Pak,” ucapnya. Safwan mengangguk, hatinya berdebar tak karuan. Takut. Cemas, ia melangkah mengikuti perawat itu. Seorang dokter cukup senior terlihat menunggu di ruangan kecil. Maskernya melorot ke dagu. Rautnya sejatinya tenang, tetapi bagi Safwan tampak menegangkan. “Silakan duduk, Pak,” sambutnya ramah. “Terima kasih, Dok.” Tegang, Safwan mengambil posisi di depan sang dokter. “Begini, Pak. Dengan membaca rujukan dari rumah sakit pengantar, sebelumnya kami telah melakukan pemeriksaan terhadap istri Bapak. Hasil USG menunjukkan bahwa air ketuban Ibu Arlina keruh. Bayi lemah dengan berat badan kurang. Diduga janin mengalami stres dalam kandungan. Seharusnya hal ini dapat segera terdeteksi jika setiap bulan Ibu Arlina memeriksakan diri ke dokter kandungan.” Safwan tersandar lemas. Sejak uang itu dipinjam Lesti, tak sekalipun Arlina memeriksakan kandungan. “Tetapi semua sudah terjadi hingga hari ini. Jadi saya minta ijin untuk melakukan tindakan darurat jika nanti diperlukan.” Dokter itu mengulurkan sebuah kertas yang harus ditandatangani Safwan. “Lakukan yang terbaik, Dok,” sahut Safwan pasrah. “Ya. Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong Bapak bantu dengan doa. Karena kondisi Ibu dan janin sangat lemah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN