bc

Family & Debt

book_age16+
6.7K
IKUTI
45.6K
BACA
family
second chance
pregnant
goodgirl
drama
bxg
serious
realistic earth
punishment
wife
like
intro-logo
Uraian

TAMAT

Pada saat Arlina hamil lima bulan, Safwan meminjamkan uang simpanan persalinannya kepada Lesti, kakaknya. Safwan percaya ketika Lesti mengatakan bahwa uang itu akan dikembalikan bulan depan. Kenyataannya, hingga Arlina melahirkan, uang itu tak kunjung kembali. Arlina sudah menagih, tetapi Lesti selalu berkelit.

"Kakak sudah zolim, kelak Kakak akan menerima balasannya," ucap Arlina segera berlalu. Bagian belakang dasternya basah oleh air ketuban yang rembes sejak subuh tadi.

Cover : Itsaydesign

chap-preview
Pratinjau gratis
Bagian 1. Zolim
Zolim, jika kamu sengaja menahan hutangmu! *** "Dek, coba ke sini," panggil Safwan dari ruang tamu kepada istrinya--Arlina. Perempuan itu sedang berada di belakang rumah, mencuci baju. Di ruang tamu ada Lesti, kakak iparnya yang entah kenapa pagi-pagi sudah datang bertamu. "Ada apa, Bang?" tanyanya ketika sudah sampai di ruang tamu. Sembari menepuk-nepukkan tangan pada baju agar kering, ia duduk di samping Safwan, berhadapan dengan Lesti. "Ini, Dek. Kak Lesti mau pinjam uang, untuk mencukupi biaya pendaftaran Alif masuk sekolah." "Pinjam uang?" Seketika dahinya berkerut. "Iya, Ar. Bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair, kakak ganti." "Kakak gak salah pinjam ke kami?" Ia menatap perempuan yang sudah cantik dengan polesan make up, lengkap dengan outfit yang dikenakan. Jilbab yang hanya melilit leher, menampakkan kalungnya yang panjang melingkar. Cupingnya sedikit dikeluarkan, agar anting leluasa menjuntai. Baju yang membalut tubuh memiliki model lengan tujuh per delapan sehingga jelas terlihat susunan gelang gemerincing di tangannya. "Kata Safwan kamu punya simpanan untuk persiapan lahiran. Kakak pakai itu dulu." Spontan Arlina mengerling pada Safwan yang duduk tenang di kursinya. Wanita itu gemas ingin mencubit sedikit saja kulit laki-laki itu pada bagian mana saja. Sudah berapa kali ia katakan jika ada yang berurusan dengan uang, bicara dulu berdua, bukan langsung dihadapkan seperti ini. Semua harus didiskusikan terlebih dahulu. Sorot matanya pun protes, mengapa harus bercerita tentang uang itu? Bukan apa-apa, perempuan di depannya itu sudah jelek track record-nya tentang hutang. Senang mengulur waktu. Lagipula, secara pekerjaan, dia seharusnya lebih baik ekonominya. Suaminya guru bersertifikat. Lihat saja penampilannya, bak artis sosialita. Model baju dan tas selalu mengikuti trend artis, meskipun barang KW. Namun, demikian pun harganya jauh lebih mahal dari apa yang dimiliki Arlina. Sedangkan Arlina hanya mengandalkan jualan kue yang pesaingnya sudah menjamur. Suaminya ojek offline yang belakangan mulai sepi orderan, sudah jarang pengguna ojek di masa kendaraan bermotor sudah bukan barang mewah seperti saat ini. "Tapi itu untuk lahiran, Kak," ucapnya memelas. Berharap perempuan di depannya mengerti, "Aku juga belum belanja perlengkapan bayi." "Iya. Tahu itu untuk lahiran. Tapi perut kamu 'kan baru lima bulan. Lagipula kakak sudah bilang, bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair, kakak ganti uangmu." Suara Lesti meninggi. Arlina tersurut ciut, sekaligus dongkol. "Pinjamkan saja dulu, Dek. Kan lahiran kamu masih lama," ucap Safwan tenang. "Tapi, Bang ...." "Kamu takut aku tidak bisa bayar? Sudah kukatakan, bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair. Kalau tidak pun, dua bulan lagi aku dapat arisan. Get sepuluh juta." Lesti memotong ucapan Arlina. "Memangnya Kakak mau pinjam berapa?" Wanita itu pasrah. "Kata Safwan kamu ada lima juta." "Itu keseluruhan tabunganku, Kak." "Kakak pinjam semua." "Semua?" Mata Arlina membulat, "Jangan semua, lah, Kak." "Kalau gak semua, manalah cukup untuk biaya pendaftaran alif." "Masa Kakak gak punya persiapan sedikit pun untuk biaya sekolah Alif. Sekolah itu 'kan bukan kebutuhan mendadak. Lagipula, pegawai negeri punya gaji tiga belas 'kan untuk keperluan anak sekolah?' "Gaji tiga belas belum cair, ayo lah sini. Sudah siang ini. Bulan depan kakak ganti. Jangan takut." "Kasihkan saja, Dek." Lagi-lagi Safwan bersuara yang tidak menyenangkan hati istrinya. "Abanglah kasihkan," ucapnya menahan kesal. Empat bulan lagi melahirkan bukanlah waktu yang lama. Dia mengumpulkan uang itu tidak sebentar, sejak awal menikah satu setengah tahun lalu. Saat itu dia belum tahu kapan akan hamil. Namun, karena sadar sebagai bukan orang berada, dia harus pintar menyisihkan penghasilan untuk disimpan walaupun sedikit. Jika pun ada saudara yang membutuhkan, tidak harus semuanya dipinjamkan. Penghasilan mereka tidak tetap setiap bulan, bukan seperti Lesti yang bekerja atau tidak, gaji suaminya terus mengalir. Dia butuh cadangan jika sewaktu-waktu tidak dapat penghasilan. *** Satu bulan berlalu. "Uangnya sudah habis. Kakak pakai untuk bayar cicilan dan arisan. Terus sisanya kakak belikan AC. Soalnya kamar kakak panas," ucap Lesti santai ketika Arlina menagih. "Tapi, Kakak sudah janji mau bayar kalau tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair." Arlina menahan dongkol. "Iya. Tapi uangnya sudah habis, gimana?" sahut perempuan itu bagai tak berdosa. "Lha, itukan uang aku, Kak. Aku butuh, mau belanja keperluan lahiran." "Bulan depan saja, deh. Tunggu kakak dapat arisan." "Kalau belum bisa full, satu juta saja dulu, Kak. Aku butuh," mohon Arlina. Ah, siapa yang berhutang, siapa yang memohon? Yang punya uang justru seperti pengemis. "Bawel amat, sih! Uangnya sudah habis, ya sudah habis," sentak Lesti kasar. Memupus harapan Arlina saat itu untuk mendapatkan uangnya kembali. Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis yang tertata rapi itu. Perabot yang lengkap, dengan sofa yang empuk. Berbeda dengan rumahnya yang hanya memiliki kursi plastik. Pot dengan bunga yang cantik tersusun rapi pada rak, indah menghias teras. Perempuan dengan perut membukit itu tahu kisaran harga bunga-bunga itu, semua lumayan mahal. "Dapat, Dek?" tanya Safwan ketika langkah istrinya berhenti di samping sepeda motornya. Ia sengaja menunggu di luar, membiarkan Arlina saja yang menagih. Perempuan itu menggeleng, "Kakak kamu, tuh," ujarnya menahan tangis. Kesal, marah, sedih, bercampur baur. "Aku 'kan sudah bilang ...," lanjutnya. "Ya, sudah terlanjur," balas laki-laki itu ringan. Membuat tangis yang ditahan Arlina luruh karena jengkel yang tidak berlawan. "Sebal!" Wanita itu terisak, "Ayo, pulang," ucapnya setelah menghenyakkan tubuh di atas jok dengan kasar. "Kata Kak Lesti 'kan bulan depan dapat arisan, Dek." Safwan urung menghidupkan mesin kendaraan begitu melihat tangis di mata istrinya. "Entah! Ayo pulang!" sahutnya jengkel. *** Bulan berikutnya. "Uang arisan diambil Bang Yusuf, Ar. Kakak gak berani minta." Arlina menghela napas berat. Sesak. Rasanya ingin dia berteriak agar sesak itu lepas dari dadanya. "Tapi aku butuh, Kak." Alih-alih berteriak, suaranya justru memelas. "Ya, gimana?" Lesti mengedikkan bahu. Tanpa rasa bersalah terbaca dari rautnya. "Jadi, kapan Kakak mau bayar?" "Bulan depan kakak coba sisihkan dari gaji. Tapi gak bisa full." Lelah. Untuk kedua kalinya Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis itu. Ingin marah, mengumpat, tetapi percuma. Tidak akan uang itu seketika terganti hanya dengan dia marah. "Antar aku ke rumah Kak Arni, Bang. Aku mau pinjam perlengkapan bayi," ucapnya putus asa. Arni adalah kakak tertua Arlina. Safwan mengangguk, menjawab tanpa suara. Mengantarkan istri tercintanya ke tempat yang disebut. Ada rasa bersalah menelusup di hatinya. Dia yang tidak bisa memenuhi utuh kebutuhan Arlina, tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal uang itu dipinjam karena ulahnya. Dengan hamil besar, wanitanya masih harus membuat kue untuk membantu keuangan. Namun, justru hasil jerih payahnya dipinjam sang kakak. Teringat ketika setiap malam istrinya mengeluh sakit pinggang, mungkin karena kelelahan, hatinya semakin tidak nyaman. "Abang gak usah masuk, carilah tempat untuk gadaikan cincin ini. Berapapun, untuk bayar BPJS. Sudah tiga bulan menunggak," ucapnya sambil mengangsurkan cincin kawin dari jari manisnya. Laki-laki itu meringis perih. Bahkan BPJS yang hanya lima puluh ribu sebulan tidak terbayarkan. Zaman memang sedang sulit untuk mereka. Dulu, saat awal pernikahan, dia masih banyak orderan. Bahkan nyaris setiap hari mengantar pelanggan masuk kampung. Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, ojek dari ibukota kabupaten ke pedalaman cukup tinggi. Tiga ratus ribu rupiah sekali jalan, sangat mudah bagi mereka mengumpulkan uang kala itu. Jualan kue Arlina pun masih lancar, sebelum para penjual kue lain meniru produknya dan menguasai pasar. Kini, rezeki mereka sedang diuji. *** Meskipun pesimis, setelah satu bulan berlalu, pagi ini Arlina datang kembali menemui Lesti. "Ini, bawalah," ucap Lesti mengulurkan sebuah bungkusan besar. Arlina menilik isinya, setumpuk pakaian bayi bekas. Uang yang diminta? Nihil! "Itu punya Alif. Cuma kakak belum sempat cuci," ujar perempuan itu tenang, "Ambil saja, tidak usah dikembalikan." Arlina menerima bungkusan itu, lalu meletakkannya kembali dengan kasar. Bahkan sebagian besar pakaian itu sudah sobek dan bernoda. "Aku gak butuh, Kak. Punya Kak Arni jauh lebih bagus dan bersih. Saat ini aku butuh uangku untuk persalinan. Kakak mau menukar uang lima jutaku dengan pakaian bekas bernoda dan sobek ini?" tanyanya tajam, "Kakak sudah zolim. Dan kelak Kakak akan menuai akibat dari kezoliman ini." Perempuan itu berjalan kepayahan meninggalkan rumah Lesti sambil meringis memegang perut. Bagian belakang dasternya bercap basah oleh air ketuban yang rembes sejak tadi subuh.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.3K
bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook