3

1653 Kata
Luna memandangi wajahnya dicermin, ia melatih mimik wajahnya. Menggerak-gerakan bibirnya untuk tersenyum dan terlihat bahagia. Tidak semua orang akan mengerti bagaimana dirinya, tapi orang lain hanya akan melihat luarnya saja tanpa memikirkan perasaan orang lain. Rosita melihat putrinya keluar kamar memakai pakaian yang berbeda dari biasanya, ia jadi ingin tahu kemana Luna akan pergi. "Mau kemana, Nak?" tanya Rosita penasaran. "Aku mau kepernikahan Rani, Bu," ujar Luna. "Rani menikah, alhamdulillah. Semoga kamu menyusul ya, Nak," ucap Rosita. Luna hanya tersenyum mendengarkan perkataan Ibunya. "Hati-hati yaa, Lun," ujar Rosita melepas kepergiaan Luna. Luna melajukan mobil sedan Honda City berwarna putih. Ia ingin segera tiba dipesta pernikahan Rani. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Luna sudah tiba digedung pernikahan Rani. Ia melihat kaca spion dalam yang menempel pada plafon mobil bagian depan. Memperhatikan make upnya dan memulas kembali lipstik warna nude agar terlihat indah dibibirnya. "Sudah oke, nih. Saatnya masuk kedalam, semangat Luna," ujar Luna menyemangati dirinya sendiri. Luna melangkahkan kakinya secara perlahan menuju gedung pernikahan. Gaunnya yang panjang berwarna gold melekat indah dilekukan badannya. High heels berwarna senada semakin menunjang penampilannya. Luna bukannya tidak memperhatikan banyak mata yang melihatnya, ia hanya berpura-pura tidak memperhatikan hal tersebut. Saat melihat banyaknya antrian yang ingin menyalami pasangan yang menikah saat ini, ia mengurungkan niatnya untuk memberikan selamat pada Rani. Menunggu sepi dulu baru ia akan pelaminan Rani. "Nanti ajalah, aku makan dulu," ujar Luna yang mendengar suara perutnya berbunyi keroncongan. Saat Luna asyik mengambil makanan, ada dua orang wanita mendekati Luna.  "Selamat malam, Bu Luna," sapa Sinta dan Yesi secara bersamaan, mereka staf divisi keuangan yang tersenyum melihat Luna. Luna mengernyitkan alisnya, ia heran kenapa dua wanita itu menyapanya.  "Selamat malam juga," balas Luna. "Ibu sendirian aja?" tanya Sinta. "Iya." "Ga ada teman atau kekasih gitu Bu yang menemani?" "Ada apa ya tanya-tanya hal pribadi?" "Ga ada apa-apa kok, Bu. Cuma bertanya aja." "Ooh." Luna kemudian berlalu pergi dari hadapan Sinta dan Yesi. Ia berpikir tidak ada gunanya berbicara dengan kedua wanita itu. Ia yakin kalau hanya akan menjadi bahan berghibah mereka. Akhirnya setelah beberapa saat Luna menunggu, ia bisa mengucapkan selamat pada Rani dan Benson.  "Selamat yaa Rani, Benson. Semoga bisa menjadi keluarga Sakinah Mawaddah Wa Rahmah," ucap Luna tulus. "Terima kasih yaa, Lun. Semoga kamu segera menyusul," ujar Rani. "Aamiin." Luna memeluk Rani dengan erat, ia turut bahagia dengan pernikahan sahabatanya, Rani. Saat akan pulang tiba-tiba perut Luna mengalami hal yang tidak mengenakan, ia ingin segera kekamar mandi untuk menuntaskan hasrat yang ingin keluar dari dalam saluran pencernaannya. Ia berjalan terburu-buru menuju kamar mandi, sesekali terdengar bunyi kecil dengan aroma yang tidak mengenakan mengusik penciuman mengiringi jalannya. "Aduh, nih perut malah kentut sembarangan sih. Untung ga ada orang," gumam Luna. Luna menuntaskan semua beban yang ada di dalam perutnya dengan lancar, ada perasaan puas dan lega saat ia berhasil melakukannya. Saat Luna sudah selesai dengan kegiatannya, ia akan keluar dari bilik kamar mandi, tapi ia tidak jadi keluar saat mendengar ada orang masuk kekamar mandi sambil tertawa. Luna seperti mengenali suara itu, ia yakin itu suara Sinta dan Yesi. "Eh, lo perhatikan ga tadi wajah diperawan tua pas kita tadi nanya dia datang kesini dengan siapa?" ujar Sinta pada Yesi. "Iya dong. Tuh si perawan tua mukanya langsung jutek begitu. Sumpah gue mau ngakak, tapi gue tahan, hahaha." Tawa Yesi membuat Luna mendidih saat mendengarnya. "Gue seneng banget lihatnya, biar tahu rasa tuh si tua. Sok kecakepen dah dia," ucap Sinta. "Betul banget say. Puas gue udah ngerjain si perawan tua." Luna dengan cepat keluar dari bilik kamar mandi, ia ingin melihat secara langsung dua mahluk jadi-jadian yang bermulut nyinyir.  Sinta dan Yesi masih terus membicarakan Luna, tanpa mereka sadari kalau Luna sudah berada dibelakang mereka dengan wajah merah padam bagaikan memakai perona pipi berwarna merah bertaburan nemplok dipipinya. "Eh, kok gue melihat ada si perawan tua gentayangan di depan cermin kamar mandi, sih," ujar Sinta heran melihat cermin yang memantulkan wajah Luna. Yesi membalikkan badannya dengan cepat, membelalakkan matanya. Ia menyikut badan Sinta. "Apaan sih lo nyikut-nyikut gue. Sakit tahu!" protes Sinta. "Eh, Bu Luna kenapa ada disini? Sa-saya kira su-sudah pergi," ujar Yesi gugup. Sinta secara refleks ikut membalikkan badannya, ia tidak percaya orang yang mereka bicarakan kini berada tepat dihadapannya. "Udah selesai berghibah private nya," ujar Luna datar. "Bu-bukan seperti itu, Bu," sahut Sinta gugup. Yesi dan Sinta menjadi salah tingkah. "Kalau berghibah itu cari tahu dulu tempatnya aman dari radar sensor atau ga, jangan asal jeplak aja kalian. Aku kasih tips nih sama kalian, kalau mau berghibah harus benar-benar secara private ya. Kalau begini bukan berghibah private lagi namanya, tapi jadi berghibah general alias umum," ujar Luna melihat dengan tajam wajah Sinta dan Yesi. "Ma-maaf Bu," ujar Sinta dan Yesi secara bersamaan. Mereka sangat malu, acara berghibah private sudah berubah jadi berghibah general. "Untunglah saya bukan orang yang pendendam. Saya tahu pesona saya membuat kalian iri, tapi tenang aja. Pesona kalian berdua tidak akan mampu mengalahkan kecantikan saya yang sudah dari lahir. Saya hanya ingin mengatakan pada kalian, iri bilang bos," ucap Luna santai sambil berlalu pergi dari hadapan Sinta dan Yesi yang dengan mulut ternganga mendengar perkataan Luna. Luna berjalan dengan anggun dan angkuh, ia semakin menebalkan indra pendengarannya, bukan hanya alisnya saja ia tebalkan, tapi telinganya juga ia ikut tebalkan dengan segala perkataan orang lain yang hanya akan membuat toxic atau racun dalam hidupannya. ****** Hari ini adalah hari minggu, hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Hari yang pas untuk bersantai sejenak setelah sepanjang minggu ini sibuk dengan urusan pekerjaannya. "Luna... bangun Luna," teriak Rosita. Luna tidak memperdulikan teriakan Ibunya, ia menutup telinganya dengan bantal agar tidak lagi terdengar suara Ibunya. Ia kembali memejamkan matanya, melanjutkan mimpi yang bersambung bagaikan sinetron yang tak kunjung tamat. Rosita menelam salivanya, tenggorokannya terasa kering setelah berteriak-teriak memanggil putrinya, tapi tidak ada reaksi apapun dari Luna. "Nih, anak kalau hari minggu tidur udah kayak kebo aja. Susah banget dibangunin, kalau begini terus bisa jauh dari jodoh, nih. Apa perlu yaa aku pinjem toa masjid untuk membangunkan, Luna," ujar Rosita. Rosita mengambil kunci cadangan kamar Luna, ia bergegas masuk menuju kamar Luna sambil menenteng gayung berwana pink bermotif polkadot. Rosita sudah berada dikamar Luna, ia sangat kesal melihat Luna masih tidur dan salah satu bantal menutupi daun telinganya. "Pantesan, jadi begini kelakuan anak perawan jaman now. Mau aku teriak kayak apapun, nih anak ga bakalan denger." Rosita menarik bantal yang menutupi telinga Luna, hal tersebut sontak membuat Luna terbangun. Ia duduk diranjang dengan mata setengah memejam. "Bangun Luna!"  "Inikan hari minggu Ibu, biarkan aku tidur," ujar Luna sambil menguap. Saat Luna ingin kembali merebahkan badannya di atas ranjang, Rosita menyiramkan air yang ada digayung pink polkadot tepat diwajah Luna. "Yaa ampun, yaa amplop, yaa perangko. Ibu, apa yang telah Ibu lakukan pada anak perawanmu yang masih ting-ting ini," sunggut Luna. Mata Luna sekarang sudah terbuka, terbuka dengan lebar, membulat bagaikan kelereng. "Ting-ting, tong-tong atau apapun itu terserah kamu. Ayo bangun, mandi, dan segera jemur selimut yang basah itu!" Rosita memberi titah yang sulit dibantah Luna. Luna dengan wajah masam akhirnya menuruti perintah Ibunya tanpa bantahan. Jika membantah, ia yakin Ibunya tidak akan segan-segan membawa seember air dan mengguyurnya. Luna segera mandi dan menjemur selimut bermotif beruang dijemuran belakang rumah.  Untung saja tembok belakang rumahnya tinggi jika tidak, ia yakin tetangganya akan mengira kalau ia mengompol. Mau taruh dimana wajah cantiknya jika sampai ketahuan tetangga, bisa jadi bahan berghibah general lagi. Rosita mendekati Luna sambil membawa secangkir teh hangat, ia merasa bersalah sudah mengguyur putrinya. "Lun, sini bersantai dulu sama Ibu sambil minum teh. Ini Ibu gorengin bakwan jagung kesukaan kamu," ujar Rosita. Luna tersenyum lalu mendekati Ibunya. "Lun, rumah kita sepi ya." "Iya Bu," jawab Luna sambil mengunyah bakwan jagung. "Lun, kamu tahu ga—" "Ga tau, Bu," sahut Luna cepat sambil menggelengkan kepalanya. "Ibu itu belum selesai ngomong, kamu dengerin dulu." "Eh, iya Ibu ku sayang." "Ibu mau lanjutin lagi, nih. Anak Pak Broto yang sebelah rumah sudah melahirkan lagi, loh. Padahal anaknya seumuran sama kamu dan sudah memiliki tiga orang anak." "Wah, daebak. Produktif sekali yaa Bu. Top markotop." "Ish, kamu ini. Daebak, daebak aja yang diucapkan." "Memang Ibu ngerti yang arti daebak?" "Ngerti dong, kan Ibu suka nonton drama Korea yang Lee Min Ho itu." "Wah Ibu keren sekali, memang Lee Min Ho judul drama Korea apa yang Ibu tonton," ujar Luna sambil minum teh. "Yang judulnya Goblin. Si Lee Min Ho itu yang jadi goblinnya." "Ibu yang main Goblin bukan Lee Min Ho, tapi Gong Yo." "Oh, salah ya. Ibu kira sama aja, dimata Ibu mereka semua sama tetap Lee Min Ho." Luna dengan mulut ternganga mendengar perkataan Ibunya. Bagaimana bisa semua wajah oppa-oppa Korea nan tampan itu dimata Ibunya tetap sama? "Udahlah ga usah bahas drama Korea lagi, Ibu ingin kamu segera menikah, Nak." Rosita melihat Luna dengan raut wajah serius. Luna menjadi tidak enak mendengar perkataan Ibunya lalu berkata, "Ibu aku belum memikirkan tentang pernikahan." "Paling tidak kamu memiliki kekasih, Lun. Umurmu sudah 30 tahun, Ibu sangat berharap kamu memikirkan pernikahan diusiamu sekarang ini, Nak." Luna melihat perubahan raut wajah Ibunya yang mendadak sedih, ada perasaan bersalah dalam dirinya yang belum bisa memenuhi permintaan Ibunya. "Lun, kamu normal, 'kan?"  Luna tidak percaya mendengar perkataan Ibunya bisa sama seperti Rani. Mereka meragukan kebetinaannya alias kewanitaannya.  "Tentu saja aku normal Ibu. Aku bukan penyuka sesama jenis." "Alhamdulillah, Ibu sangat lega mendengarkannya Luna. Anak Ibu memang benar-benar wanita." "Idih, Ibu. Memangnya aku apaan sih. Ibu tenang aja, aku akan menikah saatnya sudah tepat." Luna menghela napasnya. "Menikah itu tidak semudah pemikiran orang lain, Ibu. Pernikahan menyatukan dua manusia yang berbeda pikiran, kebiasaan menjadi selaras." "Luna, jangan memikirkan hal tersebut, itulah arti pernikahan. Memahami pasangan kita, menerima segala kekurangan, dan kelebihannya. Ibu yakin kamu akan menemukan pria seperti itu. Ingat Nak, tidak ada manusia yang sempurna." "Iya Ibu. Luna akan mengingat semua pesan Ibu. Sayang Ibu." Luna memeluk Ibunya dengan manja. "Anak gadis Ibu. Ibu juga sayang sama Luna." Rosita membalas pelukan Luna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN