2

1210 Kata
Matahari mulai tersenyum dipagi hari, awan-awan tertata rapi dilangit yang terlihat memencarkam sinar yang telah menyilaukan mata seorang gadis. Seorang gadis yang masih meletakan wajahnya diatas bantal, seakan sulit untuk berpisah. Terlihat jelas jejak-jejak peta peninggalan prasejarah dibantalnya. Sayup-sayup Luna mendengar suara seseorang memanggilnya dengan kencang dari balik pintu kamarnya. "Luna... bangun Luna," panggil Rosita. Luna membuka matanya dengan perlahan, dia melihat jam diponselnya sudah menunjukan jam 9 pagi. Luna membulatkan matanya dengan sangat terkejut, ia tak menyangka terlambat bangun dan langsung membuka pintu kamarnya, terlihat dengan jelas wajah Rosita yang tampak marah. "Ibu, kenapa ga bangun aku? Ini udah jam 9 loh," rengek Luna. "Kamu ini yang tidur kayak kebo. Ibu itu sudah teriak-teriak kayak Tarzan memanggil kamu." "Ibu glantungan ga tadi diatas pohon pas manggi aku." "Lunaaaaaaa...." Ibunya berteriak semakin kencang. "Iya Ibu, aku denger. Ga usah teriak-teriak gitu, lihat tuh urat saraf Ibu jadi tegang, loh." "Luna...." "Iya Ibu ku sayang." "Mandi." "Nanti yaa, Bu." "Luna itu diwajahmu." "Kenapa Bu? Aku makin cantikkan." "Iiis, apa gunanya cantik, tapi kalau ada ilernya." "Akh ga apa-apa aku ada ilernya yang penting tetap cantik." "Udahlah sana mandi, Ibu mau berangkat kerja dulu." "Lah Ibu kok berangkatnya udah siang banget sih." "Tadi disekolah ada jam pelajaran lain, jadi Ibu bisa berangkat siang. Udah sana kamu cepetan mandi." "Iya, Ibu." Luna melihat Ibunya pergi keluar rumah, dia kembali sendirian di dalam rumah. Semenjak dia sudah jadi sarjana sebulan yang lalu, dia masih belum mendapatkan pekerjaan. Walau dia sudah memasukan lamaran kerja diberbagai perusahaan, tapi masih sekarang belum ada surat panggilan. "Aku ngapain ya sekarang." Luna melihat sekelilingnya. Semua sudah rapi dan bersih. Dimeja makan sudah tersedia makanan untuk ia santap. Dengan malas Luna melihat ponselnya, dia akan mengecek email dan semoga saja ia dapat panggilan kerja. Luna melihat tidak percaya ada sebuah pesan masuk diemailnya. Ia akhirnya mendapat panggilan kerja. "Akhirnya, selesai sudah status pengacara yang aku sandang sebulan ini," ujar Luna sumringah. Walau Luna berstatus pengacara alias pengangguran banyak acara, tapi tetap semangat menjalani hari-harinya. Luna memang tidak sepenuh menjadi pengacara, ia juga masih bekerja membantu Bu Yanti di tokonya. Luna mengambil ponselnya dan menghubungi Rosita. "Hallo Luna ada apa?" ujar Rosita. "Ibu... Akhirnya Ibu." "Akhirnya kenapa? Masa baru Ibu tinggal beberapa menit kamu kumat lagi, Kamu baik-baik aja, kan? "Ibu ini memangnya aku kumat gimana sih? Aku ini waras Ibu bukannya setengah ga waras." "Iya... Iya Ibu tahu kamu waras, kalau ga waras pasti kamu sudah masuk rumah sakit jiwa." "Yaa ampun Ibu tega amat sama anak sendiri." "Yaa udah cepetan kamu mau ngomong apa? Dari tadi kok muter-muter aja." "Ibu sih malah jadi begitu. Begini Bu, akhirnya status anakmu yang jadi pengacara ini akan berakhir, Bu." "Hah, apa kamu pengacara? Bukannya kamu itu kuliahnya ambil jurusan manajemen dan bisnis, kenapa bisa kamu jadi pengacara." "Yaa ampun Ibuku tersayang, maksud aku itu pengacara bukan pengacara sesungguhnya, tapi pengangguran banyak acara." "Owalah, mbok yoo ngomong kalau itu artinya. Mana Ibu ngerti, Lun." "Hehe, mangap dah Bu." "Mangap mulu sih, Nak. Bau kamu itu." "Udah akh ngomong sama Ibu, aku jadi jengkel sendiri. Begini dah Bu, aku dapat surat panggilan bekerja Bu." "Serius Nak. Alhamdulillah akhirnya anak perawanku mengakhiri statusnya menjadi pengacara. Aku sangat senang sekali, Luna." "Iya Ibu. Sampai jumpa dirumah Ibu." "Iya Nak, nanti sepulang kerja Ibu langsung pulang." "Ooh, iya Bu. Sekalian bawa es teler yaa pas pulang." "Siap juragan." "Iiih, Ibu." "Iiih, Luna." Luna tertawa mendengar perkataan Ibunya, ia beruntung memiliki seorang Ibu yang sangat menyayanginya. Walau Ayahnya sudah tak bersama mereka lagi, tapi Ibu lah yang bekerja demi membiayai semua kebutuhan mereka. Luna sangat menyayangi Ibunya lebih dari apapun. ***** Sekarang Luna berada didepan kantor perusahaan textile, ia menjadi salah satu staf divisi pemasaran. Luna memperhatikan ritme cara bekerja di sana, akhirnya diusia yang baru 24 tahun dia bisa bekerja diposisi yang dia inginkan.  Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, sudah 6 tahun Luna bekerja di perusahaan textile. Posisinya juga sudah berubah menjadi manager HRD.  "Pagi Ibu manager," sapa Rani sahabat Luna saat menjadi staf divisi pemasaran. "Eh, Ran ayo masuk." "Lun, gue mau kasih undangan, nih." Rani menyodorkan kartu undangan pada Luna. "Undangan? Undangan apa nih?" tanya Luna sambil mengambil kartu undangan dari tangan Rani. "Gue mau nikah, Lun," ujar Rani malu-malu. "Cie... yang akhirnya laku juga," ejek Luna dengan tertawa. Ia turut bahagia sahabatnya akhirnya menikah. "Enak aja laku, emang gue barang dagangan apa sampe laku-laku segala," kekeh Rani. "Hahaha, lo bisa aja sih, Ran." Luna tertawa lagi dengan reaksi sahabatnya. "Datang yaa, Lun." "Pasti dong gue datang." "Eh, Lun kapan lo nyusul gue?" tanya Rani. "Kapan yaa? Kapan-kapan dah. Gue belum mikir nikah, Ran," ujar Luna acuh tak acuh. "Lun, umur lo tuh udah 30 tahun, loh. Kalau bukan sekarang lo nikah kapan lagi? Mau sampe lebaran monyet?" "Lebaran kambing, Ran." "Lo yaa kalau gue bilangin aja ada alasannya. Diantara yang lain tinggal lo doang yang belum kawin, neng." "Kawin emang gue kucing pake kawin-kawin. Nikah kali akh biar sedap didengar." "Yaa udah dah, nikah. Kapan lo nikah?" "Kan udah gue bilang nanti lebaran kambing." "Luna, sahabat gue yang paling cantik, mempesona, nan aduhai. Gue bilangin lagi yaa, jangan cuman ngejar karir mulu. Lo juga harus memikirkan kehidupan asmara lo, Lun. Umur kita tiap tahun makin bertambah bukannya makin berkurang, masa lo mau jadi perawan tua sampe karatan, sih." Luna terdiam, ia tak bisa menjawab perkataan Rani. Selama ia hanya memikirkan tentang karirnya bukan tentang kehidupan asmaranya. "Lun, apa sih yang lo kejar lagi? Rumah nyokap lo udah renovasi, mobil lo udah selesai tuh kreditannya, tabungan gue yakin ada, trus punya suami kapan, Lun?" "Kejauhan deh kalau suami." "Gini aja deh, kalau suami kejauhan pacar aja gimana? Nah sekarang kapan lo punya pacar?" Luna semakin tak bisa menjawab pertanyaan Rani. Ia sampai usianya 30 tahun belum pernah berpacaran, ia belum memikirkan hal tersebut. "Nanti gue pikirin, Ran." "Lo harus pikiran! Kalau butuh bantuan lo tinggal chat gue, gue pasti bantu." "Terima kasih Rani. Lo memang yang terbaik dah." Luna memeluk Rani. "Udah... udah jangan peluk gue kenceng-kenceng, nanti dikira kita lesbiola lagi. Eh, jangan-jangan lo suka sesama jenis alias lesbiola lagi, Lun." "Astadragon, amit-amit jabang baby dah Ran. Lo yaa punya mulu seenaknya aja ngatain gue lesbiola, gesek biola aja gue ga pernah. Tega amat dah lo sama gue." "Yaa udin maapkan daku, Lun. Gue curiga boleh dong, tapi serius lo ga lesbiola, 'kan?" "Suer sekewer-kewer dah gue masih normal, gue juga doyan pisang bukan apem. Pikiran lo sungguh terlalu." "Gue cuma memastikan apa sahabat gue ini sukanya pisang. Syukur banget dah gue kalau lo ga lesbiola." "Cukup semua perkataan lo Esmeralda." "Baiklah Marimar, kita kembali kejalan yang lurus." Luna dan Rani tertawa bersama, mereka memang suka bercanda. Posisi Luna yang sebagai manager HRD dan Rani staf pemasaran tidak membuat adanya jarak diantara mereka. Persahabatan yang mereka jalin selama 6 tahun tidak membuat mereka sangat dekat. "Yang penting lo harus datang kepernikahan gue. Ga ada alasan apapun, selama ini lo kan ga pernah mau datang kalau ada kondangan kawinan." "Iye... iye... gue pasti datang. Apa sih yang ga buat lo, Ran." "Akh, gombal lo basi seperti s**u basi yang asem. Gumoh gue." Luna lagi-lagi tertawa mendengar perkataan Rani. Rani selalu bisa membuatnya tertawa dengan bahagia, ingin sekali ia mencubit pipi chubby Rani dengan gemas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN