bc

My Brondong

book_age18+
412
IKUTI
1.1K
BACA
friends to lovers
goodgirl
comedy
sweet
bxb
campus
city
office/work place
first love
office lady
like
intro-logo
Uraian

Luna diramal harus menikah sebelum umur 30 tahun dan karena itu ia gencar mencari jodoh.

Berbagai cara dilakukan, tapi ia malah dikintili berondong yang membual akan menikahinya dan menghidupinya secara layak. Kevin, berusia 20 tahun, anak kuliahan yang tak memiliki sepeserpun uang, bahkan dia mengatakan maskawin akan dibayar lunas kalau sudah berhasil membuat si Qonita hamil yaitu kucing milik seorang selebritis.

Akankah Kevin berhasil dengan niatnya?

Atau malah membuat Luna semakin ragu?

chap-preview
Pratinjau gratis
1
Luna berlari-lari kecil memasuki halaman rumahnya, rasa lelah sepulang sekolah berubah menjadi kebingungan. Ia melihat banyak sanak saudara berdatangan masuk ke dalam rumahnya.  "Luna sini, Nak," panggil Rosita. Luna berjalan mendekati Ibunya, dia memperhatikan kedua mata Ibunya yang memerah. "Ibu, kenapa menangis?" tanya Luna. "Luna sekarang kita tinggal berdua, Ayah sudah pergi untuk selamanya," ujar Rosita. "Kenapa Ayah pergi selamanya, Ibu? Kenapa Ayah tidak kembali pulang kerumah? Apa Luna membuat kesalahan?" tanya Luna kebingungan. Pertanyaan Luna malah disambut dengan tangisan, Rosita makin erat memeluknya. Ibunya mencium wajah Luna, melihat putrinya dengan pandangan syahdu. "Nak, kamu sayang Ayah?" tanya Rosita. "Sayang ... Sayang banget. Memang ada apa, Bu?"  "Ibu masih ingat sewaktu kamu lahir, Ayahmu lah orang pertama yang memelukmu. Di saat kamu sakit, Ayahmu juga ikut menunggu dan sangat khawatir padamu, Nak." Luna melihat Ibunya dengan kebingungan, dia masih bingung dengan perkataan ibunya. Sambil mendekap Luna dalam pelukannya, sang Ibu berkata, "Luna, Ayah telah tiada. Ayah meninggal dunia dan tak akan pernah kembali lagi." Berbagai pikiran berkecamuk di benak Luna, mencoba mencerna perkataan Ibunya. Secara perlahan ia mulai mengerti dengan kata 'tiada' dan ''meninggal dunia'. Luna terdiam, dia tak sanggup mengeluarkan satu patah kata pun. Raut wajah yang tadinya kebingungan sekarang seakan mendapatkan jawaban kenapa Ibunya menangis. Wajah Luna memucat, ia melihat pria yang selama ini mencari nafkah, menghidupinya kini terbaring kaku dengan wajah pucat pasi. Bibir Ayahnya tampak kecut dengan kelopak mata yang menutup rapat. Tidak ada lagi candanya saat aku menganggunya, kemarahan yang sering ia benci sekarang tak terdengar lagi, ia mulai kurindukan suara Ayahnya.  Bulir-bulir air mata terjatuh dipipinya, ia menggelengkan kepalanya perlahan, dadanya terasa sakit bagaikan teriris perih direlung hati yang terdalam. Rasanya baru kemarin Ayah baru memarahinya karena ia membolos. Ia ingin mendengar suara Ayahnya, walau hanya sekali saja. Ayah tolong marahi aku karena hari ini menangis.  Luna mendekati Ayahnya yang terbaring kaku. "Ayah ... Ayah bangun, jangan tidur terus Ayah. Aku janji ga akan nakal dan ganggu Ayah, tapi Ayah harus bangun." Suara rintihnya terdengar pilu, menyayat sebagian sanubari saat tubuh yang kini terbaring kaku ditangisi sanak saudara. Rosita mendekati putrinya memeluknya dengan erat, membelai lembut rambut Luna.  "Sayang ... relakan Ayahmu. Ayah sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Anak Ibu harus sabar dan ikhlas," ujar Rosita dengan suara bergetar. Luna menangis di dalam pelukan ibunya, ia memeluk erat tubuh wanita yang telah melahirkannya. Rosita berusaha tegar menyemangati Luna, walau ia sendiri juga seakan rapuh bagai raga tak bertulang. Separuh jiwanya telah pergi untuk selamanya. Di acara pemakaman Ayahnya, Luna hanya bisa meratapi saat secara perlahan jasad Ayahnya masuk kedalam liang lahat. Matanya melihat nanar kepergian sang Ayah yang tak akan pernah kembali lagi kedunia ini. "Ayah, terima kasih telah memberiku kasih sayang dan sudah menjadi Ayahku yang terbaik. Ayah akan selalu di hatiku, meski raga dan suara Ayah tak bisa lagi ku dengar," ujar Luna lirih. Setahun sudah berlalu, Luna masih merindukan Ayahnya. Rumahnya sudah tak seperti dulu lagi, seakan ada yang kurang dalam kehidupannya. Kepergian Ayahnya membuat dia mengerti bahwa rindu yang paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang telah tiada. Waktu terus berlalu, Luna dan Rosita harus melanjutkan kehidupan mereka. Hanya doa-doa yang bisa Luna panjatkan diantara sajadahnya.  *** Luna memasuki sekolah menengah pertama, ia melihat dengan getir. Banyak anak seusianya pergi kesekolah diantar kedua orang tuanya. Dia sangat ingin seperti mereka, tapi kenyataannya berbeda, ia tidak bisa seperti anak-anak yang lainnya. Ayahnya sudah 'tiada' dan Ibunya harus bekerja. Rosita, Ibunya bekerja sebagai guru sekolah dasar tidak memungkin untuk mengantarnya. Seorang anak lelaki seumuran Luna menghampirinya.  "Eh, lo sendirian?" tanya pemuda tersebut. "Ga, kan ada lo jadinya ga sendiri." "Kenalan boleh ga?" "Ga." Luna pergi meninggalkan pemuda yang tampak terkejut melihatnya pergi begitu saja. Hari-hari Luna di SMP tidak banyak kejadian menarik. Luna hanya belajar dan belajar. ******* Tanpa terasa waktu terus berlalu sekarang Luna sudah berada di sekolah menengah atas. Dia tidak sama seperti anak-anak gadis sebaya dengannya, dia memilih untuk bekerja sambil sekolah. Saat bel sekolah berbunyi semua anak disekolah bersiap-siap untuk pulang kerumah mereka. Nadia teman sebangku Luna tersenyum ramahnya. "Lun, pulang sekolah ikutan nongkrong, yuk. Gue mau sama anak-anak lain mau jalan, nih," ajak Nadia. "Aduh sorry yaa, Nad. Sebenarnya gue pengen sih nongkrong sama lo, tapi gue mau kerja," tolak Luna. "Ga asyik akh lo. Ayolah gabung sama kita-kita, jangan cuma belajar, kerja aja lo. Nikmati masa-masa muda, kejayaan dan kecantikan yang mempesona jangan sampe telat ntar bisa karatan lo."  "Haha, lo tuh yaa bisa aja ngomongnya, seandainya gue bisa kayak lo gitu pasti gue mau, tapi gue harus kerja. Lain kali gue gabung." "Terserah lo dah. Gue ajak seneng-senang malah ga mau. Lo sendiri yang rugi kehilangan masa-masa indah di SMA." "Terima kasih banget yaa, Nad sama perhatian lo but sorry banget gue ga bisa gabung." "Yaa udin, bye Luna. Nikmati hidup lo yang membosankan itu." Nadia berlalu pergi dari hadapan Luna. Luna menghela napasnya, dia memang bukan gadis terkenal dan gaul seperti Nadia. Walau seperti apapun perkataan Nadia tentangnya, dia memilih tidak mempedulikannya. Ia menyukai kutipan dari Steve Jobs, "Don't let the noise of other's opinions drown out your own inner voice." Luna bukannya tidak ingin mendengarkan perkataan orang lain, tapi belum tentu perkataan orang lain itu baik, seringkali hal tersebut terjadi dan mempengaruhi keputusan yang akan diambil. Luna tidak akan menghambur-hamburkan uang hanya untuk berfoya-foya. Keadaan finansialnya yang tidak memungkinkan untuk dia melakukan hal tersebut. Begitu tiba dirumah Luna bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan celana jeans dan kaos. Rambutnya yang panjang dia sisir kembali dan ia ikat ekor kuda agar terlihat lebih rapi. Ia segera menuju ke toko tempatnya bekerja. "Assalamualaikum, bu Yanti," sapa Luna dengan sopan pada pemilik toko sembako. "Untunglah kamu sudah datang, Lun. Sini gantian jaga kasir, ibu capek banget, nih," ujar bu Yanti dengan raut wajah lelah. "Baik bu. Istirahat aja." "Terima kasih yaa, Lun. Ooh iya aku lupa bilang, nanti kamu kerokin aku ya." "Ok bu." Luna tersenyum, dia beruntung memiliki bos yang baik. Statusnya yang masih pelajar tidak menghalanginya untuk bekerja. Dia bekerja di toko sembako saja sudah sangat bagus, sambil menunggu pembeli datang, Luna membuka buku-buku pelajarannya.  Langit semakin senja, matahari mulai tenggelam digantikan oleh sinar bulan di dalam kegelapan malam.  "Bu, jadi ga dikerokin. Saya sudah tutup toko." "Tentu jadi dong, Lun. Rasanya pegal-pegal semua nih badan." Luna menggerakan jari-jemarinya dengan lincah, menggerakan uang koin seribu rupiah diantara punggung Bu Yuli. Membentuk tanda-tanda kemerahan panjang melintang dari ujung keujung. *** Status Luna sekarang berganti, dari seorang pelajar SMA menjadi mahasiswa jurusan manajemen dan bisnis di salah satu universitas negeri di Jakarta. Apalagi ia mendapatkan beasiswa parsial saat masuk ke kampus tersebut, tak percuma selama ini ia belajar dengan tekun. Beasiswa parsial itu merupakan bantuan dana yang menutupi biaya study. Luna hanya fokus untuk kuliah, jika nilainya tidak memenuhi persyarat beasiswa, ia akan kehilangan beasiswanya. Terkadang ada perasaan iri melihat mahasiswa lain yang malah tidak serius kuliah, ada beberapa mahasiswa walau tidak semuanya menjadikan kampus ajang mencari jodoh, tapi itu semua tidak berlaku untuk Luna. Dia belum pernah berpacaran layaknya gadis seusianya. 3 tahun 6 bulan berlalu, Luna sangat bahagia, dia tidak menyangka dia bisa lulus nilai c*m laude. Rosita sangat bangga pada Luna, ia menangis bahagia putri kesayangannya yang mandiri sudah lulus menjadi Sarjana Manajemen Bisnis.  Setelah acara kelulusannya, Luna, dan Rosita pergi ke makam Faisal, ayah Luna. Setelah memanjatkan doa di samping pusara tempat peristirahatan terakhir Ayahnya. "Ayah, sekarang aku sudah lulus kuliah. Aku sudah menjadi seorang sarjana Ayah," ujar Luna dengan air mata mengalir di pipinya. Luna dan Rosita berpelukan, mereka berdua saling menguatkan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
114.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
18.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
217.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
199.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook