Seikat Janji di Masa Lalu

1752 Kata
Felora pernah sangat drop, membuat semua orang menangisi, berpikir akan kehilangan dirinya. Saat itu, Felora baru tahu tentang identitasnya. Kenyataan jika Halim Benjamin Lais, pria yang menyayanginya dan dia pikir ayahnya, bukanlah ayah kandungnya. Felora adalah putri dari Kikan bersama suami sebelumnya. Perawatan berhari-hari akhirnya bisa membawa kesehatan Felora kembali membaik. Hanya tetap ada yang membuatnya sedih. Halim dan Kikan kompak meyakinkan Felora jika keadaan tak akan berubah. Bagi Halim, Felora adalah putri satu-satunya. Kesayangannya. Malam ini langit penuh bintang, angin sejuk membuat Felora enggan beranjak dari balkon lantai dua rumahnya. Pintu sekaligus jendela yang terbuka membuat Halim menemukan putrinya duduk di sana. Di sebuah ayunan sambil melipat kaki. Ayunannya bergerak. “Chocolate girl, belum tidur?” “Belum,” jawabnya. Kemudian bergeser. Halim mendekat, duduk bergabung di ayunan tersebut. Ia memerhatikan putrinya. Felora lalu bersandar pada ayahnya. “Aku habis menonton film, Ayah. Tentang perempuan muda yang mengalami penyakit kanker otak. Aku enggak suka saat ada adegan dokternya mendahului Tuhan dengan mengatakan usianya hanya tiga bulan. Iya sih itu film, tapi kalau di dunia nyata. Apa ada yang seperti itu? Dokter kan profesi menolong manusia lagi sakit. Dia pasti tahu kondisi pasiennya, dengan pernyataan begitu, sama saja mendorong asa pasiennya, kan?” Halim diam, mendengarkan putrinya. “Jangan dilihat kalau kamu tidak suka filmnya.” “Tetap saja aku menonton sampai akhir,” Felora lalu menjauhkan kepala dari bahu ayahnya, menatap pria yang mengisi peran Ayah yang ditinggalkan oleh seseorang. Bahkan Felora belum pernah bertemu secara langsung. Pria itu menghilang, tak bertanggung jawab. “Ayah kan dokter, menurut Ayah usia Felora berapa lama lagi—“ “Felora,” Halim menegur putrinya, tak suka dengar ucapan putrinya. Felora tersenyum, Halim menatap putrinya lekat, “kalau ayah bisa memutuskan, Ayah maunya Felora panjang umur. Sudah itu saja.” Felora terkekeh, mengangguk. “Kapan transplantasinya, Ayah?” “Ayah tidak bisa memastikan.” “Apa transplantasi itu sungguh menakutkan?” “Itu operasi yang besar, kamu pasti sudah pelajari dari jurnal secara garis besar tindakannya, kan?” “Iya. Uhm ayah... kalau waktunya tiba, sebelum transplantasi aku boleh minta sesuatu?” Kening Halim mengernyit, “hadiah? Kamu minta sekarang juga pasti ayah penuhi selama Ayah mampu.” “Bukan sekarang, tapi nanti.” Halim mengangguk, “Ya, apa pun yang kamu minta nanti. Jika bisa buatmu berani melakukan transplantasi jantungmu, Ayah akan berikan.” “Apa pun?” ulang Felora memastikan. “Selama Ayah mampu, juga logis permintaannya.” Halim menyanggupi. *** Felora menunggu dengan gelisah, beberapa kali ia memastikan jam sudah bergerak mendekati waktu yang Sagara janjikan. Entah jam sebelas sudah sampai di rumahnya, atau justru Sagara baru berangkat dari tempat kakeknya. Huft! Felora menghela napas dalam-dalam, Halim menatap putrinya, “kamu kelihatan lagi cemas, kenapa?” “Eh, Ayah...” Apa dirinya benar-benar seperti buku yang terbuka? Mudah dibaca oleh ayahnya bahkan orang-orang di sekitar? Pikirnya setiap kali ada yang bisa mengetahui yang sedang dirasanya. Bagusnya ia bisa tetap menyembunyikan hubungannya dengan Sagara. Sejauh ini depan semua orang, terkhusus Ayah, tak menunjukkan kedekatan lebih. “Mas, ayo. Aku sudah siap!” Kikan muncul menyusul. Felora lega, kehadiran ibunya tepat sebelum ia menemukan jawaban atas keheranan ayahnya. Halim menatap istrinya, baru siap membuka mulut, Kikan sudah kembali bicara, “astaga lupa!” “Apa?” “Undangannya—“ “Scan lewat ponselku saja, aku dapat undangan digitalnya juga.” “Oke!” Kikan langsung mengimpit tangan suaminya, namun mengherankan saat Halim tidak juga beranjak. Tetap berdiri, menatap Felora. “Kenapa sih?” “Felo, mau ikut kami?” “Tidak, Ayah. Felo di rumah saja sama adik-adik.” Tolaknya cepat sambil menggelengkan kepala. “Keenan dan Hikami nanti menyusul Eyang ke rumah Hamish dan Lea. Sedangkan Harsa, belum bisa keluar rumah kecuali sekolah dan les, sampai hasil ujian sekolahnya nanti masuk tiga besar.” Hukuman Ayah tidak main-main. “Kalau enggak masuk ranking tiga besar?” “Asrama, dia akan tinggal di asrama. Dengan begitu, dia akan lebih disiplin, menghargai didikan keluarga, juga berhenti nakal.” Katanya tegas. Tak ada yang bisa menyelamatkan Harsa kali ini. Bahkan Bunda diam, termasuk Eyang dokter dan Amira yang tak ikut campur. Ayah benar-benar memberi kesempatan terakhir untuk adiknya. “Masih ada waktu, kamu bersiap—“ “Sagara akan datang,” akhirnya Felora tidak bisa berbohong. “Jam sebelas. Mungkin sudah di jalan.” Ayahnya tetap bergeming, memberinya tatapan serius. Felora berpaling ke Kikan. Minta bantuannya. “Bagus Sagara datang,” kata Kikan mengambil alih, memecah kesunyian di sana. “Sagara akan temani Felo dan Harsa kalau Hikami dan Keenan jadi susul Eyang. Kita juga akan segera pulang, setelah acara selesai. Paling dua jam. Tidak ada yang perlu di cemaskan. Ada Sagara, Felora pasti dijaga dengan baik.” “Jadi alasannya karena Sagara akan datang?” ulang Halim. Felora mengangguk, “hanya di rumah, Ayah. Kami tidak ada rencana ke mana-mana. Fayra mungkin ikut, jadi bukan Sagara saja.” Bagian akhir, Felora agak berbohong. Fayra tidak ikut. “Ayah akan bicara sama Sagara, memastikan tidak menuruti manjanya kamu. Apalagi maksa pergi.” Kata Halim kemudian mendekat, Felora mendapat pelukan dan ciuman di kepalanya sebelum ayahnya berbalik pergi. Kikan menatap putrinya, “kalau lapar, minta Mbak buat hangatkan makanan.” “Padahal aku sudah berencana makan pizza,” “Felo,” “Iya, iyaaa! Kan baru rencana, Bunda. Sudah sana, Ayah sudah jalan tuh... nanti komentar Bunda lama.” Kikan terkekeh, lalu mengusap pipi putrinya sebelum menjauh, Kikan sempat menemukan Harsa yang hanya menatap dan tak berani mendekat, Kikan menatap putranya, “Harsa jangan tambah-tambah hukuman, bersikap baik.” “Iya, Bunda.” “Atau Ayah enggak pakai toleransi dan langsung kirim kamu ke asrama.” Katanya dan pergi. Harsa duduk di ujung tangga, menunduk sambil melipat tangannya. Felora memerhatikan adiknya. Tidak tega, dia pun mendekati Harsa. Sama-sama duduk di ujung tangga. “Kamu sih cari masalah, sudah tahu Ayah paling marah. Ayah saja enggak merokok. Kamu masih SMP sudah coba-coba!" Harsa mendongak, lalu menyengir. Felora sungguh menyesal tak tega padanya. Harsa terlihat baik-baik saja. “Cuman penasaran, sudah enggak lanjut kok. Apalagi pas Kak Kennan kasih unjuk paru-paru yang terkena kanker dan rusak parah karena pecandu rokok.” Katanya. “Bagus deh,” “Sudah tahu berbahaya, kenapa pemerintah kasih surat izin edar sih?” tanyanya. Harsa memang nakal dibanding saudara-saudaranya yang lain, tetapi otaknya tak bebal. Dia cukup kritis dalam mempertanyakan sesuatu yang dipikirkannya. “Pajaknya jadi sumber pemasukan negara,” jawab Felora sesederhana yang ia tahu. “Harsa, nanti Sagara mau datang. Aku mau bicara berdua dengannya, di ruang kerja Ayah.” Felora memilih ruang kerja ayahnya, di sana yang paling aman untuk diskusi. Kedap suara. “Mau pacaran, kan?” tanya adiknya jahil. “Bicara. Bukan pacaran.” “Aku tahu yang kamu mau,” Harsa beranjak, “tunggu sebentar.” Lalu dia pergi ke kamarnya dengan berlari. Muncul-muncul dia membawa sebuah Ipad. Felora tersenyum, “hadiahku satu stoples penuh cookies cokelat buatanmu!” “Gampang, nanti aku buatkan.” Felora mengintip cara adiknya yang mengotak-atik ipad-nya. Felora tidak paham, tetapi Harsa bisa membajak pengaman CCTV rumah. Mematikan CCTV di tempat yang dia inginkan. Hanya Felora yang tahu kemampuan adiknya itu. “Sudah, beberapa jam CCTV di ruang kerja ayah keadaan off. Aku akan hidupkan setelah kamu dan Saga selesai di sana.” Kata Harsa. “Thank you. Dari mana sih belajar begini?” penasarannya. “Ada deh, salah satunya Uncle Rayan. Dia kan ahli juga,” katanya. Paman yang dia sebutkan adalah adik ipar dari Ibuk Aurora Kyomi Lais—tak lain kakak perempuan ayah mereka. “Felo, aku sudah sering bantu kamu. Enggak bisa apa negosiasi Ayah, buat bujuk enggak masukin aku ke asrama.” “Bagian itu, sungguh aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah tegas, mendidikmu sebegininya karena sayang kamu Harsa.” Harsa menghela napas dalam-dalam, “Aku enggak bisa membanggakan seperti Keenan yang bahkan bisa masuk tim matematika, mewakili Jakarta di korsel tahun lalu. Aku dan Hikami memang kembar, tapi aku tidak ahli dalam berbagai bahasa seperti Hikami atau menjuarai olimpiade renang melawan anak seusia kami se-Jakarta. Mereka mungkin akan ikuti jejak Ayah jadi dokter, aku? Sama sekali enggak tertarik.” “Kamu lebih tertarik dengan e-sport? Atau apa pun yang berhubungan dengan teknologi komputer, kan?” Harsa menatap Felora, “kamu tahu?” “Bukan cuman aku yang tahu, Sagara menyadari lebih dulu.” Felora meraih tangan adiknya, “Eyang bilang, setiap anak meski terlahir dari orang tua yang sama, tetap punya sikap, kepribadian bahkan kemampuan, serta cita-cita berbeda. Jangan mengukur kemampuan kamu dengan pencapaian orang lain, meski itu Keenan dan Hikami. Kamu akan menemukan jalanmu sendiri. Ayah dan Bunda, suatu saat nanti akan mengerti, Harsa. Keras ayah, bukan karena membedakan antara kamu dan yang lain. Kalau kamu mau Ayah berhenti marah, maka berhenti membuatnya khawatir.” Harsa terdiam. “Aku memilih kuliah kedokteran, karena aku mau... bukan karena paksaan Ayah atau melihat Eyang dokter yang merupakan pensiunan dokter terbaik. Ayah enggak maksa kita seperti dia, ayah hanya ingin kita jadi pribadi yang baik dan berhasil dengan pencapaian masing-masing.” Harsa mendengarkan kakaknya dengan baik. “Lalu bagaimana denganmu?” tiba-tiba dia bertanya. “Hubunganmu dan Sagara, akan membuat Ayah terkejut pasti.” “Untuk itu aku perlu bicara sama Sagara.” Felora menatap lurus pada foto keluarganya. Lalu pada foto pernikahan orang tuanya. Kikan dan Halim. “Bahkan, aku pun bisa mengecewakannya,” Harsa menatap kakaknya, tahu-tahu adik laki-lakinya itu bersandar pada bahu Felora. “Aku dengar waktu transplantasimu akan segera dilakukan?” “Ya,” “Kamu akan sehat, setelah itu kan? Tidak bolak-balik masuk rumah sakit, lagi? Bunda dan Ayah tidak harus cemaskan kamu lagi sebesar kondisimu sebelum transplantasi nanti?” “Entah lah..” “Ka?” “Jika terjadi apa-apa padaku, berjanjilah padaku kalau kamu akan jaga Ayah-Bunda, dan keluarga kita. Kamu akan tumbuh jadi pria dewasa yang bertanggung jawab.” Harsa cemberut, matanya berkaca-kaca, “aku enggak mau janji. Karena kamu harus panjang umur dan melihatku tumbuh jadi pria dewasa, tampan dan banyak uang!” Felora terkekeh, kemudian ikut bersandar di kepala Harsa. “Kamu tuh aslinya manis, cuman nakalnya saja yang banyak!" "Aku enggak nakal, cuman banyak akal!" Sambil menyengir. "Dasar!" Cibir Felo. Lalu bersamaan Felora mendengar langkah seseorang, mendapati pria yang ditunggunya, dia langsung bangun dan berjalan cepat. Memeluk Sagara. Harsa ikut berdiri, lalu berkata jahil, "Felo, CCTV di sini enggak bagian yang aku atur untuk off lho!" Refleks Felora melepaskan diri dari Sagara, "Astaga, iya lagi!" "Panik banget, Chocolate girl!" Sagara ikut gemas dengan tingkah Felora.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN