Sagara di tarik memasuki ruang kerja dengan langkah tergesa-gesa, “Chocolate girl—“
“Jangan bicara dulu! Tahan sebentar!” kata Felora kemudian berbalik, ia menahan pintunya tetap terbuka, kepalanya muncul untuk memantau situasi luar. Tidak ada siapa pun sampai ia menangkap Harsa sedang memberi senyuman menyebalkan.
“Aku akan memantau di sini!” Beritahu Hasrsa.
“Jangan sampai malah buat curiga, awas!” ancam Felora pada adiknya, kemudian ia menutup pintu. Ia hanya memiliki waktu sampai orang tuanya kembali. Bunda bilang paling hanya dua jam, tetapi Ayah kadang pulang lebih cepat.
Sagara memerhatikan ketika Felora juga mengunci pintunya, Sagara menggeleng pelan, menatap sekeliling. Hanya berdua di ruang tertutup, dia kemudian berjalan. Berdiri tepat di belakang Felora, sangat dekat.
“Tidak perlu dikunci,” Sagara membuka kembali kuncinya.
“Nanti kalau ada yang tiba-tiba datang?” sambil Felora berbalik, Sagara segera mengambil jarak.
“Tidak akan, kalau pun ada, ya sudah. Justru dengan dikunci, nanti akan menimbulkan pikiran kurang pantas.” Jawabnya santai.
Sagara segera berbalik, menuju ke salah satu kursi di sana. Felora segera menyusul, mengambil tempat tepat di sisinya.
“Kamu mau bicara apa?”
“Langsung banget bahas itu?”
“Memang mau apa dulu?” tanya Sagara. Felora tersenyum, Sagara terkekeh dan menarik gadis itu ke pelukannya. “Satu menit cukup?”
Felora melingkarkan tangannya ditubuh kekasihnya, menempelkan salah satu sisi kepala di dadanya. “Kurang, maunya seharian.”
Sagara kembali tertawa, meletakan dagu di puncak kepala Felora, menikmati momen yang tercipta.
“Aku suka dengar suara detak jantung kamu,”
“Berdebar banget, ya?”
“Iya,” angguk Felora, “aku bisa mendengar hal lain.”
“Oh ya? Apa?”
“Namaku... setiap detaknya, ‘Felora... Felora, I love you!’ begitu...”
Sagara kembali tertawa mendengar ucapan gadisnya, “Kamu enggak percaya?”
“Yes, I believe! Bagus kalau kamu bisa dengar, kamu jadi tahu kalau aku mencintaimu sedalam itu.”
Felora mendongak, tatapan mata mereka beradu hingga salah satu tangan Sagara terangkat, menyentuh sisi pipinya. Detik itu bersamaan dengan Sagara mengingat obrolan dengan Fayra. Tatapan mata Sagara turun dari hidung ke bibir Felora. Ia yakin Felora hanya pakai pelembab, ranum warna bibirnya alamiah. Bibir yang menarik, terutama saat Felora tersenyum seperti di hadapannya sekarang.
Senyuman yang membuat Felora cantik berkali-kali lipat. Sementara di sisi lain, jantung Felora juga berdetak diperhatikan sangat lekat oleh kekasihnya.
Sagara menarik kepala Felora kembali bersandar padanya, ia mampu kembali menahan diri, menjaga batasan.
“Sepertinya satu menit sudah berlalu,” suara Sagara kembali memecah sunyi antara mereka.
Felora justru mengeratkan pelukannya, Sagara merasa bukan semata pelukan biasa. “Chocolate girl?”
Felora sendiri menarik napas dalam-dalam sebelum mulai menyampaikan pada Sagara, “Ayah bilang, transplantasi jantungku akan segera dilakukan dalam waktu dekat.”
Sagara akhirnya tahu yang ingin dibahas Felora.
“Ayah sudah kasih tanggal?”
“Itu ditentukan setelah hasil tes darahku dan lain-lainnya keluar. Terakhir aku yang sempat drop, juga sel darah putihku yang menurun, pasti jadi penyebab keraguan Ayah dan tim dokter untuk melakukan operasinya.” Felora memantapkan hatinya untuk menyampaikan yang ingin dia sampaikan pada Sagara.
Dia menarik diri, duduk berhadap-hadapan.
“Kamu ragu?”
“Pasti, ada keraguan itu. Transplantasi bukan operasi kecil, biasa.” Felora mengungkapkan, saat ia menunduk memerhatikan tangan Sagara yang kemudian beralih meraih tangannya.
“Ini satu-satunya cara untukmu,”
“Aku tidak bisa mengelak,” angguk Felora, ketika jemarinya menyatu dengan Sagara, ia memerhatikan. “Kamu tahu enggak, aku suka sekali lihat Bunda bahkan Eyang Amira yang masih memakai satu perhiasan sama setiap harinya. Satu-satunya yang jarang aku lihat mereka lepas.”
Kening Sagara mengernyit.
“Cincin pernikahan mereka,” ujarnya bersamaan menaikkan pandangan. “Aku boleh tanya?”
Sagara mengangguk.
“Hubungan kita bukan tanpa arah, kan? Aku tahu dua tahun ini, kita hanya menjalani. Aku bahagia, Saga. Punya kamu, banyak hal yang kita lakukan sama-sama. Terutama kamu yang selalu ada pas aku drop. Kamu pegang tanganku, meyakinkan aku kalau aku akan baik-baik saja.” Dia menjeda kalimatnya, menarik napas dalam-dalam. “Sebelum transplantasi itu, aku berpikir untuk beritahu Ayah dan lainnya tentang hubungan kita. Bukan cuman beritahu mereka, tapi juga minta restu mereka. Aku mau kita menikah, Sagara.”
Sagara mengerjap pelan saat mendengar permintaan Felora yang sangat serius. “Menikah?”
"Ya, kamu tidak salah dengar, sebelum operasi, aku mau kita bisa menikah." Beritahunya lagi. Sagara mencari-cari keraguan di wajah kekasihnya. Felora mengatakannya dengan tenang. Tanpa ragu sama sekali.
Terkejut? Tentu saja. Sagara tak pernah duga jika Felora akan mengatakannya lebih dulu. Bahkan hari ini.
Sagara menatap Felora, kemudian menatap kekasihnya, "kamu yakin? Aku memang ingin bersama kamu sampai kita bisa menikah, tapi tidak sekarang-sekarang. Ada banyak yang perlu di siapkan." Bagi Sagara, menikah bukan keputusan impulsif yang tiba-tiba atau yang bisa dijalani sambil tutup mata. Semua perlu terencana dengan baik. Bukan karena Felora tak jadi tujuan akhirnya, atau main-main saja. Justru Sagara kelak ingin memberikan pernikahan terbaik termasuk masa depan yang bahagia bagi Felora.
Kini, kekasihnya sudah mengutarakan keinginannya langsung.
"Itu keinginan terbesarku, sebelum operasi." Beritahu Felora. Bila sudah menyangkut operasi, Sagara pasti akan mementingkan apa pun yang buat kekasihnya tenang.
Sagara kian mengeratkan genggaman tangan Felora, walau terkejut, dia tidak akan menyakiti Felora dengan menolaknya. Dia perlu memastikan Felora tidak mengambil keputusan secara impulsif. Apalagi didorong perasaan takut menjelang transplantasi jantungnya.
“Kamu enggak mau—“
“Bukan, dengarkan aku dulu.” Sagara langsung membantah. "Ada dua kemungkinan saat menghadap Uncle Halim dan keluarga kita, sambutan baik atau justru ditentang habis-habisan. Kamu siap dengan apa pun reaksi ayahmu? Bagaimana kalau justru kita dipisahkan?"
Felora-nya justru tersenyum manis, membawa binar ketenangan, "aku siap aja sih! Bukan untuk menyerah, melainkan meyakinkan Ayah dan keluarga besar kita kalau hubungan kita berdua layak diterima. Aku juga yakin kalau Ayah dan lainnya pasti mau aku punya pasangan yang baik, yang bisa mengertiku. Sejauh ini, selain Ayah, hanya kamu pemenangnya dalam urusan memahami aku dan kondisiku."
Tangan Sagara naik, mencubit gemas ujung hidung gadisnya, lega sekali mendapati kesungguhan Felora. Mengapa ia harus ragu, jika Felora sudah siap. "Aku tidak boleh ragu apalagi takut, saat chocolate girl semangat begini!"
Felora menatap Sagara, kian lekat, "kita bisa lakukan apa pun untuk meyakinkannya, asal kita berdua mau berjuang hadapi Ayah sama-sama."
“Sedari awal aku jalani hubungan ini, aku memang mau melangkah sama kamu bukan tanpa arah. Melainkan memang menjadikan kamu tujuan terakhir hidupku. Mari kita temui Ayah dan Bunda kamu, aku akan menghadapinya dengan sikap baik dan benar, bukan secara diam-diam memacari putrinya lagi, seperti dua tahun ini." angguk Sagara. Meski tak bisa menebak reaksi keluarga terkhusus Halim. Ia yakin, akan ada cara dan jalan hingga mendapati restu hubungan mereka.
“Ada lagi,” kata Felora. Kemudian ia mengambil ponselnya, mengirimkan sesuatu pada Sagara. “Aku sudah memilih.”
Bersamaan Sagara menerima pesan, dari Felora. Saga segera membukanya, menemukan gambar cincin, “cincin?”
“Iya,” angguk Felora. “Aku lihat ini sewaktu temani Fayra pilih-pilih perhiasannya. Aku mau cincin itu, harusnya kan kalau seorang pacar ngelamar kekasihnya, sambil bawa cincin. Karena aku yang duluan ajak kamu nikah, malah menodong, jadi kamu pasti enggak siapkan apa-apa. Jadi aku kasih kemudahan, biar kamu tahu seleraku.”
Sagara hampir tercengang sendiri atas ide kekasihnya.
“Aneh ya?” Felora memang kerap punya pikiran tiba-tiba.
“Oh tidak, justru kamu punya inisiatif yang bagus.” Angguk Sagara, “aku akan tanya Fayra untuk membelinya.”
Felora tersenyum.
“Harusnya aku lakukan satu ini juga,” ujarnya.
“Apa?” heran Felora, terutama saat Sagara bergerak dan turun. Tepatnya berlutut tepat di hadapan Felora, Sagara meraih tangan Felora.
“Felora Mikanadira, cara memintamu sekarang terlihat sederhana. Ala kadarnya dan tanpa persiapan. Tapi, aku akan buat perjalanan bersama kita kelak, pernikahan kita menjadi yang membahagiakan dan terbaik. Aku akan bekerja keras supaya kamu enggak kekurangan. Bahkan sedikit mengeluh tentang pasanganmu ini. Maukah kamu melangkah bersamaku, menetapkan kebersamaan kita untuk selama mungkin? Menghadapi pasang-surutnya kehidupan bersama-sama, juga selalu berusaha jatuh cinta pada orang yang sama berkali-kali sepanjang hidup kita?”
Felora menitikkan air mata dalam wajah yang tersenyum, “Ya!”
Sagara tersenyum, kemudian kembali ke posisi semula dan lagi memeluk Felora. Ia mencium puncak kepala Felora. Sebelum sampai ke sana, ia tahu ada banyak yang perlu diyakini akan cinta mereka.
Felora mengeratkan pelukannya, ia mendengar detak jantung Sagara berdetak lebih kencang dari yang sebelumnya.
“Mama dan Papaku akan sampai Jakarta besok, aku akan atur makan malam bersama. Menurutmu beritahu orang tua kita bersamaan, atau kita beritahu lebih dulu orang tuaku?”
“Mama Fay dan Papa Aylan akan menerima kita?”
“Pastinya menghadapi mereka tidak akan sesulit menghadapi Uncle Halim dan Eyang Kaflin.” Yakin Sagara.
Felora yang menginginkan itu, tapi kini dia yang mulai takut akan reaksi ayahnya. Juga akan menyulitkan bundanya menghadapi kenyataan yang dipilihnya. Ia berharap kejujuran mereka, tidak akan membawa dampak hubungan retak antara orang tuanya apalagi keluarga besar Lais.
“Akhirnya aku akan buat Ayah kecewa, mungkin lebih besar dari yang tak pernah Ayah bayangkan sebelumnya.” Gumam Felora. Sebenarnya, tak mau sampai itu terjadi. Tapi, hatinya memilih Sagara.