“Fayra bersamaku, kami hampir sampai rumah Grandad.” Beritahu Sagara pada ibunya yang tengah tersambung di telepon. Sagara menoleh pada adik perempuan satu-satunya yang tengah ia biarkan mengemudi mobilnya.
“Bye, Ma. Salam untuk Papa.” Sagara mengakhiri teleponnya. Lalu menurunkan tangannya.
“Kenapa enggak mau bicara sama Mama?” tanya Sagara, sudah hafal jika ibunya menanyakan keadaan Fayra artinya mereka tidak komunikasi. Atau lebih tepatnya Fayra yang menghindar.
Fayra menatap Sagara sejenak, “bete sama Mama. Mereka mundur jadwal pulang lagi. Lebih betah di luar negeri, dibanding tinggal sama kita.”
“Fayra—“
“Semua berubah setelah yang terjadi pada Ka Sky!” ungkapnya. Sagara memilih untuk biarkan Fayra mengeluarkan yang ada di benaknya. “Anak mereka bukan cuman Ka Sky, bukan? Ada aku dan kamu. Mereka terlalu sibuk mengkhawatirkan Sky!”
“Memang kamu tidak khawatir?”
“Sky pasti baik-baik saja,” meski mengatakan begitu sarkasme, Fayra tetap berkaca-kaca.
Sagara menghela napas dalam-dalam, “tepikan mobilnya,”
“I’m fine kok!”
“Kalau baik, kamu enggak akan nangis.” Sembari melihat adiknya menyeka air matanya. “Fayra, kita tahu yang sudah dialami Sky tidak mudah. Sebagai adiknya, kita harus mendoakan, mengerti dan mendukungnya. Apa pun yang dia pilih. Tentang Mama dan Papa, mereka punya bisnis yang harus diurus. Dibanding siapa pun, bahkan kita berdua, mereka adalah orang tua yang lebih sulit untuk menerima perubahan putranya.”
Fayra akhirnya menepi, menatap Sagara.
“Sini aku peluk,”
“Bukannya kamu lebih suka meluk Chocolate girl-mu?” ledek Fayra.
Sagara terkekeh, “cemburu sama Felora?” sambil mencolek ujung hidung adiknya.
“Enggak sama sekali, Felora dan kamu cocok. Pokoknya kapal kalian harus berlayar sampai pelaminan. Tidak boleh ada yang sampai ganggu, bahkan karam!” Fayra berucap dengan semangat.
Sagara terkekeh, lalu menyeka air mata adiknya. Kembali pada topik keluarga mereka, “Mama dan Papa sayang kamu, Fayra. Jangan lama merajuknya, mereka nanti kepikiran.”
“Iya, aku akan telepon Mama nanti. Stop mogok bicaranya, lagi pula kalau marah keterusan, lebih dari tiga hari, nanti Mama enggak kasih aku jajan Jean Schlumberger’s by Tiffany.” Dia menyebutkan sebuah gelang.
“Berapa memang harganya?”
“Tanya harga, mau beliin?” tantang Fayra. “empat puluh lima,”
“Juta?” tebak Sagara.
“No, lebih tepatnya empat puluh lima ribu dollar.”
Sagara berdecak mendengar permintaan adiknya, “buat investasi juga kok, lagian uang segitu, enggak ada apa-apanya sama warisan Lais dari Grandad dan Grandmom.”
“Kamu nanti kalau sudah nikah sama Felo, jangan perhitungan. Awas saja! Mending tuh royal sama istri, dari pada wanita lain.”
Sagara tersenyum mendengar nasihat adiknya. “Kamu adikku, malah lebih dipihak Felora?”
“Ya. Aku itu happy banget tahu... punya ipar nanti seumuran, sudah begitu, aku kenal baik banget. Jadi tidak susah adaptasi, atau takut enggak cocok.” Cerocos Fayra, moodnya kembali membaik, “satu-satunya halangan terbesarmu itu hadapi Uncle Halim. Sama Eyang dokter juga mungkin Grandad. Sisanya pasti bisa memahami cinta kalian.”
Sagara mengangguk.
Fayra kemudian memicingkan matanya, “pas kamu minta bantuan aku, terus bilang kamu ada rasa ke Felora yang bukan perasaan sepupu. Aku enggak langsung setuju, bukan? Aku minta kamu yakin dulu, karena kalau kalian enggak sampai nikah. Terus putus di tengah jalan, terbayang situasi tidak nyaman antara kalian.”
Ya, Sagara ingat sekali bagaimana Fayra dengan bersikap dewasanya padahal baru tujuh belas tahun saat itu untuk membuat Sagara yakin dulu sebelum menyatakan perasaan.
Sagara sendiri butuh waktu lama untuk meyakinkan diri, awal mula dia benar-benar hanya suka kedekatannya dengan Felora. Dia pikir karena mereka sepupu, tetapi semakin berbeda seiring waktu. Dia mulai gelisah apalagi sat Felora sudah memasuki masa putih abu-abu dan dekat dengan beberapa teman laki-lakinya. Wajah Felora mulai memayungi mimpi-mimpi Sagara. Ia juga mulai memerhatikan seperti pria yang melihat wanita, masih mencoba dengan pikiran yang berharga. Ia menghalau jauh-jauh pikiran nakal pria bahkan sampai dua tahun mereka menjalani sebagai pasangan.
Sagara menjaga Felora, menghormati batasan. Hanya memeluk, mencium pipinya. Tak pernah lebih. Sagara bisa memegang tangan Felora, atau memeluknya saja sudah sangat menikmati kebersamaannya. Atau mendengarkan gadis itu berceloteh, melihatnya tersenyum lalu manja. Meski bagian manjanya itu perlu Sagara waspadai juga, dia tetap seorang pria. Harus pinta-pintar mengatur dirinya sendiri agar tidak lancang dengan pikirannya.
“Oh iya, Ka. Aku penasaran deh.” Kata Fay setelah mobil kembali melaju.
“Apa?”
“Felora kalau menonton drama atau film yang ada kissing-nya, selalu tutup mata. Apa malu, ingat adegan kalian—“
“Fayra,” tegur Sagara.
Fayra menoleh, lalu meneliti wajah Sagara yang agak kikuk.
“Ekspresimu begitu sekali, santai saja kali. Sudah sampai tahap itu, kan? Aneh banget, dua tahun pacaran kalau belum pernah.”
“Hm!” Sagara berdehem, merasakan tenggorokannya kering. Fayra menoleh lagi kemudian matanya membulat.
“Daebaaakkk! Belum? Kalian—“
“Ada privasi. Aku enggak mau bahas apa-apa yang sudah kami lewati. Pastinya, aku menyayangi Felora. Aku menjaganya. Mencintai seharusnya tidak merusak.”
“Ciuman saja lho. Bibir. Masa dibilang merusak?!” decak Fayra. Tak menduga jika kakaknya sungguh menjalani pacaran seperti itu.
“Aku sudah janji, tidak akan melewati batas itu jika Felora pun menerimaku. Kita pacaran.”
“Janji ke Felo?”
“Tidak. Pada diri sendiri. Sampai ada ikatan yang membenarkan dan mengizinkan aku melakukannya.”
Fayra berdecak lagi, takjub. “Mungkin pria sepertimu itu hanya lima persen dari banyaknya pria di muka bumi ini.”
“Dan Fayra, meski menurutmu jalan pikiran pria sepertiku sudah sulit kamu temui. Berarti kembali pada dirimu, sendiri.”
“Maksudmu?” tanya Fayra. Sepertinya ia menyesali memancing obrolan ini. Bagaimana pun Sagara adalah kakak laki-lakinya. Dibanding Sky yang jauh, dan sudah sibuk mengurusi masalahnya sendiri, Sagara jauh lebih protektif terhadapnya.
“Kamu harus menjaga dirimu sendiri, dan memberi batasan terhadap hubunganmu sendiri. Agar kelak tidak membuatmu seperti dirugikan, apalagi menyesalinya, kecuali memang kamu sendiri yang membiarkannya.” Katanya.
“Jaman sekarang hidup bebas, enggak aneh—“
“Setiap orang berhak menentukan prinsip hidupnya sendiri. Terserah juga dengan pilihanmu. Hanya aku sebagai kakak, mengingatkan saja.” Kata Sagara dengan tenang.
Obrolan mereka terhenti ketika memasuki kawasan rumah Kakek-nenek mereka. Dalam rumah itu bukan hanya ada Kakek-nenek dari Ibu mereka, tetapi tinggal juga keluarga paman mereka.
***
Sagara menginap di rumah kakeknya. Pagi-pagi dia sudah lari di kompleks lalu berenang. Ia menyelam, bergerak dari tepi ke tepi hingga sepuluh kali balikan.
Hingga menemukan pamannya Aric berjalan ke area pinggir kolam, duduk di salah satu kursi. Sagara naik, berjalan. Aric melemparkan handuk yang langsung ditangkap tepat oleh tangannya.
“Sudah ada rencana? Jalan sama teman wanitamu? Kenalkan pada keluarga, Grandmom dan Grandad akan senang jika masih diberi kesempatan bisa menyaksikan salah satu cucunya menikah.” Kata Aric.
“Tidak ada rencana, kecuali nanti agak siangan menemui Felora, ke rumah Eyang Kaflin.” Katanya dan duduk. Ada segelas susuu hangat, Sagara segera meminumnya. Juga setangkup sandwich dengan roti gandum.
Aric menatap keponakannya, “kapan akan umumkan ke keluarga hubunganmu dan Felora—“
“Uhukkk!” Detik itu juga Sagara terbatuk mendengar pertanyaan pamannya.
Aric berdiri, memberikan gelas pada Sagara. Lalu menepuk kepala keponakannya.
“Di banding aku dan Hamish, menghadapi Halim akan lebih sulit. Dia lebih serius dari kami berdua, sejak dulu. Apalagi ini menyangkut putri kesayangannya.”
“Uncle tahu?”
“Tahu, caramu menatapnya. Oh bahkan saat ulang tahun Grandad. Aku melihatmu menariknya pergi, lalu kalian duduk bersama, kamu merangkul dan membiarkan dia bersandar. Kalau sepupu biasa, tidak mungkin melakukannya.”
Sagara terdiam. Aric punya pengalaman muda yang panjang. Jelas mudah sekali untuknya menilai.
“Hanya aku yang tahu. Sisanya tak menyadari itu.” Katanya agar Sagara tidak cemas, “tetapi, jangan terus menyembunyikannya. Bersikap gentleman lebih terhormat meski dimaki-maki, di tentang. Dibanding tetap diam-diam, lalu Uncle Halim tahu sendiri. Marahnya bisa berkali-kali daripada kamu mengakuinya sendiri.”
“Aku ngerti, Uncle. Hanya saja, aku menunggu waktu yang tepat.”
“Jangan menunggu waktu yang tepat, kamu tak pernah tahu itu kapan datangnya. Yang benar, segera lakukan dan anggap itulah waktu tepatnya.” Kata Aric.
“Uncle tidak menantang?”
“Tidak. Felora bukan anak kandung Halim. Tidak sedarah dengan kamu.” Itu faktanya.
“Jadi bagaimana cara meyakinkan Uncle Halim nanti, seandainya dia menentang kami?”
Aric tidak menjawab.
“Uncle.”
“Kamu pasti menemukan caranya.” Lalu beranjak pergi. Sagara duduk dan mengusap rambutnya dengan handuk. Tidak duga jika Aric sudah mengetahuinya.
“Sagara!” Panggilan tersebut membuat ia menoleh, adiknya Fayra datang sambil memegang ponselnya. “Ponselmu di kamar? Felora meneleponmu tak di jawab-jawab, akhirnya dia meneleponku.”
Sambil memberikan ponselnya yang langsung diterima Sagara.
“Ya, Felo?”
“Jadi datang, kan?”
“Iya, nanti jam satu—“
“Lebih awal, bisa? Ayah dan Bunda pergi memenuhi undangan teman Ayah, Grandad dan Grandmom sedang di rumah Uncle Hamish. Jadi hanya ada adik-adik di rumah.”
“Kamu mau berdua-duaan sama aku?” tebak Sagara, sedikit menggoda kekasihnya.
“Lebih tepatnya bicara berdua. Ada yang mau aku sampaikan.” Ucapnya sambil menarik napas dalam-dalam.
“Oke, Chocolate girl... Aku akan datang jam sebelas.” Sagara menyanggupi untuk datang lebih cepat, ia pun penasaran akan yang ingin disampaikan Felora.