Felora Mikanadira
Jarum suntik yang menusuk punggung tangan, bagian dari kecil kehidupan Felora Mikanadira. RMC Hospital sudah jadi bagian dari rumah kedua baginya, bahkan ia cukup terkenal di sana, terkhusus di lantai kamar rawatnya berada.
Ia membuka mata, menarik napas dalam-dalam kemudian mengucap syukur.
Sepasang mata yang memerhatikan, membuatnya menoleh. “Kenapa lihatnya takjub begitu?”
Fayra—salah satu sepupu wanita favoritnya mengerjap, “kamu buatku malu, aku tak pernah melakukan seperti dirimu. Bangun tidur, lalu bersyukur. Yang ada malah kepalaku terasa penuh, lalu begitu mata terbuka, bayangan rutinitas belum lagi tanggung jawab buat malas sekali beranjak dari tempat tidur.”
Felora bergerak duduk, menoleh sejenak untuk memastikan dalam botol infus itu bekerja. Sudah sangat biasanya sampai ia bisa memasang dan melepas jarum itu sendiri di lengannya. Bahkan mengatur infus sendiri jika sedang tak lemas. Felora juga salah satu mahasiswa kedokteran yang masih di awal semester.
“Karena kamu sehat, Fay. Berbeda denganku, sejak kecil, aku tahu jantungku abnormal. Bisa dikatakan aku harus siap jika waktunya memang sudah selesai, makanya setiap kali tidur, banyak sekali doa yang aku panjatkan. Dan ketika akhirnya sampai di esok pagi, aku bisa membuka mata dan tetap menempati ragaku ini, aku rasanya tidak tahu diri bila tak bersyukur pada Sang Pencipta.”
“Setiap yang hidup pasti mati, Fel.”
“Ya, itu benar... dan khusus untuk orang-orang sepertiku, yang spesial.” Salah satu tangannya yang bebas menyentuh dadanya, merasakan debaran yang masih bisa dirasakan, “kematian itu sangat dekat.”
Fayra mendekat, ikut duduk di sisi ranjang, “sepertinya aku yang jauh lebih tidak tahu diri, diberi keadaan yang sehat, malah sering lupa untuk bersyukur, Fel.”
Felo kembali tersenyum, menatap sepupunya lekat. Saat itulah selalu mengingatkan ia pada seseorang.
“Apa yang buatmu masih bisa setenang ini? Bahkan tersenyum?” karena Fay merasa jika ia jadi Felora, ia pasti sudah tidak bisa berhenti menangis menghadapi kondisinya.
“Meratapi bahkan sampai sedih berkepanjangan pun tidak akan membuatku lantas begitu saja keluar dari masalah ini, yang ada, aku akan menjalani hidupku lebih berat. Aku tidak mau semakin lemah dan berakhir menyusahkan lalu membuat Bunda dan Ayah, semua keluarga sedih. Kalau aku masih bisa senyum seperti ini...” dia menunjukkan senyumnya, “kuyakin ini cukup ampuh membuat mereka semua tetap tenang.”
Fayra masih menatap takjub pada sepupunya. Lalu ia tak mau membahasnya lagi ketika ikut tersenyum lebar.
“Kamu mau dengar yang pernah Ayah bilang padaku, dan selalu jadi peganganku sampai sekarang?”
“Apa?”
“Menang itu tidak selalu tentang pencapaian. Ketika kita bisa bertahan dalam kondisi yang paling terburuk, yang harus dihadapi, tetap berjuang walau dengan banyak asa yang coba menghabisi, itu adalah menang yang sesungguhnya. Dan aku bertahan dalam kondisiku, menunggu selalu ada keajaiban datang melalui jantung baruku nanti, jantung dari manusia baik yang mau memberikannya padaku.”
“Pasti akan ada, Fel.” Angguk Fayra yakin.
Felora sudah menunggu hingga usianya menginjak sembilan belas tahun untuk bagian terpenting tersebut, untuk hidup keduanya, untuk perjalanan baru dalam kehidupannya. Namun, sampai detik ini, selalu ada saja yang membuatnya belum bisa mendapatkan itu meski ayahnya dan keluarga Lais mengusahakan. Mengganti jantungnya, tak semudah dalam bayangan orang-orang awam di luar sana. Perlu yang beberapa proses memastikan cocok untuknya.
Fayra memegang tangan sepupunya, “oh iya, aku hampir lupa!” pekiknya.
Kening Felora mengernyit, coba menebak apa yang dilupakan sepupunya hingga dia tersenyum, “Sagara akan sampai Jakarta sore ini, kan?”
Fayra langsung membulatkan matanya, kemudian menepuk keningnya dramatis. “Ya jelaslah kamu lebih dulu tahu... kalian kan sepupu rasa pacar—“
Felora refleks membungkam mulut sepupunya, “Fay, kecilkan suaramu. Bagaimana kalau ada yang dengar?!”
Ia singkirkan lebih dulu tangan Felora, “ayolah, hanya ada kita berdua. Tadi Uncle Halim dan bunda ijin keluar.”
Tidak cukup sampai di sana, Fay kembali tersenyum jahil, “mau sampai kapan sih diam-diam dari para orang tua? Kalian tidak mau mulai terus terang?”
Felora menghela napas dalam-dalam, ketenangannya menghadapi sakitnya akan cukup ampuh membuat Ayah dan lainnya tetap tenang. Namun, Felora dan Sagara belum cukup menemukan keberanian untuk tenang menyampaikan hubungan mereka pada semua keluarga, lalu memenangkan restu.
“Eh, malah bengong! Fel?”
“Dalam waktu dekat, dua tahun kayaknya memang sudah terlalu lama buat kami diam-diam dan rahasiakan ini, terutama dari Ayah, Bunda dan Mama-Papa.”
Fayra mengeratkan pegangan di lengan sepupunya, “aku akan bantu sebisaku dipihak kalian, meyakinkan orang tua. Kalau Mama dan Papa sih pasti gampang saja, setuju. Cuman yang sulit... uhm...”
“I know, ayahku memang posesif banget kalau bagian itu,” sembari menghela napas dalam-dalam.
***
Sagara Blue Lais baru saja turun dari motor kesayangannya, dia lebih suka mengendarai roda dua saat-saat jam macet di jalanan ibu kota. Hari ini Sabtu, ia kebetulan sedang tak ke kantor.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri satu tahun lalu, Sagara kembali ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan milik keluarga Lais yang kini dipimpin oleh pamannya, Aric dan Hamish.
Langkahnya seolah sudah hafal tujuannya, tersenyum tipis dan mengangguk saat ada yang menyapa. Rajata Medical Center, rumah sakit milik keluarganya. Saga memasuki lift, menuju lantai lima. Tetapi di lantai tiga pintu terbuka, dan tatapannya beradu dengan sepasang suami-istri yang ia hormati.
“Uncle, Bunda.”
Jika wanita yang ia panggil Bunda langsung tersenyum, beda hal dengan pria di sampingnya. Kaca mata yang membingkai tak menutupi tatapan tajamnya. Keduanya adalah Halim Benjamin Lais dan Kikan Madelief.
“Saga, sama siapa?”
“Sendiri, Bunda.”
“Jemput Fay?” Halim ikut bersuara, mengira kedatangannya untuk menjemput adiknya yang menginap dan turut menunggui Felora di sana.
“Tidak, Fay bawa mobilnya sendiri semalam.” Jawabnya. Halim dan Kikan sudah ikut masuk lift. Butuh sebentar untuk sampai di lantai tujuan mereka.
Lalu sama-sama menuju ruangan yang ditempati Felora.
“Aku mau menemui Felora. Uncle dan Bunda nanti bisa istirahat, pulang. Biar aku yang gantian jaga di sini.” Sagara menjawab jujur tujuannya. Ya, hanya bagian itu. Lainnya tetap jadi rahasia sementara ini.
Kening Halim mengernyit, menatap keponakannya itu, “usiamu sudah berapa tahun ini?”
“Dua satu,” agak heran tiba-tiba Ayah dari Felora menanyakan usianya.
“Biasanya, seusiamu ini kalau hari libur sudah punya rencana akhir pekan. Sama teman atau pacar.”
‘Ya, kan ini juga datang buat rencana ketemu pacar.’ Tentu saja Sagara mengucapkannya dalam hati. Mana berani dia kelepasan bicara. Akan ada waktu yang dia rasa tepat nanti, bukan sekarang. Dia menunggu momen di mana kekasihnya sudah melakukan operasi transplantasi jantung. Ketika semua ia anggap paling pas.
“Sagara?” panggil Halim lagi. Sementara dirinya bingung, sebab Sagara hampir tiap akhir pekan lebih sering menemui dan bersama putrinya.
“Aku lebih suka bersama Felora—“ Saga menghentikan ucapannya ketika dapati pupil mata Halim membulat, “Fayra, juga saudaraku yang lain.”
Halim menghela napas dalam-dalam, kemudian menatap lurus pada pintunya. Kikan di sana, yang berada di antara keduanya hanya bisa menahan senyum.
“Ingat, meski kamu sudah tahu jika tak ada hubungan darah dengan Felora... kalian besar bersama, dan tolong tetap anggap Felora sama seperti saudara kamu lainnya.” Itu jelas seperti ultimatum, yang selalu membuat Sagara dan Felora belum juga memberitahu hubungan mereka yang lebih dari sekedar sepupu lagi.
Kebersamaan mereka yang sejak kecil bersama, tumbuh bersama, saling menyayangi, sudah berubah jadi cinta yang tumbuh lalu mengikat antara hubungan tersebut.
Ting!
Pintu lift yang berdenting, menandakan mereka sampai. Halim berjalan lebih dulu di susul Kikan, barulah Sagara melangkah.
Baru akan memasuki kamar Felora, tetapi kemudian Halim mendapat telepon.
“Aku harus ke ruanganku, kamu dan Sagara, masuk saja.” Beritahu Halim setelah mengangkat teleponnya.
“Mas mau ke mana?”
“Perihal salah satu pasien yang aku ceritakan itu,”
Hanya Kikan yang tahu maksud ucapan Halim. Sagara tidak mau ikut campur, namun sesat Halim pergi ia mematung mendengar ucapan bunda dari Felora tersebut.
“Bunda bilang apa?” Memastikan,
“Felora kemungkinan dalam waktu dekat akan segera melakukan transplantasi jantungnya.”