Chapter 9 | Pertunjukan Tanpa Busana

1513 Kata
Chapter 9 | Pertunjukan Tanpa Busana POV Ethan Kal Vardhan “Apa maksudmu memanggil salon?” Zeina memandangku selama beberapa saat. “Aku ingin mencuci rambutku, tidak bisa dilakukan sendiri. Sebelumnya juga begini, mereka punya layanan panggilan jadi tidak masalah” Aku menyentuh kepalaku frustasi. “Kau gila? Wartawan masih ada di bawah dan kau mau memanggil salon ke sini?” Zeina mengangguk tanpa ragu. “Toh mereka tidak akan tahu siapa yang memesan salon, kenapa hal sepele kau permasalahkan sih” keluhnya tidak suka. “Kata-kata tidak memiliki sayap, tetapi dapat terbang ribuan mil. Lebih mudah membendung sungai daripada menghentikan sebuah rumor. Kau pikir tidak akan ada yang mengatakan bahwa kaulah yang memesan layanan itu?” Kedua tanganku bertolak pinggang. “Seorang putri Wakil Presiden dengan gaya hidup mewahnya, selain menggunakan ruangan VVIP untuk perawatan, dia juga memanggil salon untuk menjaga penampilannya. Kesenjangan sosial tergambar jelas” Zeina memalingkan wajahnya. “Aku menggunakan uangku sendiri kenapa mempermasalahkan hal yang tidak berguna” Aku menghela nafas, terkadang dia keras kepala dan tidak mau kalah saat berselisih denganku. “Kau pun tahu seberapa tidak pentingnya fakta dalam rumor. Kau sudah menjadi pusat perhatian, orang tidak tertarik pada kisah nyata. Mereka tertarik pada kisa ilusi yang ditampilkan” Zeina kini menghela nafas dan berbaring kesal. “Aku hanya ingin mencuci rambutku, tidak nyaman tidak mencucinya selama tiga hari” keluhnya kesal. Aku pada akhirnya berjalan mendekat sambil menggulung lengan kemejaku. “Baiklah biar kulakukan” pandangannya terarah padaku penuh rasa tidak percaya. “Tidak mau” jawabnya cepat menolak. “Yasudah” timpalku lagi yang akhirnya membuat dia tidak berhenti menatapku. Jelas dia ingin aku menawarkan sekali lagi. Gadis ini… Merepotkan sekali… “Cepat bangun” aku meraih tangannya dan dia akhirnya bangun sambil terlihat acuh. “Baiklah jika kau memaksa” jawabnya sambil berjalan lebih dulu ke arah kamar mandi. Aku menghela nafas kesal sambil membawa kursi portabel ke dalam kamar mandi. “Tanganmu tidak terluka, kenapa pula tidak bisa mencuci rambutmu sendiri” Dia langsung duduk di kurai yang kuberikan dan menyandarkan kepalanya di wastafel. “Aku harus menunduk dan membuat perutku sakit. Tentu saja aku tidak mau melakukannya” jawabnya sambil menunjuk tas kecil yang sempat dibawa oleh Virly tadi pagi sebelum pamit untuk pergi ke pelelangan sesuai arahan Zeina sebelumnya. Aku membuka tas itu dan menemukan semua produk perawatan yang biasa digunakannya. “Pertama gunakan yang label biru untuk kulit kepalaku” aku menghela nafas dan menaruh tas itu di pangkuan Zeina. “Pelan-pelan” keluhnya saat aku mulai memakaikan produk yang terlihat seperti minyak itu. “Jangan langsung membilas, kau harus memijatnya dulu” Aku melakukan sesuai perkataan dengan enggan. Dia memasukan tangannya ke dalam tas dan memberikan sebuah botol kepadaku. “Tambahkan ini, lakukan seperti tadi” Aku kembali menurut, kali ini produknya seperti cair dan tidak memberikan dampak apapun. Setelahnya dia menyodorkan botol lain, kali ini sepertinya benar-benar shampoo. Setelah membilas, akhirnya aku benar-benar memakaikannya shampoo, dia meringis saat busa terasa mengenai pelipisnya, akan segera turun ke mata. Aku menyingkirkan busa itu namun tanganku malah mengenai matanya. “Ahhh, perih” teriaknya dengan wajah panik. Buru-buru aku menyeka wajahnya dengan handuk yang sudah dibasahi terlebih dahulu. “Kau mau membuatku buta?” sinisnya sambil menatapku kesal. “Kau tidak akan buta hanya karena terkena shampoo” Aku melanjutkan kegiatanku. Dia terlihat sesekali curi-curi pandang padaku, dia jelas tidak nyaman saat aku berada terlalu dekat dengannya. “Kau mengenal Dokter itu?” Zeina diam selama beberapa saat. “Yang kemarin?” tanyanya yang langsung kuangguki. “Dia yang mengoperasikan sebelumnya” jawabnya. “Maksudku sebelumnya” Zeina terlihat tengah berpikir. “Sepertinya tidak” jawabnya tidak pasti. Dia terlihat tidak berbohong. Jika dipikir, dia memang lebih memilih tidak menjawab ketimbang berbohong. Setidaknya itulah yang aku yakini sebelum pemerasan mengenai perilakunya di masa lalu terjadi. Aku tidak lagi yakin sosok yang seperti apa dirinya sebenarnya. “Bagaimana bisa kebetulan begini terjadi, dia ada di sana tepat waktu. Saat insiden itu terjadi maksudku” Dia terlihat mengangkat bahu kecil. “Sepertinya berkaitan dengan conference penelitian ilmiah yang akan dilakukan tiga hari lagi di hotel” Aku memperhatikan raut wajahnya. Dia benar-benar tidak terlihat peduli. Aku menggeleng kecil, tidak ada gunanya juga aku mencari tahu hubungan mereka, hanya saja jika terlalu terang terangan, hal itu memang akan merugikan diriku. Zeina masih menatapku, dengan perlahan aku membilas rambutnya. Dia memberikan sebuah produk lain dan aku memakaikannya seperti sebelumnya. “Harus ditunggu dulu selama lima menit” ujarnya saat aku hampir saja kembali membilas rambutnya. Suasana seketika menjadi begitu hening, aku yang bersandar pada dinding masih mendapatkan tatapan tajamnya. Dia seolah tengah menyelisik dan memiliki pemikiran sendiri terhadap diriku… Entah apa yang ada di kepala kecilnya… “Dibandingkan menghakimiku dengan tatapan, kau lebih baik mengatakannya” ujarku. “Kenapa mengajakku mengobrol? Umurmu sudah tidak lama lagi?” Mataku mengerjap selama beberapa saat. Mungkinkah hal itu yang sedari tadi dipikirkannya dengan wajah serius yang terlihat lucu? Isi kepalanya benar-benar aneh. Aku memperhatikan pakaiannya yang sedikit basah karena terkena cipratan air. “Yang menggunakan pakaian pasien adalah kau bukan aku” Jawabku sambil kembali menghampirinya. Membilas rambutnya yang dirasa sudah cukup didiamkan. “Lagipula ini hanyalah obrolan kecil, kenapa kau sampai berpikir begitu” Zeina masih menatapku. “Itu dia, kita tidak melakukan obrolan kecil” Tanganku sempat terhenti sejenak. Selama empat tahun tinggal bersama, kami tidak pernah mengobrol. Selain berbicara seperlunya dan soal pekerjaan, kami hanya bicara saat terjadi perselisihan pendapat, itu pun hanya beberapa kali. Kami benar-benar tidak pernah ngobrol layaknya orang normal. Karena itukah dia terlihat terkejut dan tidak nyaman. Dia tidak nyaman mengobrol denganku? “Kenapa, kau benci mengobrol denganku?” Aku memakaikannya handuk di kepala dan membantunya untuk bangun setelah mengambil tas kecil di pangkuannya. “Yah, jantungku berdebar” aku terdiam selama beberapa saat. Memandangnya yang tetap terlihat menawan meski tanpa riasan. Aku melirik pakaiannya yang sudah tembus pandang terkena tetesan air. “Berdebar?” tanyaku memastikan tidak salah dengar. “Karena kalimat yang keluar dari mulutmu selalu menyakitkan” Zeina berjalan keluar kamar mandi. “Jika ada olimpiade untuk menghancurkan lawan dengan perkataan, aku yakin kau akan menjadi juara” dia keluar meninggalkanku sendirian. Dia pasti masih mendendam padaku atas perkataanku beberapa waktu lalu. Padahal aku hanya mengatakan sebuah fakta. Aku kembali ke kamarnya dan melihat dia yang sedang mengeluarkan pakaian ganti. Dia melirikku “Bukankah kau harus keluar?” Aku duduk di sofa dan bersilang d**a. “Lagipula tidak ada yang bisa dilihat” jawabku dengan acuh. Entah mengapa aku terbawa suasana kesal saat melihat dan mendengar perkataanya barusan. Zeina menghela nafas dan hendak berjalan menuju kamar mandi. “Kau pernah menampilkan pertunjukan tanpa busana, tapi bahkan melarangku melihatmu berganti pakaian? Padahal aku suamimu” Zeina menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku, memandangku selama beberapa saat sebelum akhirnya berjalan ke arahku. “Apa pernah terpikir olehmu bahwa kau bisa merasa malu dengan perkataanmu sendiri?” tanyanya yang membuatku bersandar dan menatapnya intens. “Apa yang kukatakan salah? Kau saja tidak malu bertelanjang dan menampilkan pertunjukan, kenapa kau harus malu hanya karena mengatakan sebuah fakta?” Zeina menggigit bibir bawahnya menahan kesal. Gadis itu melemparkan pakaiannya kepadaku dan mulai membuka kancingnya satu demi satu dihadapanku. Aku pernah melihatnya secara tidak sengaja, namun tidak dari jarak dekat. Dia melepaskan pakaian dan celananya, menampakan kulit putih nya yang terlihat sehat. perban yang menutupi perut kanannya sama sekali tidak mengganggu keindahan tubuhnya. Tubuhnya benar-benar idaman setiap wanita. Aku memperhatikan dadanya yang besar dan sehat, bokongnya yang bulat dan lekukan tubuhnya yang sempurna. “Kenapa? Kau ingin aku melepaskan pakaian dalamku juga?” tanyanya yang membuatku tersenyum kecil. “Aku tidak akan melarangmu jika kau ingin melakukan itu” Zeina menghela nafas dan melepaskan branya. Aku bisa melihat area merah muda yang indah di sana. Zeina maju mendekat dan duduk di pangkuanku. Aku merasakan nafasku yang terasa semakin cepat, dia tampaknya memperhatikan ekspresiku. Aku tidak bisa memalingkan pandanganku sama sekali saat ini. Siapapun lelaki simpanannya, pria itu akan rela melakukan apapun untuk gadis sepertinya. Entah siapa yang bisa menyentuh dan menenggelamkan diri dalam pelukan hangatnya dengan bebas. Tidak mungkin dia tidak menyimpan siapapun dalam pelukannya… Terlebih saat begitu banyak pria yang menginginkannya. Zeina mendekat, aku bisa merasakan hembusan nafas hangatnya dari jarak sedekat ini. Sial, aku tidak bisa menahan bagian bawahku yang mulai menegang. Zeina tampaknya menyadari dan tersenyum kecil sambil melirik ke bawah, tempatnya tengah duduk. Dia mulai kembali memakai branya dan memakai pajamas yang tadi dilemparkannya padaku. Zeina tidak memperdulikan tatapanku yang terus terarah padanya. “Kau lucu sekali, kau tidak mengalihkan tatapanmu pada wanita yang kau anggap murahan dan rendah” Zeina mengambil celana dari pasangan pajamasnya. Zeina bangkit dan memakai celana itu dihadapanku. “Jangan berharap aku akan membuka celana dalamku di hadapanmu. Jangan berharp kau bisa membukanya juga, hal itu tidak akan pernah terjadi” Zeina mendekat dan memperhatikan wajahku. Senyuman meremehkannya mulai terlihat. “Sepertinya perkataanmu sebelumnya benar. Tatapan orang-orang padaku akan berbeda jika mereka melihat sesuatu seperti ini” Zeina berbalik dan berjalan menuju tempat tidurnya. “Kendalikan dirimu, s*x tidak ada dalam kontrak kita”.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN