Chapter 10 | Dokumenter Lama Zeina
POV Ethan Kal Vardhan
Setelah tiga hari mendapatkan perawatan. Zeina sudah diperbolehkan untuk pulang. Sekilas aku seperti melihat wanita bernama Elsa saat baru keluar dari rumah sakit. Namun, karena terlalu sibuk menghadapi wartawan, aku tidak begitu memperdulikannya.
Rasa-rasanya, aku juga seperti melihat mobil yang mengikutiku. Sekilas, aku melihat mobil itu dikendarai oleh seorang pria. Entah siapa namun yang jelas Zeina lah yang diikuti, gadis ini merepotkan sekali.
Aku kembali ke rumah bersama Zeina. Saat baru sampai, nenekku sudah ada di sana. Dia langsung menghampiri Zeina dan memeluknya. “Operasi? Kenapa tidak mengatakan apapun?” Aku melirik koper besar yang ada di sisinya, sepertinya dia langsung kembali begitu mendengar kabar. Padahal setahuku, nenek sedang menangani proyek besar.
Seingatku mereka tidak seakrab ini.
Zeina tersenyum lembut, senyuman yang hampir tidak pernah kulihat. “Hanya operasi kecil, aku sedang tidak beruntung karena lukanya terbuka lagi. Nenek melihatnya? Aku jadi bahan lelucon di sosial media” Zeina berujar seolah mengadu. Sikap aneh ini, aku tidak menduga bahwa mereka cukup akrab.
Aku tahu bahwa mereka memang memiliki pertemuan rutin, aku kira Zeina datang ke pertemuan itu karena terpaksa. Mungkin karena pertemuan itulah mereka menjadi akrab.
“Ahhhh yang dikirim Arfan? Sejujurnya, nenek sempat mengira itu hanya lelucon” Zeina meringis mendengar perkataan nenekku. “Aku membacanya, bagaimana bisa nenek mengirim emoticon itu” Zeina dan nenekku duduk di sofa dengan nyaman. Interaksi mereka, entah mengapa mulai terasa berlebihan.
“Ah hampir lupa. Apa kau tahu apa yang nenek temukan?” Wanita yang masih terlihat bugar dengan tatanan busana yang tidak ketinggalan jaman itu memperlihatkan isi ponselnya pada Zeina dan membuat Zeina terkejut.
“Lukisan pertamamu yang terjual” Nenekku tampak bersemangat. “Kau tahu ayahmu juga mencari lukisan ini kan? Nenek akan memamerkannya sekarang” Zeina menyentuh lengan nenekku, hendak melarang. “Jangan di kirim di grup obrolan, aku malu” rengek Zeina sambil berusaha meraih ponsel yang dijauhkan darinya.
“Grup obrolan?” tanyaku memastikan. “Ah kau sudah pernah dimasukan, tapi kau langsung keluar empat tahun lalu” jawab nenekku dengan acuh tanpa begitu memperdulikanku. “Apa kondisimu baik? Kita batalkan saja rencana minggu ini” Zeina langsung menggeleng kecil. “Bulan lalu kakak ipar sudah mengirim agenda bulan ini, jangan dibatalkan. Aku benar-benar sudah tidak apa-apa” jawab Zeina menenangkan.
Aku tidak mengerti arah perbincangan mereka, seolah aku menjadi orang asing.
Ponsel nenek berbunyi, dia mengangkat dan terlihat kesal mendengar ucapan dari si penelpon. Ketika telpon terputus, Zeina mengangguk kecil. “Aku benar-benar sudah tidak apa-apa. Akhir minggu ini Ka Arfan juga akan datang jadi tidak perlu dibatalkan hanya karena insiden kecil” Zeina masih membuju. Nenekku terlihat menghela nafas sebelum mengangguk “Nenek sibuk kan” Zeina seolah memberi isyarat bahwa tidak apa-apa untuk pergi sekarang.
Nenekku kembali menghela nafas dan bangkit dari posisi duduknya. “Sampai bertemu nanti” Ujarnya sambil mengecup kening Zeina dengan lembut. Zeina tersenyum dan melambaikan tangannya. Nenekku keluar dari rumah sambil membawa kopernya tanpa menyapaku, seolah aku tidak ada dalam pandangannya.
“Kau pantas mendapatkan penghargaan akting” komentarku saat akhirnya hanya kami berdua di ruangan ini. Zeina melirikku tidak begitu peduli. “Pertemuan bulanan apa yang kau bicarakan?” sebelumnya Farel memang pernah mengatakan bahwa Zeina rutin bertemu dengan keluargaku setiap bulannya, tapi aku tidak tahu pertemuan bulanan itu seperti acara wajib mereka yang bahkan memiliki agenda acara. Zeina beranjak dari posisinya “Kau tidak diundang, tidak perlu repot-repot mencari tahu” jawabnya dengan acuh sambil beranjak memasuki kamarnya.
Entah mengapa, aku merasa akhir-akhir ini Zeina semakin ketus dari sebelumnya. Mungkin karena kehidupan monoton kita tiba-tiba berubah dengan drastis. Padahal sebelumnya kami bahkan tidak saling memiliki waktu untuk bersikap ketus satu sama lain.
“Hanya aku yang tidak masuk obrolan grup dan tidak diundang dalam pertemuan keluargaku sendiri?” Aku melirik koper Zeina dan meninggalkannya begitu saja untuk kembali ke kamarku. Tiga hari terakhir tidurku sangat tidak nyaman, menjaga orang sakit begitu merepotkan.
Aku ingin beristirahat…
Aku hampir tidak pernah bertemu Zeina lagi setelah hari itu. Aku sibuk dengan urusan kantorku, dia pun demikian.
Namun di sela-sela waktu dimana semua pekerjaanku telah usai, terkadang aku memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya berada dalam pikiran. Seperti pertanyaan-pertanyaan tidak berguna.
“Apa dia kembali bertemu sutradara itu?” tanyaku pada Farel yang yang baru saja datang untuk mengambil berkas yang telah selesai mendapatkan persetujuanku. “Saya menghubungi sekretaris istri anda, merak sudah bertemu kemarin malam. Syuting juga akan segera di mulai” jawab Farel sambil mengambil beberapa berkas di meja.
“Bagaimanapun, karena pernah tinggal bersama. Sepertinya sutradara itu sangat khawatir saat nyonya masuk rumah sakit. Saya beberapa kali melihatnya berada di rumah sakit tempat nyonya di rawat kemarin” Aku mengerjapkan mataku sesaat.
“Tunggu, tinggal bersama?” Tanyaku yang di angguki oleh Farel dengan mudah. “Anda masih belum melihat dokumenter yang saya berikan?” tanyanya seolah aku bisa menemukan jawaban jika menonton dokumenter itu.
“Tidak ada waktu untuk melihat hal tidak berguna semacam itu” tegasku. Farel terlihat tersenyum tipis. “Anda tahu? Terkadang saya merasa sikap anda sedikit terlalu acuh pada nyonya. Padahal meski anda tidak begitu menyukai nyonya, nyonya adalah partner yang baik. Anda sendiri tahu, tidak ada satu projek pun yang pernah gagal saat nyonya terlibat” Aku menatap Farel tidak suka, tidak biasanya pemuda ini berpihak seperti itu.
“Dia mendapatkan pemerasan, siapkan tim hukum untuk berjaga-jaga” Aku melihat raut wajah penuh pertanyaan Farel. “Video ancaman mengenai pemerasan, kekerasan, plagiarism, dan sejenisnya” Farel terlihat tengah menimang. “Jika nyonya memang terlibat hal semacam itu, entah mengapa saya meyakini bahwa beliau punya alasan” Farel berpendapat. Seolah dia lebih mengenal Zeina ketimbang diriku.
“Sepertinya waktumu sangat luang” jawabku yang membuat Farel tersenyum dan bergegas pergi membawa tumpukan berkas itu.
Aku akhirnya memandang keluar jendela–memperhatikan hiruk pikuk ibu kota yang padat saat hari menjelang sore. Aku meraih layar iPad ku, mulai membuka dokumenter yang sempat Farel tunjukan padaku.
Aku mengklik episode pertama dari dokumenter dengan judul, Part Time itu.
Video dimulai dengan rekaman yang menampilkan wajah Reynand yang masih sangat muda. Pemuda itu terlihat menghela nafas dan memandang ke arah kamera.
“Sepertinya, posisiku telah diambil alih oleh penyihir wanita” Reynand mendesis kecil sebelum akhirnya tersenyum semringah. “Mereka menjadi sangat fokus padanya, itu artinya. Aku mendapatkan kebebasan. Kalian tahu apa yang lebih menakjubkan dari semua itu?” Reynand terlihat menyentuh dadanya sendiri dengan bangga.
“Aku resmi mendapatkan pekerjaan paruh waktu bergaji besar yang sejalan dengan impianku. Aku akan menjadi sutradara terkenal, tentu hal itu akan berhasil. Ah dan rekaman ini, akan menjadi bukti karya pertamaku yang meraih kesuksesan. Kalian tahu apa pekerjaanku?” Reynand tertawa kecil.
“Menjadi mata dan telinga seorang ayah yang terobsesi pada putrinya yang kabur dari rumah” Reynand memasang wajah seolah dia berpikir.
“Tidak kabur juga sih, intinya aku hanya perlu melaporkan semua yang dilakukannya dan menjalankan misi-misi aneh dari ayahnya dan mendapatkan uang. Sangat mudah bukan?” Reynand menulis sebuah hal di papan kecil dan membalik papan itu dengan begitu semangat.
“Misi pertama, membuatnya menangis”.