Chapter 8 | Terjebak Bersama
POV Ethan Kal Vardhan
Begitu sampai di rumah sakit, aku akhirnya mengetahui fakta bahwa belum lama ini dia melakukan operasi pengangkatan usus buntu. Alasan keterlambatannya satu minggu lalu karena dia baru sekitar tiga hari menjalani operasi. Pria yang membawa Zeina ke rumah sakit, kini sudah berdiri di hadapanku.
“Anda suaminya kan?” Aku mengangguk dan dia memintaku memasuki ruangan seorang dokter di rumah sakit itu. Aku mengikuti dan kini sudah berada di ruangannya. Seorang Dokter tersenyum pada pria itu “Aku tidak percaya kau masih bekerja di hari cutimu” gumamnya sebelum tertawa kecil. “Suami pasien” pria itu memperkenalkanku pada Dokter yang menangani Zeina.
“Semalam aku tidak sengaja bertemu dengan Zeina-ah maksud saya istri anda” Pria itu menjelaskan padaku dan Dokter yang ada di hadapan kami. Dokter itu kemudian memberikan selembar kertas hasil pemeriksaan Zeina. “Lukanya bekas operasinya masih basah, sepertinya dia tidak sengaja terluka semalam” Pria itu mengangguk kecil.
“Dia tidak bilang karena apa, tapi memang jahitannya sedikit terbuka. Aku sudah menanganinya, dia juga sudah dirawat di sini semalam. Tapi seperti yang sudah kukatakan pedang mainan itu menusuk terlalu tepat sasaran” Dokter itu mengangguk kecil.
“Kau yang mengoperasinya kan?” Pria itu mengangguk. “Baik, sebagai keluarga pasien mungkin anda khawatir. Tapi bisa dibilang semuanya cepat terkendali karena dokternya ada di sana. Tidak ada infeksi, meski kondisi tubuh pasien lebih lemah dari kebanyakan orang, pasien tetap akan baik-baik saja. Selain proses penyembuhannya yang cenderung lambat, tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan. Pasien boleh pulang setelah dua sampai tiga hari. Kami akan memantau terus perkembangannya” Dokter itu memberi penjelasan. Tidak ada yang bisa kukatakan, aku juga tidak tahu harus mengatakan apa.
“Baik, terima kasih” ujarku sebelum keluar dari ruangan. Pria itu juga mengikutiku setelah menyapa Dokter yang sepertinya adalah temannya. “Disini” dia menuntunku memasuki ruangan dimana Zeina di rawat. Saat masuk, aku melihatnya yang terlelap dengan pakaian pasien. Pria itu mengecek kecepatan infus sebelum mengecek suhu tubuh Zeina.
Jika dia Dokter Zeina, apa itu artinya aku sudah salah paham terhadapnya? Aku tidak peduli dengan hubungan gelapnya, namun jika sampai aku salah paham, rasanya terlalu memalukan.
Aku meliriknya yang duduk di kursi sambil menatapku.
“Sepertinya kau bahkan tidak tahu kondisi istrimu” entah mengapa, rasanya pria ini berbicara dengan cara yang tidak sopan padaku. “Ah karena aku sedang tidak bertugas, aku tidak perlu berbicara sopan kan?” dia seolah mengerti arti dari tatapanku. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
Pria itu melirik Zeina yang masih terbaring di tempat tidurnya. “Tidak mungkin seorang Dokter bisa melakukan operasi pada orang lain tanpa persetujuan wali” Pria itu tertawa kecil dan mengangguk. “Kakak iparnya yang menjadi wali, kakakmu” tanpa sadar aku mungkin sudah mengernyit keheranan. Aku tidak tahu Zeina seakrab itu hingga bisa meminta kakakku sebagai walinya.
“Lagipula dia bukan orang lain” gumam pria itu sambil bangkit dan kembali berjalan menuju Zeina. Pria itu memandangi Zeina yang tengah terlelap selama beberapa saat.
Tatapan itu…
Bukanlah tatapan Dokter yang mengkhawatirkan pasiennya…
Terlalu dalam…
Terlalu penuh arti…
“Kau bekerja terlalu keras untuk seorang pasien biasa” komentarku yang membuatnya tersenyum. “Tidak juga, aku sudah mengenalnya sejak lama” balasnya sambil menoleh dan tertawa kecil. “Sepertinya hubungan kalian tidak baik” ujarnya dengan percaya diri.
Pria itu mendekat dan memandangku selama beberapa saat.
“Melihatmu yang bahkan tidak terlihat khawatir sedikitpun, aku sangat berterima kasih” pria itu menyadari apa yang dikatakannya kan. “Kau bisa membuatku salah paham dengan ucapanmu” dia kembali tersenyum.
“Hahh” suara Zeina yang terdengar membuat diriku dan pria itu menatap ke arahnya. Gadis itu sudah terbangun dan tengah duduk menatap kami berdua saat ini. “Tumben sekali bangun cepat. Biasanya kau akan tertidur seperti mayat hidup” pria itu langsung menghampiri dan mengecek kondisi Zeina. Memastikan pandangan gadis itu kembali fokus.
Aku juga berjalan mendekat, dia melirikku keheranan. “Sedang apa kau disini?” tanyanya, seolah aku tidak boleh dan tidak diperkenankan di tempat ini. Pria itu tersenyum tipis mendapati reaksi Zeina.
“Bukankah sudah kukatakan untuk tetap istirahat, kau benar-benar pasien yang merepotkan” Zeina kembali memandang pria itu. “Kalian keluarlah, aku ingin beristirahat” ujarnya. Aku memperhatikan caranya memandang pria itu, Zeina seolah tidak peduli.
Kalau begitu…
Mungkinkah mereka benar-benar tidak ada hubungan apapun? Pria ini jelas tertarik padanya, namun apa Zeina juga demikian?
“Benar, istriku butuh istirahat. Keluarlah” ujarku sambil menatap pria yang kini juga menatapku. Tinggi kami sejajar, bola mata kami juga sedikit mirip, berwarna abu-abu meski miliknya sedikit lebih gelap. Pandangan kami saling terpaut tajam sebelum akhirnya dia tersenyum dan kembali menatap Zeina.
“Kali ini dengarkan perkataan Doktermu” dia memberi peringatan. Zeina hanya mengangguk kecil agar semuanya cepat berlalu. Setelah pria itu pergi, Zeina kini menatapku. “Kau tidak pergi?” Aku berjalan menuju kursi dan menariknya ke sisi tempat tidurnya. “Kau pingsan di depan wartawan, mereka sudah menunggu di lantai bawah. Kau pikir aku bisa kemana dalam kondisi saat ini?” Zeina tidak memberi tanggapan apapun.
Gadis itu justru sibuk mencari remot untuk mengubah posisi tempat tidurnya. Aku melihat remot itu yang terletak di nakas sisi kiri dan memberikannya kepadanya. Dia menatapku selama beberapa saat dengan tatapan keheranan, hanya karena bantuan kecil. Apa dia pikir aku seapatis itu?
Setelahnya dia menyamankan posisi duduknya sambil bersandar di kepala tempat tidur yang sudah di setting sedemikian rupa.
“Pinjami aku ponselmu” tangannya terulur dan aku akhirnya memberikan ponselku padanya.
Dia menelpon seseorang dengan ponselku. “Virly, katakan pada Sindy untuk mengambil alih pekerjaanku sementara. Ah jadwalnya masih ada di ponselku, sepertinya ada di hotel. Lalu soal pelelangan, kau bisa pergi sendiri kan. Lakukan sesuai batas dana, pastikan untuk mendapatkan lukisan itu, aku menandainya dengan pena merah dalam berkas. Selain itu, tunda pertemuan dan atur ulang untuk minggu depan” Dia mendengarkan asistennya yang berbicara dari balik sambungan telepon sebelum mengiyakan dan menutup panggilan. Dia mengembalikan ponselku.
Akhirnya…
Aku benar-benar tetap tinggal di ruangan ini. Farel membawa pakaian ganti dan semua yang kubutuhkan. Untuk pertama kalinya, aku menjaga seseorang di rumah sakit dan harus bekerja dari kamar pasien seperti ini. Mungkin ini kali pertama aku dan Zeina di terjebak di ruangan yang sama selama berhari-hari tanpa jeda.
Dia tidak banyak bicara seperti biasanya…
Dia hanya memandangi layar televisi dan menonton film lama sebelum akhirnya tertidur…
Saat tengah malam sudah terlewati, aku akhirnya merasakan kantuk yang luar biasa. Aku memasang tempat tidur portable yang tersimpan di lemari dan memasangnya di samping Zeina.
Dia tertidur dengan tenang, aku memperhatikan raut wajahnya selama beberapa saat. Memikirkan bahwa selain senyuman sinis dan meremehkan, juga senyuman palsu, Zeina hampir tidak pernah tersenyum dengan benar, aku memikirkan hal tidak berguna sebelum tanpa sadar akhirnya terlelap.
Pandanganku berubah, aku mendapati sosokku yang masih kecil tengah duduk di sebuah theater. Gordeng merah tebal terbuka dan seorang gadis kecil berdiri di sana. Pandangannya yang tertunduk kini mulai terangkat–menampakan manik kuning amber yang cerah. Dia tersenyum sempurna dan indah…
Sosok seperti matahari…
Cahayanya begitu menyilaukan…
Membuatku begitu merasa terusik…
“Aku membencimu” gumamku pelan.
“Yah, aku juga tidak menyukaimu” sebuah balasan dari suara yang kukenal membuatku membuka mata. Zeina sudah duduk dan memandangku yang masih berbaring tidak jauh darinya. Rupanya hari sudah pagi, dan kami masih saling bertatapan selama beberapa saat.
Dia memalingkan wajah dan memandangi sarapan yang sudah tersaji di hadapannya. “Benar-benar tidak enak” keluhnya. “Bukankah kau terlalu pemilih” komentarku sambil beranjak duduk dan memperhatikannya yang mencicipi makanan dengan enggan.
“Kemari dan rasakan sendiri” tentangnya seolah tidak suka dengan komentarku sebelumnya. Aku berjalan mendekat dan dia sudah menyodorkan kuah sup di sendok.
Dia mau menyuapiku? Kekanakan sekali.
Aku meraih sendoknya dan menyuapi diriku sendiri. Mencicipi sup dengan rasa yang tidak mengenakan. “Buruk kan” tanyanya memastikan. “Tidak juga, lidah orang sakit memang terkadang bermasalah” Zeina mengambil sendok yang kusodorkan dan mendesah kecil. “Lidahku baik-baik saja” keluhnya sambil kembali memakan makanan itu dengan terpaksa.
Aku tahu bahwa dia sangat pemilih soal makanan. Namun dulu aku menduga bahwa itu hanyalah rengekan tidak bergunanya. Mengetahui bahwa dia tahu cara memasak membuatku menyadari bahwa ada alasan dibalik komentar dan sikap pemilihnya.
Meski begitu, dia berusaha merawat dirinya sebaik yang dia biasa. Dia tetap memakan makanan itu agar bisa lebih sehat.
Dia cukup menyayangi dirinya…
Meski tidak pernah tersenyum seperti dulu lagi.