Chapter 1| Tahun Terakhir Kontrak Pernikahan
Chapter 1| Tahun Terakhir Kontrak Pernikahan
POV Ethan Kal Vardhan
Pernikahan…
Bagi sebagian orang adalah ikatan janji suci yang sakral dan berharga. Tempat dimana kau bisa berkeluh kesah dan saling mengasihi. Rumah untuk pulang…
Seperti sebuah mosaik dengan jutaan momen kecil yang menjadi kisah cinta. Cinta sendiri bukanlah hal yang menciptakan pernikahan. Pernikahanlah yang menciptakan cinta.
Tapi bagiku ini hanyalah alat untuk mencapai keinginan…
Tidak lebih…
“Mengenai kontrak kita” Dia menggantung ucapannya, helaian rambut yang menghalangi pandangan disingkirkannya ke belakang telinga. “Akan berakhir minggu depan, aku pikir lebih baik untuk mengakhirinya hari ini” Tangannya terulur–mendorong map coklat yang sudah aku ketahui isinya. Ini kali kedua dia memberikan berkas semacam ini kepadaku.
Aku membuka map itu. Surat perceraian yang sudah ditandatanganinya kini berada di tanganku. Tidak ada pasal dalam perceraian yang memberatkan kami berdua. Tidak ada harta yang dimintanya tidak ada pula tuntutan yang bisa memberatkan kedua belah pihak. Surat ini benar-benar tidak akan mengecewakan bagi dua orang yang menjalin ikatan kontrak.
Surat yang sesuai harapanku…
“Kau ingin mempercepat?” tanyaku. Dia menatapku selama beberapa saat sebelum tersenyum kecil. “Karena ada yang harus kulakukan, aku tidak akan punya waktu minggu depan” jawabnya tanpa beban.
Namun…
Aku tidak puas dengan jawaban itu…
Aku tidak suka dengan situasi ini…
Perceraian kami adalah hal yang kuinginkan, setidaknya sampai satu tahun lalu. Aku sudah berjanji akan merasa puas untuk lima tahun kontrak pernikahan kami, lantas mengapa rasanya kini aku begitu enggan? Apa karena ilusi di tahun terakhir kontrak pernikahan kami? Apa semua itu benar-benar ilusi? Apa dia benar-benar tidak merasakan apapun lagi?
Benarkah perasaannya sudah tidak lagi sama?
“Bagaimana jika aku tidak mau menandatangani surat ini?” Dia masih menatapku. Mata berwarna kuning amber yang tajam itu membuatku terusik. Tatapannya jauh lebih lembut sebelumnya, mengapa tatapan ini kembali menajam seperti sedia kala?
“Tidak ada pembagian harta, tidak ada yang memberatkanmu dalam surat perceraian. Tidak ada alasan kau untuk menolak menandatangani surat itu, Ethan” Hatiku terasa getir saat dia kembali memanggil namaku dengan dingin.
Apa tahun terakhir kontrak pernikahan kami benar-benar sebuah ilusi?
“Aku tidak ingin menandatanganinya” jawabku acuh. Dia berdiri dari posisi duduknya “Kirim ke studioku setelah selesai” jawabnya sambil berlalu pergi.
“Apa kau benar-benar ingin bercerai?” tanyaku memastikan, menghentikan langkahnya. Dia membalik tubuhnya dan menatapku “Bukankah ini hal yang kau inginkan juga?”. Wanita yang tidak lain adalah istriku itu masih menatapku, tatapan dingin itu membuat hatiku terenyuh.
“Bukankah ini hal yang kau inginkan juga?” Suaranya yang biasanya terdengar lembut seolah terngiang di kepalaku. Senyumannya yang tertuju padaku dan pandangannya yang berbinar saat menatapku.
Aku mengetahuinya…
Bahwa selama empat tahun terakhir aku membuat kesalahan besar. Kesombongan dan rasa tinggi diri, dengan meyakini bahwa diriku bisa menyelesaikan kesalahan di tahun terakhir kontrak pernikahan, menenggelamkanku hingga dasar.
Pada akhirnya ia ingin aku pergi dari pandangannya.
Apa aku benar-benar sudah terlambat?
Membayangkan hidupku tanpanya…
Aku tidak mau…
Sejak kapan kira-kira semua ini dimulai? Apa sejak aku merasakan kekosongan itu?
Dia kembali membalik tubuhnya dan berlalu pergi, aku tidak bisa memanggil namanya. Jantungku terasa sesak kala itu. Haruskah aku bangun dan mengejarnya, meminta padanya untuk memikirkan kembali keputusannya?
Haruskah?
Tapi, apa dia akan memberikan kesempatan itu?
Lagi pula, baginya semua ini tidak akan sepadan?
Kehidupannya yang sempurna, tidak pernah membutuhkan diriku di dalamnya. Sosoknya lebih bersinar dan hangat seperti mentari. Sosok yang seperti itu, tidak membutuhkan kehadiranku.
Di saat seperti ini, kepalaku terasa kosong. Aku hanya ingin membayangkan hari-hari yang kulalui bersamanya selama satu tahun terakhir. Pelukan hangatnya, sentuhan lembut kulitnya saat menyentuh pipiku, juga genggaman tangannya yang terasa penuh perlindungan.
Padahal tangannya sekecil itu…
Tapi aku selalu merasa aman saat tangan itu menggenggamku. “Kau tidur? Kau sudah berjanji menemaniku malam ini, lukisanku hampir selesai”. Penampilan berantakannya saat melukis selalu memiliki daya tarik. Aku akan menarik tangan yang menggenggamku itu dan memeluknya dengan erat. Menghirup aroma woody, dan balsamic yang terasa lembut karena campuran lili putih, lotus, yang selalu dikenakannya.
Aku masih mengingat bagaimana dia menyentuh kepalaku dengan lembut setiap kali aku melakukan itu. “Aku sedang lelah, tidak mau melakukan itu” Dia sering kali menolak ku bahkan ketika aku belum meminta.
“Aku hanya ingin memelukmu” jawabku pelan. Dia akan memukul tanganku saat aku berkata demikian. “Dasar pembohong”.
“Kau ingin memilikiku, kau pikir aku tidak tahu?”
Itu benar…
Aku ingin memilikimu, dulu, sekarang maupun nanti.
Padahal aku mencoba untuk tidak serakah, karena orang sepertiku sama sekali tidak pantas untukmu. Namun keserakahan ini semakin tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, aku tidak mau menyesal karena kehilanganmu. Tidak bisa…
“Tuduhan penggelapan dana, obat terlarang, pemerasan, lakukan apapun untuk mencegah kepergiannya” ujarku setelah menelpons seseorang. “Tuan anda ingin menjebak istri anda sendiri?” Aku mencengkram kuat ponselku.
“Lakukan apapun agar dia tidak bisa pergi kemanapun” tegasku.
“Dia istriku…”
Rasa haus ini mungkin tidak ada sejak awal, tidak! Mungkin memang sudah ada sejak awal. Namun aku baru menyadarinya dalam satu tahun terakhir. Aku baru menyadari, seberapa serakah diriku.
Apapun…
Aku akan melakukan apapun agar ia tidak bisa pergi kemanapun.
Karena dia milikku…
1 Tahun sebelumnya
Untuk pertama kalinya, aku merasakan sebuah kekosongan.
Kami sudah empat tahun menikah, tidak banyak percakapan yang kami lakukan namun kami memiliki rutinitas yang sama. Sangat jarang bagiku untuk makan di rumah, selain karena sibuk, aku juga tidak begitu suka masakan rumahan.
Lidahku tidak terbiasa…
Semua makanan rumahan terasa sama saja…
Masakan di semua hari terasa sama. Kecuali hari jumat. Pengurus rumah libur di hari itu, aku tahu dia membeli makanan dari luar setiap hari jumat. Sejak aku memakan makanan di hari jumat, aku sering kali pulang lebih awal agar bisa memakannya lagi.
Setiap hari jumat, tidak ada makan malam di luar kantor!
Entah sejak kapan aku membuat peraturan seperti itu pada diriku sendiri.
Rutinitas ini terjadi selama empat tahun lamanya…
Sampai untuk pertama kalinya setelah empat tahun, tidak ada makan malam hangat yang tersaji di meja makan. Penthouse dalam keadaan gelap dan tampaknya dia belum kembali, penjaga rumah juga libur hari ini, terlebih dia memang tidak tinggal disini.
Aku tidak suka terlalu banyak orang dalam area pribadiku…
Jika dipikir-pikir aku sudah tidak melihatnya sejak sabtu kemarin. Mungkin dia disibukan pekerjaannya. Kalau tidak salah, sebuah event pameran akan berlangsung dalam waktu dekat.
Aku hanya bisa menghela nafas, aku tidak tahu dimana dia memesan makanan itu. Terlalu tidak penting juga rasanya jika aku menghubunginya dan bertanya.
Dalam keadaan perut kosong aku hanya bisa berjalan ke kamarku, membersihkan diri sebelum menyibukan diri dengan pekerjaanku.
Begitu selesai membersihkan diri, aku mendengar suara dari arah dapur. Sepertinya dia sudah tiba, dengan handuk basah yang masih berada dikepala, aku melihat saat dia baru saja selesai menaruh piring berisi nasi goreng dan omelet di atas meja. Ini hidangan makan malam paling sederhana selama empat tahun terakhir.
“Sudah makan?” tanyanya sambil menatapku. “Sudah” jawabku singkat. Dia terlihat tidak terkejut apalagi terusik, aku melihat ke bagian dalam dapur, banyak alat masak kotor disana.
Tidak mungkin jika dia yang memasaknya. Apa baru dipanaskan?
“Tapi makan malamku tidak nyaman” jawabku sambil duduk di meja makan dan meraih sendok untuk mencicipi hidangan makan malam sederhana itu. Dia duduk di depanku dengan segelas s**u hangat, mungkin sudah makan malam diluar sampai-sampai begitu terlambat melewati jam pulang.
Meski sederhana, hidangan ini terasa enak.
Seperti hidangan-hidangan lain di jumat malam.
Aku meliriknya sekilas, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Rambutnya juga terlihat kusut, mungkin dia melukis seharian lagi.
Setelah selesai aku langsung pergi dan kembali menyibukan diri di ruang kerjaku. Waktu berlalu begitu saja, seperti biasa aku tidak banyak bertemu dengannya. Kala itu hari jumat kembali datang. Aku pulang ke penthouse lebih awal, pekerjaanku jauh lebih mudah sejak dia membantu mengambil alih dalam pengawasan pelaksanaan event-event setiap cabang hotel.
Suasana kosong dan sepi itu datang lagi…
Bisanya aku terbiasa dengan suasana ini…
Suara telepon berdering, aku mengangkat telepon rumah itu dan sebuah suara dari seberang sana mulai terdengar.
“Zeina?” Suara pria dari balik telepon membuatku terdiam. Jarang sekali ada yang memanggil namanya seperti itu. Semua orang memanggilnya Jia kecuali aku dan ayahnya.
“Zeina? Ahhh ini peringatan terakhir. Jika tidak datang lagi hari ini, aku sendiri yang akan menemuimu. Mengerti?” Terdengar akrab dan santai. Mereka pasti saling mengenal.
“Dengar, aku akan benar-benar datang sore ini jika sampai siang kau tidak menemuiku. Aku tutup” panggilan telepon terputus, aku meletakan gagang telepon itu dan tertawa kecil.
“Kau selalu memandangku seolah aku begitu hina. Tapi kau pun tidak ada bedanya” Aku tidak menghiraukan. Aku tidak peduli meski dia berselingkuh sekalipun.
Itu semua bukan urusanku…