Chapter 7 | Tusukan Pedang Berdarah
POV Ethan Kal Vardhan
Setelah pertengkaran itu, aku mendengar suara pintu yang ditutup. Dia mungkin sudah pergi entah kemana untuk meredakan amarahnya. Aku keluar dari kamar dan duduk di sofa, ponselnya berdering beberapa kali.
Pesan datang dari Reynand, pria itu menelpon Zeina beberapa kali. Aku melihat pesannya yang meminta Zeina untuk turun dan menemuinya. Mungkin gadis itu keluar untuk menemui selingkuhannya itu.
Sebuah panggilan masuk dari ponselnya, membuatku mengernyit. Dia tidak menyimpan nomor itu dan panggilannya terus menerus masuk. Sampai akhirnya tanganku tergerak untuk mengangkatnya.
“Aku sepertinya melihatmu barusan, kau baik-baik saja? Ada yang sakit? Sudah kukatakan untuk menemuiku kan? Ah dan lagi jangan dekat-dekat dengan air untuk sementara waktu, kau tidak pernah mendengar. Aku sedang berjalan ke arahmu, tetap di sana jangan kemana-mana” panggilan terputus. Suara itu adalah suara yang sama dengan yang kudengar beberapa hari lalu di rumah.
“Dia berani sekali” aku meletakan ponselnya dan duduk di sofa dengan tenang. Karena menyinggung soal air, mungkin saat ini mereka berdua berada di kolam renang atau air mancur di taman hotel. Aku bisa saja pergi dan memergoki mereka, namun hal tidak penting semacam itu tidak akan kulakukan.
Setelah membersihkan diri, aku bergegas menuju tempat tidur. Aku kesulitan untuk tidur malam itu. Entah sejak kapan, tempat tidur hotel terasa begitu besar. Biasanya Zeina akan bergerak kecil dan melenguh saat bermimpi buruk ketika dia tertidur.
Terkadang…
Saat dia mengenakan pakaian tidur yang terlalu terbuka, membuatku semakin kesulitan untuk terlelap. Dia tidak suka memakai pakaian yang terlalu terbuka saat di luar namun bersikap seenaknya di dalam kamar karena tahu aku tidak bisa menyentuhnya.
Gadis jahat itu…
Sedang apa dia sekarang?
Kenapa aku terus memikirkannya? Padahal aku sudah lama tidak memikirkannya lagi. Pasti karena semua masalah yang diperbuatnya akhir-akhir ini. Malam panjang itu berlalu, aku terlelap begitu saja hingga pagi datang dan mendapati sisi kasur lainnya yang masih kosong. Rupanya dia tidak tidur di sini semalam, tidak mungkin dia mengambil kamar lain, dengan kata lain dia tidur di kamar salah satu pria yang menjadi kekasih gelapnya.
Saat aku sedang minum kopi, dia datang. Pakaiannya sudah berubah dari semalam, dia mengenakan kemeja kebesaran dan celana olahraga bercorak norak. Mungkin pakaian dari kekasih gelapnya. Dia melewatiku, bergegas membersihkan diri dan mengenakan pakaian sebelum merapikan barangnya. Mungkin dia akan kembali lebih awal setelah pembukaan even dilakukan pagi ini.
Tidak ada perkataan yang keluar dari bibirnya, begitupun dari bibirku.
Dia mengenakan setelan kemeja putih satin dengan rok mengembang berwarna merah muda. Surai panjangnya ia sanggul kecil ke atas dengan hiasan permata merah muda yang menjaga surainya tetap rapi. Dia juga mengenakan kalung mutiara dengan anting permata merah muda dan sepatu heels putih. Setelahnya Zeina menuju dapur dan minum segelas air sebelum keluar kamar tanpa sepatah katapun.
Aku juga keluar kamar dan menuju aula event pameran yang menampilkan karya seni dari penyandang disabilitas. Event ini diliput oleh para wartawan karena bisa membuka jalan untuk para pelaku seni berkebutuhan khusus.
Aku dan Zeina melakukan pembukaan acara dengan baik bersama para donatur. Setelah wawancara selesai di lakukan, semuanya jelas benar-benar berakhir. Zeina mungkin akan segera kembali ke kamar dan mengambil penerbangan tercepat untuk pulang.
Aku melihat matanya yang sayu, dia tampak tidak bisa tidur semalaman. Mungkin ada kegiatan lain yang dilakukannya. Untuk seseorang yang mudah tertidur, aneh rasanya jika matanya terlihat sembab dan suram begitu.
Lagipula, dia tidak mungkin menangis.
Gadis itu tidak tahu caranya menangis…
Untuk yang satu ini, aku mengetahuinya dengan pasti. Sejak kecil, dia kehilangan kemampuan menangis. Dia sangat angkuh bahkan untuk sekedar menangis.
Aku masih memperhatikannya, saat dia menjelaskan beberapa karya seni pada para wartawan. Aku akui, dia mahir melakukan pekerjaanya. Seorang anak kecil berlari ke arahnya dengan membawa sebuah pedang mainan. Aku hampir tertawa saat melihat wajah terkejutnya saat melihat pedang mainan itu terarah padanya. Mungkin hal lucu ini akan segera menjadi berita dalam surat kabar.
Zeina mundur berusaha menghindar namun anak kecil yang sejak awal mengincarnya tetap mengejar tanpa ampun. “Tunggu” Zeina berusaha menahan laju bocah lelaki itu yang tertawa dengan riang berlari ke arahnya sambil mengarahkan pedangnya.
Aku tahu bahwa Zeina tipikal orang yang sangat menjaga dirinya. Dia takut terluka karena itulah dia tidak melakukan kegiatan fisik yang berbahaya. Namun, bagaimana mungkin dia juga takut pada pedang mainan? Tingkahnya terkadang benar-benar diluar nalar.
“Hyaaa aku sudah berhasil membunuh sang Putri” Teriak anak itu sambil mengarahkan pedangnya menusuk perut Zeina dan satu tangannya terangkat ke atas seolah meraih kemenangan. Suara tawa dari para wartawan terdengar, mereka beberapa kali memotret anak itu dan reaksi terkejut Zeina.
Namun wajah Zeina terlihat lebih dari terkejut, dia terlihat kesakitan. Lagi-lagi dia bersikap berlebihan seperti semalam.
“Zeina” suara yang entah mengapa kukenali terdengar dari belakangku. Seorang pria berlari menghampiri Zeina dan langsung menahan bobot tubuhnya, saat gadis itu kehilangan tenaga.
Pria dengan paras menarik dan rahang tegas. Matanya terlihat penuh kekhawatiran saat melihat Zeina, dan semua hal itu terekam juga terpotret oleh media.
Bagaimana bisa mereka bertingkah ceroboh begini!
Siapapun akan tahu bahwa mereka memiliki hubungan spesial. Aku berjalan mendekat, jelas aku harus menutupi kesalahan dari gadis yang dikenal sebagai istriku itu.
Namun begitu mendekat aku melihat wajahnya yang meringis kesakitan dengan tangan yang mencengkram kuat kemeja pria asing itu. “Tarik nafas” ujar pria itu sambil menahan perut Zeina yang sebelumnya terkena tusukan pedang mainan. Para wartawan semakin gencar memotret dan merekam semua yang terjadi. Selain itu, semua orang juga memandang ke arah Zeina.
Namun ada yang aneh…
Tangan pria yang menahan perut Zeina penuh dengan darah.
Kemeja putih yang Zeina kenakan juga sudah basah dengan darah.
“Aku akan mengangkatmu” Pria itu memberi isyarat dan Zeina yang memandangnya mengangguk kecil. Pria itu kemudian mengangkat tubuh Zeina dan berlalu pergi. Pandanganku dan Zeina sempat bertemu selama beberapa saat sebelum dia pergi dibawa oleh pria asing yang entah siapa. Aku melihat sepatunya yang terlepas dan pedang mainan dengan ujung bernoda darah.
Anak itu terlihat ketakutan dalam pelukan ibunya yang mencoba menenangkan.
Tidak mungkin dia terluka karena pedang mainan…
Kalau begitu, dia sudah memiliki luka itu sejak awal. Itu berarti, ekspresi kesakitannya semalam saat terjatuh dihadapanku bukanlah sebuah omong kosong.
Aku hanya bisa menghela nafas berat, tidak mengetahui apapun…
Sejak kapan tidak mengetahui apapun terasa begitu menjengkelkan seperti ini?
“Apa istri anda terluka? Anda tahu apa yang terjadi hari ini? Apa yang menyebabkan isteri anda terluka? Rumah sakit mana yang akan menjadi pilihan anda dan istri anda?” Beberapa wartawan mendatangiku dan mengarahkan kamera juga microphone padaku. Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah.
Aku tidak tahu…
Aku benar-benar tidak tahu banyak tentangnya.
Aku tidak tahu banyak soal Zeina…
Bahkan ketika keadaannya seburuk itu, aku masih tetap tidak mengetahuinya.
“Aku harus menemui istriku” ujarku sambil berlalu pergi menghindari para wartawan. Aku masuk ke dalam mobil yang baru saja berhenti di hadapanku begitu aku keluar dari lobby hotel. Farel yang menyetir langsung bergegas begitu aku masuk.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada sekertarisku itu. Dia tampaknya juga tidak mengetahui apapun.
Pada akhirnya, aku benar-benar tidak mengetahui apapun.