Pov : Fadli
Aku menghela napas panjang, mimik wajahku juga menunjukkan kemarahan pada Rosa. Namun, kenapa dia sama sekali tidak takut. Baiklah, aku sudah tidak berharga lagi di matanya. Akan kutunjukkan kepadanya, sipa yang lebih membutuhkan di antara kami.
“Kalau begitu, aku yang ingin putus. Mulai hari ini kita sudah tidak berpacaran. Kamu tidak akan menemui lagi orang yang membuatmu malu karena nilainya selalu jelek. Satu hal yang paling penting, jangan usik aku untuk menjadi gamer profesional.”
Aku berhasil mengatakannya. Aku sudah membuat hatinya patah. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang aku lihat hanya sepasang bola mata yang berkaca-kaca. Aku meninggalkan dia dengan keyakinanku. Dia memang tidak berani menghentikan langkah kakiku. Seraya waktu akan berlalu dia akan mulai mencariku lagi.
Seminggu sudah berlalu. Ratusan pesan berbunyi, isinya seperti sebuah lirik yang bernyanyi. Aku sudah bilang kalau dia tidak bisa lepas dariku. Permintaan maafnya menjadi ucapan untuk setiap pagi dan malamku. Mekipun kuabaikan dirinya, sebenarnya aku sudah memafkan dirinya sejak isi pesannya berjanji untuk tidak akan membahas tentang nilai dan game. Sayangnya semua ini terlalu mudah untuk dilewati. Aku merasa senang ketika dia begitu mengejarku. Rasanya diri yang tidak berharga ini mulai menjadi sangat berarti.
Aku mendapat pemberitahuan di e-mail. Namaku masuk menjadi peserta tingkat lanjut dalam turnamen. Aku sudah berhasil selangkah menuju pencapaianku. Aku akan berusaha keras agar aku menjadi pemenang. Setelah itu, aku baru bisa mengimbangi Rosa. Kami tidak akan lagi menjadi pasangan yang berat sebelah.
Ting. Pemberitahuan pesan masuk pada ponselku. Isi pertama, seperti biasa sebuah permintaan maaf. Kedua, dia bilang, “Aku akan ke rumahmu.” Hah, aku tidak peduli. Lagi pula aku tidak akan mempercayai itu. Aku sudah bilang padanya kalau bermain game saja orang tuaku marah. Apalagi jika mereka tahu kalau aku punya pacar. Mereka akan langsung mengeluarkanku dari sekolah. Bagi mereka tugas seorang pelajar itu ya belajar. Tidak ada hiburan seperti bermain game atau pacaran. Terkadang aku sendiri bertanya heran, “Apa mereka tidak pernah muda?”
Pesannya terus berlanjut masuk pada ponselku. Aku kesal karena ponselku mulai lamban untuk bermain game. Mungkin tidak apa-apa jika memblokirnya sementara. Akhirnya ketenangan bisa kudapat untuk waktu yang sedikit. Tiba-tiba ibu mengetuk pintu, “Fadli, ada yang cari kamu,” teriaknya.
“Hah? Siapa?” tanyaku dalam hati. Tidak mungkin dia berani datang ke rumahku kan? Aku sudah memperingatkan kepadanya. Lagi pula sejak awal kita sudah membuat perjanjian dengan ini. Dia tidak boleh sekali pun datang ke rumahku. Aku dilarang orang tuaku untuk berpacaran.
“Siapa, Bu?” tanyaku seraya membuka pintu.
“Kalau tidak salah, tadi namanya Rosa. Pacarmu?” insting Ibu begitu kuat. Dia bisa langsung menebaknya.
“Bukan. Kan ibu sudah larang aku untuk berpacaran. Bilang saja sama dia kalau aku sudah tidur.” Aku menjawabnya dengan kesal. Sepertinya dahiku juga mengerut. Berani-beraninya dia melanggar janji untuk tidak datang ke rumahku.
“Heh, kok begitu. Ibu jadi curiga ini, jangan-jangan emang itu pacar kamu, ya? Kalian lagi bertengkar, jadi cewek itu datang ke sini. Iya?” lagi-lagi insting Ibu benar.
“Bukan, Bu. Dia itu cewek yang suka sama aku. Dan dia mengejar-ngejar aku. Padahal aku sudah jelasin sama dia kalau aku tidak bisa berpacaran selama sekolah. Mangkanya aku malas ketemu sama dia.” Aku mengelaknya, semoga saja Ibu percaya.
Dia tidak banyak bertanya lagi. Aku melihat ibu kembali ke bawah menemui Rosa. Sedangkan aku, di balik pintu yang telah aku tutup, aku tersenyum menang. Lagi pula siapa yang sudah memulai ini semua. memangnya dia pikir hanya karena pintar saja, dia bisa mengaturku? Itu adalah kesalahan terbesarmu, Rosa.
***
Kesalahan terbesar Rosa? Tidak! Itu adalah kesalahan terbesarku.
Pagi setelah Rosa datang ke rumahku, aku membuka blokirnya. Masih banyak pesan yang masuk darinya. Pesan terakhir membuatku sedikit bertanya, “Ada apa?” tapi pertanyaan itu sirna karena aku terlalu menanggapinya tidak serius.
Isi dari pesan itu, “TOLONG AKU.” Aku tidak peduli, masih kuabaikan pesan itu tanpa aku balas. Anehnya itu benar-benar pesan terakhir. Ponselku mulai sepi tanpa pesan yang masuk. Aku mulai khawatir. Sayangnya, kekhawatiran itu masih dikalahkan oleh egoku yang berkata jika ini masih usaha dirinya agar aku mulai menghubungi.
Ayolah, sayang. Bersabarlah sebentar lagi saja. Kalau aku juara, aku akan datang padamu membawa seikat bunga dan cokelat. Kita akan membuat sebuah komitmen lagi, bahwa kita masih bisa bersama dengan perbedaan kita.
Dan jika aku kalah, aku akan bersujud meminta maaf kepadamu. Aku akan melakukan apa saja yang kamu inginkan. Bahkan aku akan belajar lebih giat agar kita bisa seimbang.
Dua hari kemudian, sebuah bogem mentah melayang ke pipiku. Aku tersungkur di lantai. Beberapa orang menahan kemarahannya.
“SIALAN! PENGECUT ANJING!” mulut kotornya menghardikku.
Aku sedikit kebingungan. Tidak bisanya dia seperti itu. Aku tahu Rosa itu sepupu terdekatnya. Bahkan mereka sekelas. Apa yang sudah diceritakan oleh Rosa sampai dia bisa semarah itu? Sialan!
Aku ingin membalas pukulannya itu. Akan tetapi, membalasnya di lingkungan sekolah seperti ini hanya akan membuat masalah semakin panjang saja. Biar saja dia sendiri yang berurusan dengan guru konseling. Sebab aku tidak ada masalah sedikit pun dengan dirinya.
Beberapa orang yang menahannya berhasil dia singkirkan. Dia kembali menghampiriku yang belum bangkit. Pukulannya menghantam diriku lagi. Kali ini lebih kuat, atau mungkin dia memang mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menghabisiku.
“JOVI!”
Aku beruntung. Ada guru yang memergokinya. Dia berhenti menghajarku. Kami dibawa ke tempat yang berbeda. Aku dibawa ke UKS, sedangkan dia berhadapan dengan guru konseling.
“Memangnya, Rosa itu sakit apa?” tanya Widi—siswa piket UKS—yang merupakan teman sekelas Rosa.
“Hah? Rosa sakit?” Nada bicaraku justru bertanya balik padanya.
“Loh, kamu pacarnya, kan? Memangnya kamu tidak tahu?” Dia mengerutkan dahinya.
“Ya, memang. Tapi kita lagi lost contact beberapa hari ini,” jawabku.
Pikiranku masih picik. Aku masih mengira ini semua sandiwara. Cewek itu benar-benar pintar sekali dengan berpura-pura sakit bahkan melibatkan sepupunya. Semakin lama,kenapa aku justru selalu memandangnya negatif? Apa Rosa yang selama ini kukenal memang bukan dirinya yang asli? Jadi, ini dia yang sebenarnya. Ah, aku bingung.
“Selamat, ya. Aku lihat kamu masuk lima besar di turnamen kali ini. Aku masih peduli sama kamu meski kamu tidak. Aku akan selalu MENCINTAI kamu sampai MATI.”
Pesan itu masuk setelah kulihat pengumuman di website. Mungkin ini memang saatnya aku membalas semua pesan dia selama ini.
“Ini belum selesai. Aku akan menjadi yang nomor SATU. Tadinya aku berpikir untuk menghadiahkan kemenangan ini untukmu. Tapi, setelah drama panjang yang sudah kamu lakukan, aku berubah pikiran. Ini adalah kemenanganku, pembuktian untuk orang yang sudah meremehkanku, SEPERTIMU!”
Pesan yang kukirim itu, apa terlalu kasar? Tidak ada balasan darinya. Atau, mungkin dia sudah menyerah. Aku jadi menyesal, bagaimana jika dia memang sudah menyerah? Lambat laun hatiku terasa perih. Lebih perih dari pukulan bekas Jovi.