Chapter 6

1017 Kata
PoV : Fadli.   Sayup-sayup mataku terasa kantuk. Dengan keadaan seperti ini, kenapa pihak sekolah tidak mengizinkan aku pulang saja? Sampai suara gaduh terdengar dari luar. Suara dari seseorang yang kehilangan kendali. Aku dengar dia berteriak, “LEPASKAN! AKAN KUBUNUH ANJING SIALAN ITU.” Jovi sepertinya semakin menggila dengan kemarahannya.   Walau begitu, semua orang lebih tahu siapa yang harus mereka lindungi. Aku tidak salah apa-apa akan hal ini. Rosa sakit? Itu salahnya karena terlalu mencintaiku. Salahnya juga memandangku rendah hanya karena nilaiku lebih rendah. Pokoknya aku sama sekali angkat tangan dengan keadaan yang terjadi pada Rosa. Kita bahkan sudah putus.   Gagang pintu bergerak dan seseorang masuk dengan terburu-buru. Widi masuk dengan wajahnya yang panik. Kukira dia panik karena melihat kemarahan Jovi. Nyatanya ada hal lain yang ingin dia sampaikan padaku. Mulutnya bergetar tak mampu merangkai kata-kata. Dia kemudian mengeluarkan ponsel miliknya.   “Sebenarnya, Rosa sakit apa? Kenapa dia bunuh diri?” katanya menunjukan portal berita di layar ponselnya itu.   Seorang Pelajar SMA Lompat Dari Gedung Rumah Sakit Tempat Dia Dirawat. Penyebab Masih Diselidiki Polisi.   Aku segera merebut ponsel itu dan membacanya. Tidak banyak kata yang bisa kuingat. Hanya kata-kata dari inti isi berita tersebut. “Seorang pelajar SMA berinisial R (16 tahun) melakukan bunuh diri. Dia lompat dari gedung rumah sakit tempat dia dirawat. Diduga pelajar tersebut melakukan aksinya karena depresi. Akan tetapi pihak rumah sakit sampai saat ini tidak memberitahukan penyakit apa yang diderita korban. Tindakan rumah sakit tersebut dikarenakan permintaan dari pihak keluarga.”   Apa benar Rosa melakukan bunuh diri karena depresi? Padahal sekitar tiga puluh menit yang lalu dia mengirim ucapan selamat untukku. Tidak! Kalau begitu aku akan segera diincar oleh polisi. Mungkin saja itu adalah pesan terakhir Rosa. Mati aku! polisi akan segera mengintrogasiku. Apa aku akan dipenjara karena Rosa depresi olehku?   Di dadaku ada banyak perasaan yang bercampur aduk. Tanganku bergetar sampai Widi merebut ponsel miliknya. Dia masih mengharapkan jawaban dariku. “Kenapa kamu malah diam saja?” tanya dia. Aku tidak mampu berkata apa-apa. Aku takut, begitu takut dengan pertanyaan Widi. Bagaimana jika polisi yang menanyaiku seperti itu?   Aku memegang erat kepalaku. Semua kilas balik memutar dalam ingatan. Mana yang harus aku percaya? Sepertinya ini baru terjadi kemarin. Ya, baru saja terjadi kemarin. kemarin aku menyapanya dirinya saat hujan turun. Kami berbincang panjang lebar sebagai sebuah awal perkenalan. Dan ini pasti hanya segala ketakutan untuk memulai sebuah hubungan. Aku adalah pacarnya, dan semua kejadian ini hanya khayalan dari semua ketakutanku.   Tangan yang dingin merangkulku, Widi? Pikirku. Aku menolehnya, Tidak! Itu bukan Widi. Kenapa dia tersenyum kepadaku?   “Sayang, kamu kenapa?” tanya dia tersenyum. Wajahnya masih terlihat sama, dia cantik dan tak nampak segurat wajah pucat terpampang. Namun, mengingat berita yang kulihat dari ponsel Widi membuat bulu kuduk berdiri.   Seorang Pelajar SMA Lompat Dari Gedung Rumah Sakit Tempat Dia Dirawat. Penyebab Masih Diselidiki Polisi.   Dia sudah mati. Lalu yang di sampingku ini berarti ... itu berarti ... dia adalah ... hantu? Apa benar dia hantu? Atau tunggu, mungkin yang tadi itu memang hanya khayalan akan semua ketakutanku untuk berpacaran. Segala konflik yang terjadi memang mungkin menjurus pada tindakan bunuh diri. Jadi mungkin inilah kenyataannya. Rosa masih hidup mendampingiku. Tapi untuk apa aku ada di UKS ini?   “Kenapa kamu membunuhku?” dia berbisik. Dan aku benar-benar tersadar sedang berbaring menatap langit-langit putih.   Tubuhku segera bengkit terkejut. Siapa pun dapat melihat wajah kepanikanku saat ini. Saking paniknya karena ketakutan, aku bahkan tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Pikiranku benar-benar kalut, kenapa Rosa melakukan tindakan senekat itu karena kuabaikan? Dia sangat bodoh tidak bisa bersabar sedikit lagi saja.   “Fadli, kamu sudah sadar? Tadi tiba-tiba aja kamu pingsan," kata Widi.   “Sebentar lagi orang tua kamu menjemput,” kata Suster penjaga hari ini.   “Dijemput, Bu?” Bibirku terasa berat. Seraya berkata, aku juga mengerutkan dahi.   “Iya. Ini sudah masuk jam pulang.  Jadi, ibu menghubungi Ibumu untuk menjemput.”   Aku melihat tas milikku ada di kursi. Dari tempatku, aku segera bergegas pergi meninggalkan ruangan ini. Aku ingin meyakinkan kalau semua yang terjadi itu hanya mimpi. Sebelum ibuku datang, aku harus lebih cepat pergi ke rumah Rosa. Apa benar dia sudah tiada?   “Fadli, tunggu! Ibumu sedang dijalan.” Aku mendengar teriak suster menghalangi langkahku. Perlahan semua suara yang aku dengar memudar. Semuanya menjadi sepi. Aku ingin mengatakan ini lebih baik. Nyatanya ini sama sekali tidak baik. Yang berdengung di telingaku hanya, “Kenapa kamu membunuhku?”   Aku merasa gila dengan satu kalimat yang terus berdengung di telingaku ini. Mungkinkah Rosa memang sudah menjadi hantu? Sehingga dia dengan sengaja menerorku.   *** Dia benar-benar sudah meninggal. Aku melihat bendera kuning di depan rumahnya. Lalu kutanya tetangganya. Katanya benar bahwa dia sudah meninggal dunia karena bunuh diri. Tetangga itu balik bertanya, “Kenapa kamu tidak datang dengan teman-temanmu yang lain untuk mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir?”   Mendengar itu, aku hanya tersenyum canggung. Lalu segera bertanya tempat di mana Rosa dikebumikan. Sebelum menjawab pertanyaanku, aku melihat mimik wajah tetangga ini tampak mencurigaiku. Semakin dicurigai seperti ini, aku merasa seperti tidak mampu menyembunyikan ketakutanku. Untuk sekarang rasanya aku telah menjadi buronan. Tidak! Bagaimana dengan masa depanku?   Tak lama tetangga Rosa ini memberitahuku dimana Rosa dikebumikan. Sesegera mungkin aku datang ke tempat itu. Aku harap tempat itu sudah sepi. Aku ingin bercengkrama hanya berdua dengannya. Walau kini dia hanya berwujud batu nisan.   Dari kejauhan aku melihat banyak orang dengan seragam yang sama seperti sekolahku mengerumuni satu titik di area pemakaman. Upacara pemakaman itu belum selesai. Perlahan air mataku tumpah. Aku ingin segera memeluk batu nisan itu.   Satu per satu dari mereka mulai meninggalkan area pemakaman. Aku yang mengintipnya di balik pohon besar menarik kembali kepalaku agar tidak terlihat. Pecundang ini benar-benar memalukan. Sampai kemudian Jovi mempermalukan diriku dengan sesungguhnya.   Dia tiba-tiba berdiri di hadapanku. Tangan kirinya menarik kerah bajuku. Dia kembali memukulku dengan sekuat tenaga. Saat aku sudah tersungkur, tangannya masih melayang kembali memukulku. Aku tidak bisa menghitung berapa kali pukulan yang sudah mengenai pipiku.   “INI SEMUA GARA-GARA KAMU.” Sambil terus memukul dia tidak berhenti mengatakan itu.   Keberuntunganku datang setelah wajahku babak belur. Ibuku berteriak histeris melihat Jovi memukulku. Beberapa orang kemudian menariknya hingga berhenti memukuliku. Semua kejadian ini membuat ibu tahu jika selama ini aku berpacaran. Tapi selayaknya sebagai seorang ibu, marahnya tidak sampai menyalahkanku akan kematian Rosa.   Bu, jika aku tahu berpacaran memang sebahaya ini, aku tidak ingin melanggar aturanmu. Aku tidak ingin melihat wajah gelisahmu saat membasuh memar di wajahku ini. Aku lebih suka melihatmu marah karena aku terus bermain game. Aku sangat menyesal.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN