PoV : Fadli
Hari ini, tujuh belas juli. Aku akan mengungkapkan perasaan yang selama ini aku pendam. Kepada seorang gadis yang membuat malamku dipenuhi dengan bayangnya saat tersenyum. Sedari pagi tadi hujan tak juga reda. Aku ragu dia membawa payung. Untuk pertama kali akan kusapa dirinya. Ketika kami berada di bawah payung itu, aku akan mulai jujur tentang perasaanku.
Langkahku semakin lama membuat jarak kami begitu dekat. Dia masih asik bergurau dengan sahabat-sahabatnya. Ah, aku tidak tahan ketika tawanya pecah. Seperti melodi merdu yang diiringi dengan dentingan dari rintik hujan. Dia masih belum juga meyadari keberadaanku. Aku hanya mampu berdiri beberapa meter dari tempat mereka. Kuharap, gadisku itu yang terakhir pulang. Agar aku bisa menyapa dirinya.
“Eh, Ca. Aku pulang duluan ya?”
Betapa bahagianya diriku ketika salah satu dari mereka mengucap kata, bye. Lalu tak lama mereka bergantian pamit meninggalkan gadisku sendiri. Aku tidak tahu apa yang sedang ditunggunya. Yang aku tahu sepertinya dia kedinginan.
“Hai,” kataku. Kakiku sudah melangkah? Aku tidak menyadarinya. Dia seolah bergerak sendiri menuntunku yang ragu.
Gadisku menoleh sambil tersenyum. Rasanya tubuhku seperti meleleh. “Ya?” jawabnya. Seseorang, tolong aku! aku semakin tak kuasa kala mendengar suaranya yang terdengar begitu imut.
Bibirku, dia jadi gelagapan. Tolonglah! Jangan kikuk untuk saat ini saja. Biarkan aku menyapanya. Oh, tidak. Matanya begitu indah, terlihat bersinar. Itu menyilaukanku. Aku tidak bisa menatapnya.
“Fadli?” katanya lagi. Dia tahu namaku?
“Ka—Kamu. Kamu tahu namaku?” tanyaku heran. Dia mengangguk sambil tersenyum—cantiknya. Jika dia sudah tahu namaku, aku harus berbasa-basi apa? sepertinya otakku berhenti fungsi. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain kegelisahan.
“Tertera jelas di name tag baju kamu.” Seketika aku langsung melihat dadaku. Oh, iya. bagaimana bisa aku tidak memikirkan itu sebelumnya.
“Oh, iya. Hehe. Namaku Fadli.” Aku menjulurkan tanganku mengajaknya berkenalan.
“Bukankah kamu sudah tahu namaku? Jadi, siapa yang diam-diam selalu jadi penguntit? Menyimpan cokelat di bawah meja tempat dudukku atau mencuri pandang menunggu waktu yang tepat untuk menyapaku? Apa hari ini sudah sampai pada saat itu?”
Dia sudah tahu tentang perasaanku. Kalau begini caranya, aku hanya tinggal menuggu ocehan dia selanjutnya. Aku pasti akan ditolak. Kegugupanku sekarang ini berubah menjadi ketakutan. Ada penyesalan juga telah memberanikan diri menyapa dirinya. Seandainya aku tahu lebih awal kalau dia bisa membaca pikiranku. Dia bahkan tahu aku sering menguntitnya. Jadi, kurasa itu alasan setiap cokelat yang kuberikan tidak pernah dia makan. Seharusnya aku tahu jika dia tidak menyukai orang yang selalu mengiriminya cokelat itu.
“Memangnya tidak ada siswi yang cukup untuk dicintai di kelas A?”
Cukup! Sebaiknya aku segera meninggalkannya. Aku rasa, aku tahu apa yang akan dikatakan dia selanjutnya. Memangnya siapa aku ini? Statusnya saja yang ada di kelas A. Tapi IQ-ku tidak lebih dari nilai C. Berbeda jauh dengan dirinya yang meskipun ada di kelas C, tapi nilainya A penuh.
“Ngomong-ngomong, hujannya semakin deras. Aku hanya ingin meminjamkan payung ini.” Aku mengasongkan payung, berharap dia tidak menolaknya seperti uluran tanganku tadi. Tapi, dia terdiam sangat lama. Dia tidak kunjung menerimanya. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya.
Sambil menarik napas, “Apa kamu pikir aku tidak bisa siaga membawa hal sepele seperti itu?”
Hatiku patah mendengarnya. Aku ingin mencoba untuk tersenyum walau seperti merobek luka semakin lebar. Aku hanya berharap ada penolakan yang setidaknya tidak begitu menyakitkan seperti ini. Kakiku terlalu jujur untuk berhenti menjadi laki-laki bodoh. Dia membawaku berbalik badan meninggalkannya.
“HEI!” kakiku seperti direm oleh teriakannya. “Nyatanya aku memang bodoh melupakan hal yang sepele itu.”
Tunggu! Apa maksudnya? Aku mendengar langkah kakinya mendekatiku. Sekarang dia berdiri di hadapanku.
“Sebenarnya aku tidak suka cokelat karena terlalu manis. Aku juga terlalu takut diikuti
oleh orang yang tidak aku kenal. Jadi...,”
“Kamu tenang saja. Mulai besok kamu tidak akan menemui hal-hal seperti itu lagi.” Kalau memang pada ujungnya akan ditolak, kenapa harus berkelit? Jadi, kuputuskan untuk memotong kalimatnya agar dia tidak membuat luka semakin dalam.
“Aku kira kamu ingin tahu apa yang aku suka. Atau berhenti mengikutiku secara diam-diam dan berjalan bersama. Aku lelah setiap kali kamu mencuri pandang tanpa harus berbagi. Tapi, jika mulai besok semuanya berakhir, itu terserah kamu saja.”
Aku tersenyum mendengar pernyataannya. Keadaannya justru berbalik, seharusnya aku yang mengatakan itu padanya. Dan pada tanggal tujuh belas bulan juli ini, bukan hanya hari di mana untuk pertama kali aku menyapanya. Ini juga menjadi hari di mana aku dan Rosa begitu berani mengambil keputusan berpacaran. Kami sudah sama-sama sering memperhatikan sejak lama secara diam-diam.
***
Aku tidak bisa mengatakan jika hubungan yang sudah berjalan hampir satu tahun lebih itu baik-baik saja. Kadang kala kami meributkan hal-hal sepele. Apalagi jika nilai ulanganku jeblok. Dia sering menyindirku dengan kalimat, “Apa kamu tidak ada kemauan untuk mengimbangi aku?”
Meskipun begitu, aku selalu berhasil meredamnya dan kami kembali baik-baik saja. Dia selalu menjadi seseorang yang kurasa berbeda dari yang lain. Dia menerimaku sebagai seorang kekasih yang IQ-nya berada di bawah dia. Selain itu, dia bahkan menyemangatiku sebagai seseorang yang kecanduan main game. Dia menyemangatiku bahwa sesuatu yang dianggap orang lain tidak berguna, akan menjadi peluang bagi mereka yang tidak mengerti.
Untuk pertama kalinya seseorang bisa memahami apa yang aku inginkan. Di saat kedua orang tua dan saudaraku begitu giat mengomeli kebiasaan yang mereka anggap buruk, Rosa jusru menyemangatiku. Dia justru sering memberikan informasi event turnamen kepadaku.
“Cukup, ya. Kita ini sudah masuk tahun akhir. Apa kamu mau begini terus? Bagaimana kalau kamu tidak lulus?”
Semuanya berubah. Rosa seperti mengeluarkan semua amarah yang tidak pernah dia keluarkan. Aku begitu biasa melihatnya marah. Kali ini saja semua sangat berbeda. Semua kalimat-kalimat menyakitkan keluar dari mulutnya. Dan paling tidak bisa aku terima hanya satu kalimat.
“Kamu mau sampai kapan melakukan hal yang sia-sia?” ini adalah kalimat yang sering aku dengar dari kedua orang tuaku.
“Apa maksud kamu?” aku berdiri bertolak pinggang.
Bukannya meluluh, kemarahannya malah semakin menjadi. Dia melemparkan kertas ulangan ke arah mukaku. Sambil berterik, “MENYERAHLAH! AKU PIKIR KAMU BISA. TAPI NYATANYA ITU MUSTAHIL. KAMU HANYA MEMBUANG WAKTUMU DENGAN TERUS BERMAIN GAME.”
Tidak! Aku tidak membuang waktuku. Game yang kumainkan bahkan sudah naik level. Sebentar lagi aku akan bisa meningkatkan skill agar bisa mengikuti turnamen.
“ROSA TUNGGU!” aku menahan dirinya yang mencoba meninggalkanku. “Kenapa kamu berkata seperti itu? sebentar lagi aku akan ikut....”
“Turnamen? Dan kalah lagi? Fadli dengar, aku tidak akan memutuskanmu. Tapi aku akan
menjadi pembimbingmu agar kamu bisa memperbaiki nilai-nilaimu.”
Aku tidak bisa menerima perkataannya, bahkan seorang yang tidak menerima aku apa adanya. Aku tidak bisa! Kalau begitu, aku yang ingin putus dengan dirinya. aku tidak membutuhkan bimbingan dari siapapun. Aku bahkan yakin justru dia yang tidak bisa lepas dariku.