Chapter 1
PoV: Susan
Waktu itu terus berjalan maju bukan? Tidak untuk mundur atau berhenti. Aku bahkan bisa merekam bagaimana dua peristiwa penting itu terjadi. Aku yang menjadi korban perisakan, serta aku yang menjadi saksi atas kejadian bunuh diri. Hanya beberapa meter dari hadapanku. Aku melihat tubuh yang terbujur kaku. Dia terlentang pada kubangan darah segar.
Semua orang histeris melihat raga yang sudah tak bernyawa itu. Hanya aku sendiri yang tidak beranjak dari tempatku berdiri. Aku yang berlumur telur, terigu dan air yang baunya seperti comberan. Mataku terbelalak melihat raga itu. Bukan hanya seperti membawaku pada kejadian delapan tahun lalu. Bagiku teriakan, tangis, dan darah adalah hal yang biasa terngiang di telinga pun menempel dalam ingatan. Yang membuatku tercengang adalah raga itu. Aku mengenalinya.
Semua orang sudah menjauh dari tempat kejadian. Akan tetapi, kakiku terasa kaku untuk bergerak, rasanya seperti bobot kakiku bertambah jutaan ton. Ditambah dengan badanku mematung tatkala menyaksikan seseorang yang sudah menjadi mayat kaku tersebut.
Aku bertanya-tanya dalam benakku, apakah tubuhku mematung karena lengketnya telur yang melumuriku? Jawabannya mungkin, tidak.
Sekarang aku juga merasa jika waktu berjalan amat lama, hanya dengan terus melihat mayat itu. Semuanya terasa berhenti kecuali dengungan suara di sekitarku. Hingga kemudian kenyataan datang menghampiriku.
Setelah semua orang meminggir, para guru berbondong-bondong menyambangiku. Aku bertanya lagi, apa mereka datang untuk melihat korban bunuh diri itu atau melihatku yang telah menjadi korban perisakan?
“Susan.” Seseorang memanggil namaku. Iya, namaku adalah Susan ... a. Nama yang kental dengan sosok seniman yang berperan menyeramkan dalam setiap lakon. Ayahku menyematkan nama tersebut karena begitu menyukai filmnya. Bagi dirinya, sosok menyeramkan itu terlihat sangat sempurna.
Di luar perannya, dia adalah sosok seniman cantik multi talenta. Wajar bila ayahku menjadikan dirinya sebagai idola, sampai menyematkan nama itu kepada diriku. Namun, nama itu sebenarnya membuatku kesulitan sejak kecil. Apalagi setelah kejadian delapan tahun lalu.
“Susan.” Suara itu terdengar lagi memanggil.
Aku bisa mengenali suara itu bahkan ketika tidak melihatnya sekalipun. Dia adalah guru yang sama sekali tidak berguna. Dia bilang dia adalah guru konseling yang menangani siswa-siswa bermasalah. Tapi setiap kali aku terlibat masalah dengan mereka, dia justru hanya memanggilku. Seolah semua masalah itu bersumber dari diriku.
“Susan, apa yang terjadi sama kamu?”
Kali ini yang bertanya adalah guru yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas diriku. Dia adalah wali kelasku. Tapi dia bahkan tidak hafal sifat-sifat dari anak didik yang dia pegang. Dia guru olah raga yang lebih suka menyuruh anak didiknya berlari. Sedangkan dia sendiri asik dengan game online.
Aku kemudian menatap mereka. “Hanya kejutan ulang tahun,” kataku. Seringai di wajahku sepertinya membuat mereka bergidik. Nah, bagaimana sekarang? Apa aku sudah terlihat mirip dengan tokoh kesukaan ayahku?
Kepala sekolah terlihat begitu panik menghubungi pihak yang berwajib. Sedangkan aku diboyong oleh Ibu Ratna si guru konseling. Dia membawaku untuk membersihkan badan. Dia juga memberikan baju seragam pinjaman dari koperasi. Kukira ini adalah bentuk dari kepedulian seorang guru. Tapi ternyata aku salah.
Aku sudah ingin pulang dan membaringkan tubuhku. Aku ingin tertidur melupakan yang telah terjadi padaku. Sebab dengan tertidur saja aku merasa tenang. Bahkan terkadang aku tidak ingin terbangun. Aku lebih menyukai kehidupan dalam mimpiku. Namun, mereka semua menahanku. Hingga bapak-bapak berseragam cokelat datang menghampiriku.
“Sore, dik. Kami ingin bertanya beberapa hal sama kamu. Boleh?” tanya salah satu dari mereka.
Tidak! Kenapa harus aku? aku ini korban perisakan. Apa kalian mengira jika aku ada hubungannya dengan dia yang bunuh diri? Kepalaku menunduk dengan rambut yang terurai menutup wajah.
“Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu takut. Kamu hanya perlu menjelaskan apa yang kamu lihat.”
Aku sama sekali tidak takut. Aku hanya benci selalu berada pada situasi yang seolah-olah aku adalah seorang pelaku kejahatan. Aku menganggukan kepala menyetujui apa yang mereka inginkan.
“Baiklah, apa kamu mengenali siswa yang bunuh diri tadi?” Pertanyaan pertama mulai dilontarkan. Aku menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, apa kamu melihat dia melompat?” Pada pertanyaan kedua aku mengangguk.
“Kamu melihat orang lain bersamanya di atap gedung?” Dipertanyaan ketiga ini aku kembali menggelengkan kepala.
“Lalu, kenapa kamu hanya berdiri mematung saat melihat jasadnya? Kenapa kamu tidak histeris atau berlari? Apa ada sesuatu yang kamu ketahui yang tidak ingin kamu ceritakan pada kami?” Pada pertanyaan yang keempat ini dia menyerangku tidak hanya dengan satu pertanyaan. Tapi tiga sekaligus.
Jika mereka ingin mendengarkan sebuah jawaban yang panjang, aku akan memberikannya. Aku mengangkat kepalaku. Berkata, “Sekitar delapan tahun yang lalu, ada sebuah kasus pembunuhan di kota T. Pelakunya adalah seorang kepala keluarga. Dia membunuh isteri dan anak bungsunya. Yang tersisa dari kejadian itu hanya seorang bocah berumur delapan tahun. Dia anak sulung dari kedua pasangan itu.”
“Susan, hentikan!” guru konseling itu meninggikan suaranya. Mulutku langsung terbungkam. Polisi yang sepertinya tertarik pada cerita itu justru mempersilahkanku kembali bercerita. Seolah kejadian itu mungkin ada hubungannya dengan apa yang terjadi saat ini.
“Apa yang ingin kamu sampaikan?”
Senyum kemenangan terlukis di bibirku. Kali ini aku menang dari si guru konseling itu. Aku melanjutkan ceritaku, “Bocah itu aku. Saat aku menjadi saksi pembunuhan itu, aku juga hanya berdiri mematung seperti tadi. Banyak yang tidak mempercayai kesaksianku, hanya karena aku yang tidak dibunuh oleh ayahku. Padahal aku sendiri tidak tahu, kenapa aku tidak dibunuh olehnya?” ceritaku sudah selesai. Kukira mereka mengerti, tapi ternyata mereka lebih bodoh dari seorang gadis yang baru saja menginjak umur tujuh belas tahun.
“Begini, Susan. Bukan kami tidak mempercayai kamu. Kami hanya ingin memastikan apakah ini murni kasus bunuh diri atau bukan.”
“Tidak! Bukan itu maksudku. Itu jawaban pertanyaan Pak polisi yang tadi loh. Tidak semua orang yang terkejut itu berteriak dan berlari. Aku hanya bisa terdiam mematung saat aku terkejut.”
Sepertinya mereka kecewa dengan perkataanku. Helaan napas dengan mimik wajah kesal nampak jelas. Tidak ada satu kata pun terlontar dari bibir mereka setelah itu. Hingga akhirnya mereka mengizinkanku untuk pulang. Sebenarnya aku punya informasi penting tentang kasus bunuh diri ini. Apa mereka tahu jika aku berbohong?
Ya, aku berbohong. Alasan mengenai sikapku juga berbalik pada perlakuan mereka. Apa yang bisa kudapat dari sekadar memberikan informasi? Sepertinya aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Jangankan imbalan, ucapan terima kasih pun aku ragu mendengarnya. Setelah melontarkan banyak pertanyaan pun mereka enggan untuk meminta maaf telah menyita waktuku.
Sebuah bayangan hitam dan putih memutar di dalam otakku. Karena pada hakekatnya meski waktu terus berjalan maju, ada yang bisa berjalan untuk mundur. Dia ada di dalam kepala manusia. Seolah mempunyai tombol repeat yang diatur khusus untuk mengulang. Dan setiap tombol yang tersedia mengecualikan delete. Karena ingatan sejatinya memang sulit untuk dihapus.