Eukela duduk di depan Mattis, perasaannya sedikit gugup. Dia tidak tahu apa alasan orang tua itu memanggilnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan Irhea? Pasti begitu. Anak itu sudah memasuki makam leluhur tanpa izin.
“Eukela, apa kau sudah bertemu dengan Irhea?” Dugaan Eukela memang tidak salah. Mattis akhirnya menanyakan gadis itu.
“Ya. Aku baru saja bertemu dengan dia,” balas Eukela.
“Apa kau tahu apa yang sudah dia lakukan?”
Eukela mengangguk pelan. “Dia masuk ke makam leluhur tanpa izin.”
“Dan dia mengambil daun pohon itu, pohon peninggalan leluhur,” sambar Mattis.
“Aku tahu dia salah dalam hal itu, tapi kuharap Kepala Akademi tidak marah dengan itu,” Eukela berkata sambil menunduk.
Mattis yang melihat respons Eukela langsung tersenyum tipis. Sejauh yang dia dengar, Eukela ini sangat menyayangi murid pribadinya. Meskipun Irhea bukan murid yang jenius, tetapi Irhea sungguh memperlakukannya dengan sangat baik.
Banyak guru-guru yang sering merasa heran. Apa yang spesial dari Irhea? Kenapa Eukela selalu melindunginya? Pertanyaan itu selalu berakhir tanpa jawaban.
“Aku tidak menyalahkannya. Aku justru penasaran pada gadis itu.”
“Penasaran?” Tatapan Eukela mencerminkan kebingungan.
Mattis mengangguk. “Apa sebelumnya kau pernah menceritakan tentang pohon itu padanya?”
Barangkali Eukela sudah pernah menceritakan tentang pohon itu, lalu Irhea mengambil kesempatan dibukanya pemakaman untuk mengambil pohon itu. Tebakan ini tidak begitu meyakinkan, tetapi dia masih ingin tahu.
“Tidak.” Eukela menggeleng yakin. “Aku yakin belum pernah menceritakan itu. Kepala Akademi sendiri yang melarangku memberi tahu siapa pun.”
Benar. Di masa lalu Mattis pernah memperingatkan pada beberapa orang yang mengetahui keberadaan pohon itu, agar tidak memberi tahu pada seseorang dengan sembarangan.
Bagaimanapun juga pohon itu memiliki kemisteriusan yang tak terkatakan. Jika kekuatan luar mengetahui tentang itu, mungkin akan ada yang berniat mencuri atau merampoknya. Yah, apa pun itu pasti bisa terjadi.
“Kalau begitu ini sedikit aneh,” gumam Mattis sambil mengetuk meja dengan jari-jarinya. “Apa kau berpikir seperti itu?”
Eukela mengangguk. “Dia tiba-tiba merasakan panggilan jiwa. Kenapa hanya dia? Kenapa murid lain tidak?”
“Itulah yang kupikirkan.” Mattis meremas kedua tangannya sendiri. Sejak tadi dia memang tidak bisa berhenti memikirkan Irhea. “Cobalah awasi anak itu. Siapa tahu ini adalah awal dari sesuatu yang penting.”
“Baik. Aku pasti akan mengawasinya,” balas Eukela dengan patuh.
“Mm. Kau bisa pergi sekarang. Aku hanya ingin membicarakan itu saja.”
Akhirnya Eukela pun berdiri. Setelah memberikan salam dia langsung melangkah pergi.
***
Di malam hari, Irhea sibuk dengan kegiatan belajarnya. Dia menghafal mantra berkali-kali sampai membuat teman satu kamarnya yang bernama Althea, merasa bosan.
“Irhea, bisakah kau menahan suaramu? Aku sungguh tidak bisa fokus.”
Saat ini Althea sendiri sedang dipusingkan dengan beberapa tugas akademi. Kadang-kadang guru akademi memang memberikan tugas yang harus dikerjakan di luar masa pembelajaran.
“Tidak bisa. Aku harus menghafal dengan keras,” balas Irhea tanpa peduli. Kapan lagi dia bisa membuat Althea kesal? Biasanya dia yang dibuat kesal oleh temannya itu. Maka hari ini biarkan mereka bertukar posisi.
“Dasar menyebalkan,” Althea menggerutu. Dia segera menumpuk bukunya lalu berjalan ke tempat tidur. Daripada terus merasa kesal, lebih baik dia tidur sekarang.
Irhea sama sekali tidak peduli pada itu. Dia terus menghafal sampai bibirnya terasa kaku. Dia mengambil air minum dan menenggaknya sampai habis. Tenggorokannya memang terasa sangat kering.
“Ah, ini tidak akan berhasil,” gumamnya sambil mengerutkan kening. Nyatanya menghafal mantra saja tidak cukup untuk bisa mempraktikkan sihir. Jika menghafal saja bisa membuat seseorang bisa menggunakan sihir, maka semua orang di dunia ini akan bisa menggunakan sihir dengan mudah.
Namun, tidak. Ada orang-orang yang sama seperti Irhea. Tidak bisa mempelajari sihir, atau kalapun bisa, pasti hanya pada level yang rendah. Orang-orang seperti inilah yang termasuk dalam kategori menyedihkan.
Irhea mendongak, melihat ke langit malam. Bulan purnama tampak menggantung di sana. Awan hitam berada di sekelilingnya, tetapi itu tidak menghalangi sinar cahaya bulan yang menyorot dengan cerah.
Tiupan angin malam membuatnya kedinginan. Jendela yang masih terbuka itu segera ditutup. Setelah itu dia pun bergerak menyimpan buku tebalnya dengan hati-hati.
“Sekali lagi, aku harus datang ke sana sekali lagi,” gumamnya yang kemudian naik ke tempat tidur. Sekarang lebih baik dia istirahat. Besok pagi-pagi dia akan menyelinap ke pemakaman lagi.
Dia menarik selimutnya yang sudah lusuh. Kedua matanya pun mulai terpejam, mengantarnya pada alam mimpi.
Ketika pagi datang, Irhea segera pergi membersihkan diri. Dan ketika dia kembali ke kamar, Althea sudah tidak ada di kamar. Kemungkinan besar gadis itu memiliki urusan sendiri.
Ini kesempatan yang bagus bagi Irhea untuk pergi ke makam leluhur. Dia segera keluar dari asrama lalu mengamati keadaan sekitar. Dengan bantuan indranya yang tajam, dia berhasil pergi dan tiba di depan gerbang makam leluhur dalam waktu yang cepat.
Ada tiga orang pria yang menjaga gerbang pemakaman. Ini membuatnya berhenti sambil memikirkan apa yang harus dilakukan untuk melewati ketiga penjaga gerbang itu.
Mereka semua adalah murid senior. Itu bukan murid yang kemarin dia temui di pemakaman. Tampaknya kelompok yang ini sedikit lebih serius. Bisa dinilai dari cara mereka yang terus diam sambil berdiri tegak.
“Kemarin tidak ada penjaga gerbang. Kenapa hari ini harus ada?” gerutu Irhea dengan sebal. Sekarang apa yang harus dia lakukan?
Irhea berjongkok lalu mengambil kerikil yang ada di bawah kakinya. Dia segera bergerak dan bersembunyi di balik semak-semak yang cukup rimbun. Dengan asal dia melemparkan kerikil-kerikil itu ke sudut lain.
Persetan. Hanya cara klasik itu yang bisa dia pikirkan.
Suara lemparan kerikil itu langsung menarik si penjaga gerbang. Mereka saling menatap selama beberapa saat. “Apa itu?”
“Tidak tahu. Ayo kita periksa.” Dengan bodohnya mereka meninggalkan pintu gerbang. Mereka berlari memeriksa tempat di mana kerikil dilempar.
Irhea segera mengambil kesempatan ini untuk menyelinap masuk. Dia berlari dengan kaki berjinjit agar tidak menimbulkan suara yang mencolok. Setelah beberapa saat akhirnya dia berhasil masuk tanpa sepengetahuan siapa pun.
Irhea menajamkan indranya. Dia harus memasang kewaspadaan agar tidak bertemu dengan murid-murid yang berpatroli. Kedua kakinya terus bergerak cepat menyusuri jalan yang dilewatinya kemarin.
Peluh mulai membasahi dahinya. Dia mengusapnya dengan asal. Beberapa saat kemudian sampailah dia di depan tempat tujuan, di depan kumpulan pohon beringin yang masih tampak sama seperti kemarin.
Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan hati-hati. Setelah memastikan tidak ada orang lain, dia segera melompat masuk ke celah-celah pohon.
Kening Irhea berkerut samar setelah melihat keadaan pohon ajaib yang ada di sana. Vitalitas pohon itu tampak semakin menurun. Daunnya yang layu juga bertambah semakin banyak.
Irhea menghela napas panjang. Ini sungguh buruk. Cepat atau lambat pohon itu pasti mati. Dia harus memanfaatkan waktu ini untuk menggali manfaatnya, sebanyak mungkin.
Dengan cepat dia melangkah mendekat. Semakin dekat ke pohon, maka semakin damai juga jiwanya. Rasanya sangat jernih dan menenangkan.
“Sudah kubilang, kau ini benar-benar ajaib,” gumamnya sambil menyilangkan tangan di d**a.
“Kalau begitu aku akan tinggal di sini sampai siang.”
Dia mengambil dedaunan kering di sana, lalu mengumpulkannya menjadi satu. Setelah cukup tebal, dia menggunakan itu sebagai alas duduk.
Irhea menarik napas dalam-dalam lalu bibirnya mulai bergerak untuk mempelajari mantra yang dihafalkan sepanjang malam.
Setelah mantra selesai dibaca, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pemahaman. Pemahaman tentang kedalaman sihir yang selama ini selalu dia tunggu. Itu seperti sebuah ilham yang tidak akan diterima manusia dengan sembarangan.
Jantung Irhea langsung berdebar-debar. Dia menatap pohon ajaib itu dengan kedua mata yang berbinar. “Luar biasa!”
Dia kembali mengulang bacaan mantra sihirnya. Setelah mantra itu selesai dirapalkan, dedaunan yang berserakan di tanah tiba-tiba bergerak melayang ke udara. Itu benar-benar melayang!