1. Guncangan Hebat
“Eh, apa kalian lihat gadis itu?” bisik seorang murid akademi yang memegang gulungan kertas. Dagunya terangkat dan menunjuk pada seorang gadis muda yang sedang fokus memilih buku bacaan.
“Kenapa memangnya? Bukankah dia Irhea?” balas temannya.
“Kupikir kalian tidak tahu,” kata murid sebelumnya.
“Memangnya siapa di akademi ini yang tidak mengenal Irhea? Murid terbodoh dan terlemah seperti dia pasti sudah dikenal luas,” sahut teman yang lain.
“Tapi dia bukan dikenal untuk sesuatu yang baik. Dia dikenal karena selalu berlindung di balik ketiak gurunya. Hahaha ….”
“Benar. Jika bukan karena memiliki belas kasih dari Guru Eukela, pasti dia sudah lama ditendang dari sini.”
Irhea yang mendengar bisik-bisik dan suara tawa mengejek itu langsung menoleh. Dia melipat tangannya di depan d**a lalu menatap mereka dengan cemberut.
“Ssst! Dia menoleh. Cepat pergi!”
Ketiga murid itu segera berbalik dan hendak melangkah pergi. Namun, Irhea tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Dia berteriak, “Berhenti di sana!”
Langkah mereka langsung tertahan. Mereka saling melirik satu sama lain sebelum akhirnya berbalik menatap Irhea. Tawa yang dipaksakan akhirnya terdengar dari mulut mereka.
Pemuda yang memegang gulungan kertas menggaruk kepalanya sebentar. Dengan canggung dia bertanya, “Apa kau memanggil kami?”
“Kau pikir siapa yang aku panggil jika bukan kalian?” tanya Irhea dengan sinis.
Ketiga orang itu langsung mengedarkan pandangan ke sekitar. Di ruang perpustakaan itu hanya ada beberapa murid saja dan kebanyakan dari mereka sedang sibuk membaca. Jadi, sudah pasti orang yang dimaksud oleh Irhea adalah mereka bertiga.
“Hahaha ….” Mereka tertawa sumbang. “Apa kau membutuhkan sesuatu?”
Irhea mendengkus. “Jangan berpura-pura baik di depanku,” sinisnya. “Jika kalian punya keberanian maka katakan secara langsung di depanku!”
“Itu ….” Mereka tampak ragu mengatakannya. Lagi pula siapa yang berani terang-terangan menindas Irhea? Meskipun gadis itu bodoh dan lemah, dia memiliki perlindungan dari Guru Eukela.
“Cih!” Irhea berdecih. “Kalian semua pengecut!” ejeknya secara langsung.
Jika orang lain senang membicarakannya dari belakang, maka dia justru kebalikannya. Ketika dia tidak senang dengan sesuatu, maka dia akan mengatakannya secara langsung.
Ejekan Irhea akhirnya membuat ketiga pemuda itu jengkel. Mereka mendelik menatap Irhea. Kemudian pemuda yang memegang gulungan kertas menunjuk ke depan.
“Apa kau pikir kami takut padamu, huh?!” serunya dengan dagu terangkat. Tatapannya terlihat penuh provokasi.
“Jika tidak takut, kenapa kalian hanya berani membicarakanku di belakang?!” Irhea memutar bola matanya malas.
“Jika bukan karena Guru Eukela, apa kau pikir di sini masih ada murid yang mau menghormatimu? Dasar kau tidak tahu diri!” ejek pemuda itu tanpa menahan diri.
Meskipun Irhea sudah berkali-kali mendengar ejekan dari murid lain, dia tetap merasa marah dan sakit hati. Selama 16 tahun ini apakah dia pernah berhenti berusaha? Apakah menjadi bodoh dan lemah adalah sesuatu yang dia inginkan?
Tidak!
Irhea selalu berusaha mengerahkan segalanya. Dia mempelajari sihir lebih rajin dari siapa pun. Dia mempelajari kemampuan bertarung lebih keras dari siapa pun. Dia bisa menjamin itu.
Namun, bagaimana jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan? Apa itu lantas membuatnya pantas mendapat ejekan dan hinaan dari mereka?
Kenapa mulut mereka sangat gatal dan tidak bisa ditahan? Apakah rasanya sangat menyenangkan bisa menertawakan kekurangan orang lain?
Irhea juga ingin menjadi setara. Siapa di dunia ini yang ingin tertinggal jauh dari orang-orang?
Memikirkan hal ini membuat air mata merebak di sudut matanya. Sebelum air mata itu bisa keluar, dia segera mengusapnya.
Tidak. Dia tidak akan menangis di hadapan para pecundang itu.
Irhea menatap mereka dengan tatapan dingin. Dia terkekeh sejenak lalu mulai bertanya, “Jadi, apa masalahnya jika aku menjadi murid kesayangan Guru Eukela? Apa kalian iri, huh?”
“Apa? Iri?” Ketiga pemuda itu dibuat kehabisan kata. Apa mereka iri karena tidak mendapat perhatian khusus dari salah satu guru akademi?
Tawa Irhea langsung meledak. Dia tertawa keras sampai tubuhnya terguncang. Tentu saja murid lain yang melihat hal ini menjadi bertanya-tanya. Apa gadis itu sudah gila?
“Jadi, apa masalahnya?! Katakan saja jika kalian iri!” pekik Irhea dengan suara yang melengking. Matanya sudah memerah dan penuh kedinginan. Amarah dan dendam yang disimpan bertahun-tahun akhirnya meledak begitu saja.
Bertepatan dengan itu tiba-tiba bumi berguncang dengan hebat. Bangunan perpustakaan itu mulai bergetar hingga menimbulkan retakan-retakan di dindingnya.
Apa yang terjadi?! Murid-murid menjadi panik. Mereka berhamburan mencoba mencari tempat untuk berlindung.
“Cepat keluar! Hati-hati bangunan runtuh!” teriak seorang murid yang sudah tiba di pintu keluar. Murid-murid yang ada di sana pun segera pergi keluar melarikan diri.
Ketiga pemuda yang sebelumnya berseteru dengan Irhea sudah menghilang entah ke mana. Fokus mereka sudah teralihkan. Sekarang semua orang sibuk untuk mencari tempat yang aman.
Irhea merasa sangat lelah. Di saat orang lain berhamburan melarikan diri, dia hanya diam menutup mata sambil menarik napas dalam-dalam.
‘Masalah apa lagi sekarang?’ gumam Irhea dalam hati.
Ketika kedua matanya kembali terbuka, guncangan itu sudah berhenti. Irhea melihat ke sekeliling dan tidak melihat siapa pun di sana. Sepertinya murid-murid itu benar-benar melarikan diri.
Irhea memfokuskan pandangannya pada kekacauan yang terjadi. Beberapa buku sudah jatuh berserakan ke lantai. Semuanya benar-benar berantakan.
Untungnya bangunan perpustakaan baik-baik saja. Hanya ada beberapa retakan di tembok, tetapi itu tidak lantas membuat bangunan runtuh.
“Nak, kenapa kau masih di sini? Kembalilah ke asrama. Sepertinya sesuatu yang aneh baru saja terjadi,” ucap pria tua yang baru saja keluar dari balik lemari. Dia adalah Kakek Gega yang merupakan penjaga perpustakaan.
“Sesuatu yang aneh? Apa itu?” tanya Irhea dengan penasaran.
“Gempa bumi ini. Kurasa bukan hal biasa,” balas Kakek Gega sambil memungut buku-buku di lantai.
Irhea mengerutkan kening dengan heran. Bukan gempa bumi biasa? Lalu apa penyebabnya?
***
Di sebuah ruangan yang luas, beberapa guru akademi sudah berkumpul. Mereka duduk di kursi masing-masing dengan perasaan tidak menentu. Di antara guru-guru itu, ada salah satu pria paruh baya yang menjadi pusat perhatian.
Itu adalah Despitu, wakil kepala akademi Sembilan Surga.
Despitu menutup kedua matanya. Wajahnya tampak serius, tidak seperti biasanya. Beberapa saat kemudian mata yang terpejam itu akhirnya terbuka.
“Bagaimana, Guru Des?” tanya seorang pria paruh baya yang juga merupakan guru di akademi.
“Aku baru saja menghubungi kepala akademi. Tuan Mattis mengatakatan sumber guncangan itu adalah makam leluhur yang ada di belakang akademi,” ucap Despitu dengan serius.
“Makam leluhur?”
Guru-guru yang ada di sana langsung mengerutkan kening dengan heran. Sejauh ini tidak pernah ada hal aneh yang terjadi di makam leluhur. Tempat yang sangat sakral itu dikenal sangat tenang dan tidak terjamah manusia.
“Ini tidak benar. Mungkinkah ada seseorang yang mencoba menerobos masuk ke makam leluhur?” tanya seseorang.
Pertanyaan itu membuat guru-guru merasa panik. “Cepat selidiki ini dengan benar!”