“Ras pohon adalah ras tertua yang ada di benua Great Dievir. Namun, keberadaan mereka sudah sangat langka, tidak seperti manusia yang jumlahnya ada begitu banyak.”
“Ras pohon hidup di hutan-hutan yang jauh dari keramaian. Itu memang tempat terbaik mereka. Seseorang akan sulit mendekatinya karena dia tidak terlalu suka terhadap manusia asing,” terang Mattis.
Pria tua itu menjadi lebih antusias ketika membicarakan ras pohon. Bagaimanapun juga ras pohon merupakan hal yang menyenangan untuk dibicarakan, terutama karena mereka sudah dianggap seperti legenda di Great Dievir.
“Kenapa disebut ras pohon?” tanya Irhea dengan bingung. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar tentang ras pohon.
“Karena mereka memang berbentuk pepohonan. Namun, ada juga yang mengatakan kalau mereka bisa mengalami evolusi menjadi seperti spirit berbentuk manusia. Aku belum pernah melihat sendiri jadi tidak bisa mengatakan lebih banyak tentang itu.”
Irhea akhirnya mengangguk mengerti. Kedengarannya itu sangat menarik. Siapa tahu di masa depan dia akan bertemu dengan mereka. Siapa yang tahu?
“Kalau begitu di mana hutan Burblack?” dia bertanya.
“Hutan Burblack berada di sisi barat benua Great Dievir,” balas Mattis. “Itu sangat jauh dari sini.”
Mendengar ini membuat Irhea sedikit kecewa. Akademi tempat mereka berada saat ini berada di sisi timur benua Great Dievir. Itu berarti lokasinya sangat bertentangan. Akan sulit jika dia ingin pergi ke sana.
“Ada apa kau terlihat begitu penasaran?” tanya Mattis dengan heran.
Irhea menggeleng, lalu dia bertanya, “Apa Kepala Akademi benar-benar tidak tahu pohon apa ini? Barangkali di dekat sini ada pohon yang serupa.”
Despitu langsung mendengkus. “Apa kau pikir pohon seperti itu bisa ditemukan dengan mudah? Jika bahkan leluhur sangat menghargai pohon ini, maka nilainya pasti bukan sesuatu yang sederhana. Leluhur tidak akan membesarkan rumput liar di pemakaman,” jawabnya dengan sinis.
“Apa yang Guru Des katakan memang benar. Aku yakin pohon itu tidak bisa ditemukan dengan mudah. Bahkan jika aku pergi ke hutan Burblack, belum tentu aku akan mendapatkan itu,” timpal Mattis.
Apa yang kedua orang itu katakan memang sangat masuk akal. Sepertinya Irhea tidak memiliki jalan. Mungkin lebih baik dia memanfaatkan pohon itu selagi mash hidup. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang tersisa.
“Baiklah. Aku mengerti.” Irhea pun mengangguk beberapa kali.
“Sekarang pergilah. Aku akan melepaskanmu dari hukuman. Namun, jika kau tertangkap pergi ke pemakaman untuk mencuri itu lagi, aku tidak akan segan menghukummu di gudang bawah tanah,” ancam Mattis dengan dingin.
Irhea mengangguk lagi. Dia segera melangkah pergi dari sana sebelum mendapat tatapan tajam dan dingin dari Mattis. Dalam hati dia bersorak, untunglah dia tidak jadi dihukum.
Ketika dia melangkah keluar, dia mendengar Mattis bertanya pada Despitu, “Bagaimana dengan guncangan itu? Kalian masih belum mendapatkan hasil apa pun?” Dia langsung melambatkan langkah kakinya agar bisa menguping pembicaraan kedua orang itu.
“Belum. Murid-murid senior sudah dikirim secara bergilir untuk mencari tahu. Mungkin dalam beberapa hari kita bisa menemukan penyebabnya,” balas Despitu.
Jawaban itu tidak begitu berarti bagi Irhea. Akhirnya dia keluar dari kediaman itu dan kembali bertemu dengan murid senior yang berjaga di luar kediaman. Murid senior itu langsung memasang ekspresi cemberut.
Namun, Irhea tidak begitu memedulikan itu. Dia terus melangkah kembali ke perpustakaan untuk menyelesaikan buku bacaan sebelumnya.
Kakek Gega masih duduk di tempat semula. Pria tua itu langsung menatap tajam ketika melihat Irhea melangkah memasuki perpustakaan. “Dari mana saja kau?”
“Itu …. Perutku mulas. Aku baru saja buang air,” balas Irhea dengan kebohongan. Kakek Gega pun tidak mengatakan apa-apa lagi.
Irhea tiba-tiba memiliki ide untuk bertanya tentang pohon ajaib itu. Kakek Gega adalah orang yang sudah menjaga perpustakaan akademi untuk waktu yang lama. Barangkali orang tua itu tahu.
Akhirnya dia melangkah mendekat. “Kakek Gega, dengar-dengar ada sesuatu yang misterius di dalam makam leluhur.” Dia berdiri di seberang meja orang tua itu dan menatapnya dengan saksama.
“Sesuatu yang misterius apa?” tanya Kakek Gega tanpa mengalihkan perhatiannya dari catatan pinjaman buku.
“Itu tentang pohon. Pohon … ah, aku tidak tahu pohon apa namanya. Aku hanya samar-samar menguping dari para senior.”
Kakek Gega langsung meliriknya. “Kau suka menguping ya?”
Irhea segera menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku hanya akan menguping sesuatu yang menarik saja,” balasnya dengan polos, tanpa rrasa bersalah.
Kakek Gega mendengkus setelah mendengar jawaban ini. Dia menyipitkan matanya dan bertanya, “Siapa yang membicarakan tentang pohon itu?”
“Aku tidak tahu.” Irhea menggeleng. Bagaimana dia bisa tahu? Lagipula dia hanya mengarang. “Aku tidak mengenal orang itu,” lanjutnya.
Pria tua itu menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi di belakang. Dia mengusap dagunya yang dipenuhi dengan cambang-cambang kasar.
“Ada banyak pohon beringin di sana,” ucapnya sambil menerawang. “Tapi di dalamnya kurasa ada sesuatu yang lain.”
Kedua mata Irhea langsung berbinar. Dia menekan kedua telapak tangannya di meja lalu mnatap pria tua itu dengan menuntut. “Sesuatu yang lain? Tolong ceritakan itu!”
Kakek Gega mendengkus. “Apa untungnya jika aku memberi tahumu?”
“Untungnya ….” Irhea berpikir selama beberapa saat. “Aku akan membantumu menjaga perpustakaan.”
“Hmmph! Itu tidak berguna. Kau memang selalu di sini bukan?” Kakek Gega menatapnya dengan remeh. Setelah itu dia menghela napas. “Sebenarnya aku sendiri kurang mengerti.”
“Kurang mengerti apa?” tanya Irhea.
“Tentang pohon itu,” ucap Kakek Gega dengan eskpresi malu.
Irhea menghela napas. Benar, jika bahkan kepala akademi tidak tahu lalu bagaimana Kakek Gega bisa tahu? Itu hanya harapannya saja yang berlebihan. Lagi-lagi dia harus menelan rasa kecewa.
“Baiklah.” Tanpa mengatakan apa-apa lagi Irhea langsung pergi meninggalkan orang tua itu. Dia kembali mengambil bukunya sendiri.
Kakek Gega yang melihat ini langsung mendengkus. “Dia mendekat hanya karena ingin tahu tentang sesuatu saja?” Kepalanya digelengkan beberapa kali sebelum akhirnya dia kembali fokus ke pekerjaan.
Irhea tidak memedulikan Kakek Gega lagi. Dia duduk di kursi sambil meliha ke luar jendela, tepatnya ke area pemakaman di belakang akademi. Tempat itu masih terbuka, jelas masih bisa dimasuki dengan mudah.
Seperti yang Despitu katakan, selama beberapa hari ke depan pemakaman leluhur pasti masih terbuka. Formasi pelindungnya masih akan dinon-aktifkan. Ini merupakan kesempatan yang bagus untuknya.
Senyum misterius muncul di bibirnya. “Sepertinya aku harus datang ke sana lagi sebelum pohon aneh itu benar-benar mati,” gumamnya seorang diri.
Benar. Sebelum pohon benar-benar mati, dia harus bisa memanfaatkannya bukan? Siapa tahu dia bisa menyerap kekuatan pohon lebih banyak.
Memikirkan ini membuat perasaannya semakin baik saja. “Aku akan ke sana lagi besok,” gumamnya sambil meletakkan bukunya ke rak buku.
Setelah itu dia langsung kembali ke asrama. Dia perlu memeriksa apakah ada hal lain yang dia dapatkan dari pengaruh pohon ajaib.